Pendahuluan
Nabi Ya’qub berpesan kepada
anak-anaknya saat akan mencari Yusuf: “Janganlah kalian masuk hanya dari
satu pintu. Masuklah dari berbagai pintu”. Ini pesan tentang keragaman metode
dalam mencapai tujuan. Beragamapun demikian. Islam adalah agama multidimensi. Sebagai
sebuah institusi, di dalamnya terdapat pintu-pintu masuk; ada pintu akhlak,
pintu akidah, pintu syari’ah, juga pintu haqiqah. Pintu terakhir ini memiliki
lorong yang berperan menuntun tamunya merasakan sensasi agama sebagai sesuatu
yang dihayati dalam kalbu; agama sebagai suatu cita-rasa. Tidak ada gradasi di
antara pintu-pintu tersebut, karena setiap pintu memainkan peranan
masing-masing dan saling menopang satu sama lain, selayaknya tiada pula gradasi
di antara para nabi dan kitab suci yang diturunkan oleh Allah. La nufarriqu
baina ahadim minhum. Pintu haqiqah yang menitis sebagai ilmu tasawuf inilah
yang menjadi tema bahasan makalah ini.
Kerangka Teori
Dalam analisa sejarah istilah
tasawuf, Amin Syukur memanfaatkan tulisan Ibn al-Ajuzi dan Ibn Khaldun. Ia
mendapatkan kesimpulan dari tulisan keduanya, bahwa memang harus diakui jika
istilah tasawuf adalah baru. Jika istilah zuhud pernah disebut dalam
surat Yusuf ayat 20, maka kata tasawuf tidak terdapat di dalam
al-Qur’an. Pun demikian dalam masa hidup Nabi. Gelar yang paling terhormat saat
itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah
ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada
masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul
istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in
(orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng),
Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan
sebagainya. Belum
ada istilah tasawuf. Terlepas dari itu, kajian asal-usul istilah tasawuf
memiliki banyak teori. Haidar Bagir menginventarisirnya dengan merujuk pada
beberapa kata dasar. Di antaranya adalah:
1. Kata shaff (baris,
dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama.
2. Kata Shuf, yakni
bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi.
3. Kata Ahlu as-Shuffah,
yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya
rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar
al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud,
Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman.
4. Ada juga yang
mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana,
yakni Bani Shufa.
5. Meski jarang, sebagian
yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa
atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu
Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far
Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna
penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam
buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu
definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau
mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk
tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan
atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat
bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada
gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati. Dengan
demikian, pada dasarnya, tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan
semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan
jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati
sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci tersebut.
Doktor At-Taftazani mencoba
memberikan uraian karakteristik dunia tasawuf Islam. Ia memulai dengan memaparkan
definisi karakter tasawuf atau mistisisme dari tokoh-tokoh seperti William
James, R.M. Bucke, dan Bertrand Russel. Dari sekian perbandingan tersebut,
Taftazani menyebutkan lima karakteristik dunia tasawuf (Islam). Berikut adalah
ringkasannya:
1. Peningkatan moral;
pembersihan jiwa serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
2. Pemenuhan fana’ (sirna)—tidak
merasakan keberadaan diri dan keakuannya—dalam realitas mutlak.
3. Pengetahuan intuitif
langsung (kasyf). Tidak seperti filsafat yang pengetahuannya didapat
dari kerja intelektual.
4. Ketenteraman dan
kebahagiaan; terbebas dari semua rasa takut.
5. Penggunaan simbol dalam
ungkapan-ungkapan (simbolisme). Ini adalah media untuk mengungkapkan pengalaman
yang sebenarnya subyektif dan susah untuk diungkapkan dalam kata-kata biasa.
Tasawuf:
Pandangan Umum
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi
munculnya tasawuf. Yang bersifat internal bisa bersifat nash (sumber-sumber
Qur’an dan Sunnah Nabi), dan historis. Di antara yang historis adalah reaksi terhadap
sistem sosial-politik-budaya-ekonomi yang oleh beberapa kalangan sudah tidak
selaras dengan yang dicontohkan oleh Nabi: kemewahan, pertikaian politik dan
perang saudara. Mereka yang tidak ingin terlibat dalam kondisi ini cenderung
untuk mengasingkan diri. Faktor lainnya yang diinventarisir oleh Amin Syukur adalah
reaksi terhadap ilmu fikih dan ilmu kalam yang tidak memberikan kepuasan hati.
Yang pertama lebih mementingkan formalisme dan legalisme dalam menjalankan
syariat, dan yang kedua mementingkan pemikiran rasional dalam pemahaman agama.
Ilmu tasawuf memiliki beberapa konsep.
Beberapa yang sering disebut dalam dunia tasawuf adalah konsep Al-Ahwal (Kondisi
Spiritual) yang terdiri dari sepuluh macam: muraqabah, qurbah (kedekatan),
mahabbah (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan), syauq
(kerinduan), uns (suka-cita), thuma’ninah (ketenangan), musyahadah
(kehadiran hati), yaqin (keyakinan sejati); kemudian juga konsep Al-Maqamat
(Kedudukan Spiritual) yang terisi di dalamnya tujuh hal: taubat, wara’,
zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan ridha.
Beberapa istilah untuk institusi-institusi
yang digunakan dalam dunia tasawuf, antara lain: ribath (rumah
peristirahatan atau pusat pelatihan Arab), khanaqah (rumah
peristirahatan—persia—yang bukan tempat pelatihan yang diperkenalkan kepada
kota-kota di Dunia Arab, zawiyyah (istilah untuk bangunan-bangunan yang
lebih kecil di mana seorang syaikh tinggal bersama murid-muridnya), khalwah (tempat
pengucilan diri atau kamar kecil di sekitar halaman masjid), yang kadang kala
juga disebut rabithah.
Tokoh-tokoh Kunci dalam Dunia Tasawuf
Penulis mencoba membuat daftar tokoh
kunci dalam sejarah tasawuf Islam. Berikut ini adalah yang penulis rangkum dari
berbagai buku. Tokoh paling utama tentu saja adalah (1) nabi Muhammad saw yang
menjadi salah satu sumber inti dalam dunia tasawuf, selain al-Qur’an atau peristiwa
Mi’raj beliau; Kemudian
(2) Imam Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar as-Shiddiq sebagai “Terminal Pertama”; Lalu
(3) Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn
Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib yang semua silsilah tarekat selalu melewati jalur
beliau. Sebut saja beliau ini sebagai “Jalur Utama”;
Disusul kemudian dengan Sang Hujjatul Islam, (4) Abu Hamid al-Ghazali sebagai
inspirator yang mengawali penyusunan aturan-aturan dan etika jalan sufi secara
terperinci, seperti tata tertib hubungan murid dengan guru, pengisolasian diri,
menahan lapar, tidak tidur malam, tafakur, mengingat Allah, dan sebagainya.
Selain itu, Haidar Bagir menulis:
…beliau yang berhasil menunjukkan ketakterpisahan cara
hidup tasawuf dengan ajaran Islam itu sendiri, setelah sebelumnya tasawuf
dianggap sebagai bid’ah oleh sebagian kalangan muslim sendiri. Lebih dari itu,
setelah melepaskan asosiasi tasawuf dengan sebagian besar spekulasi filosofis
dan praktik-praktik “kemabukan” (sukr), Sang Hujjatul Islam berhasil
menawarkan tasawuf berbasis syariat yang dipromosikannya sebagai cara hidup
keislaman yang paling autentik.
Profesor Simuh juga memberikan
apresiasi tinggi bagi Imam Ghazali. Ia menyebutnya sebagai ulama besar yang
sanggup menyusun kompromi antara syariat dan hakikat atau tasawuf menjadi
bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i
ataupun lebih-lebih kalangan para sufi. Bagi Imam Ghazali, tasawuflah sarana
yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalisme dan kekeringan rasa
keagamaan. Ide gagasan ini bisa dicermati dalam karya beliau yang berjudul Ihya’
Ulum ad-Din.
Kemudian (5) dua tokoh lagi, Abu
al-Qasim al-Junaidi dan Al-Bisthami, yang oleh Spencer Trimingham disebut
sebagai tokoh kunci dalam aliran-aliran tarekat. Annimarie
Schimmel memberikan komentar:
..Junaid boleh jadi merupakan titik temu yang diaku
sebagai pemukanya berbagai aliran atau madzhab sufi yang berpaham moderat dan
menghargai syariat. Berbeda dengan Abu Yazid al-Bisthami yang sering dianggap
imam bagi aliran-aliran sufi yang cenderung ke paham pantheis..
Trimingham mengomentari dua
tokoh ini dalam konteks kontras kecenderungan tradisi tasawuf:
Dua kecenderungan yang kontras mulai dapat digunakan
sebagai Junaidi dan Bisthami, atau Iraqi dan Khurasani. Abu al-Qasim al-Junaid
(w.298 H) dan Abu Yazid Thaifur al-Bisthami (w.260 H) adalah dua manusia cemerlang
yang dapat menangkap imajinasi-imajinasi melebihi rekan-rekan sezaman mereka
yang manapun. Keduanya dianggap membentuk kontras antara jalan yang didasarkan para
tawakul (tawakal) dan jalan yang didasarkan pada malamah (limpahan
kesalahan), antara yang mabuk dan yang tak mabuk, yang aman dan yang curiga, iluminatif
dan konformis, kesendirian dan kebesertaan, theis dan monis, bimbingan di bawah
seorang pembimbing duniawi (dengan suatu rantai rawi untuk mengatur sesuai
dengan standar praktik Islam) dan bimbingan di bawah seorang syeikh-ruh.
Junaid memiliki gelar
sebagai “Sayyid at-Tha’ifah” atau “Pemuka Paham Ketarekatan”, atas
jasanya sebagai peletak sistem ikatan ketarekatan. Risalah al-Qusyairiyyah menulisnya
sebagai “orang pemula yang mencoba menyusun aturan-aturan wirid untuk
membimbing sejumlah kecil murid-muridnya.”
Baru setelahnya kedua tokoh tersebut (6)
diisi oleh tokoh-tokoh penting dalam kaitannya sebagai inspirasi ide dan guru
besar dalam suatu tarekat. Jika digambarkan, maka bisa diilustrasikan sebagai
berikut.
Babakan Sejarah Tasawuf
Deskripsi sejarah tasawuf dalam
makalah ini bercorak pembabakan kronologis, yang juga sekaligus tematik. Sebagai
acuan dasar, penulis memilih uraian dari Haidar Bagir. Dalam buku Buku Saku
Tasawuf, terdapat bab ringkas-jelas berjudul “Sejarah Tasawuf dan
Aliran-Alirannya”. Haidar membagi sejarah tasawuf dalam empat babak: Tahap
Zuhud, Tahap tasawuf, Tahap Tasawuf Falsafi, dan Tahap Tarekat. Berikut ini
adalah ringkasan atas uraian tersebut, babak perbabak, periode, beserta
penjelasan kecenderungan, dan
tokoh-tokoh yang menonjol di dalamnya.
Dalam analisa Profesor Simuh, munculnya
tarekat melahirkan perubahan besar dalam dunia tasawuf. Beberapa yang dapat
diamati adalah:
·
Tasawuf yang sejak kemunculannya merupakan gerakan
individual dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elit kerohanian, berubah
menjadi gerakan massal dari kaum muslimin.
·
Tasawuf yang semula merupakan renungan dan aktivitas individual
secara mandiri dan bebas, berubah menjadi ikatan yang ketat antara guru dan
para murid dengan pola guru-sentris atau guruisme—yang kemudian melahirkan
pengkultusan pada guru, dan terutama pada syekh Pembina ajaran tarekat.
Ini berbeda dengan fungsi guru pada tahap sebelumnya yang hanya berperan sebagai
pengamat dan penasihat atas kekurangan dan kekliruan sang murid.
Salah satu sebab pergeseran ini adalah
tuntutan dan kebutuhan agar tasawuf dapat dicerna oleh masyarakat awam. Padahal
sesungguhnya di dalam tarekat terdapat dua inti: mujahadah yang berupa
renungan batin-filosofis, dan riyalat atau latihan rohani yang
ditentukan dan diatur oleh para sufi sendiri dan mereka namakan tarekat. Inti
pertama tentu tidak bisa dilakukan oleh orang awam, sehingga praktis aktifitas
tasawuf mengalami penyederhanaan, yakni dengan hanya mengakomodir bagian
riyalat (membaca dzikir, wirid, atau hizib tertentu) yang bisa dilakukan
oleh banyak orang secara massal. Sistem ini memungkin pencipta wirid sebagai
figur sentral. Ini kemudian bertemu dengan adopsi konsep “imamah” dalam tradisi
syiah yang menekankan pada sisi ke-ma’shum-an imam. Maka dimulailah kultus
dan keharusan total bagi seorang murid untuk menaati gurunya.
Tarekat-tarekat yang Menonjol Pada
Abad VI dan VII H
Deskripsi mengenai variasi tarekat
dalam tasawuf Islam penulis sajikan dalam bentuk tabulasi sederhana untuk
memudahkan pengenalan dasar terhadapnya. Sebagai acuan dasarnya, penulis menggunakan
sistematisasi ala doktor Taftazani. Beberapa
informasi tambahan lainnya dari sumber lain penulis akan mencantumkan rujukan
tersebut dalam catatan kaki. Daftar ini tentu saja bukan daftar yang menyeluruh,
sehingga mencakup semua aliran tarekat. Berikut ini adalah tabulasi di antara
tarekat-tarekat yang ada.
TAREKAT - ABAD
|
PENDIRI
|
KETERANGAN
|
Al-Qadiriyyah
(Abab VI)
|
Dinisbatkan kepada Syeikh
Abdul Qadir al-Jilani. Lahir di Irak, w. 561 H. Beliau seperti Al-Ghazali,
ahli fikih (Hanbaliyyah), ushul fiqh, dan senantiasa mengaitkan tasawuf
dengan Qur’an-Hadis.
|
Tarekat ini tersebar di
Yaman, Syiria, Mesir, India, Turki, Afrika, Sudan, Kawasan Asia, dan Afrika.
Tarekat ini masuk ke Indonesia melalui Hamzah al-Fansuri.
Tarekat ini bercorak moral.
Salah satu kitab yang penting adalah Ghunyah li Thalib Thariq al-Haqq.
|
Rifa’iyyah
(Abad VI)
|
Dinisbatkan kepada Syaikh
Ahmad ar-Rifa’I, lahir di Irak, w. 578 H. Beliau bermadzhab fikih Syafi’iyyah
|
Berkembang di Mesir
|
as-Suhrawardiyyah
(Abad VI dan VII)
|
Didirikan oleh dua pendiri:
Abu an-Najib as-Suhrawardi (Persia, w. 563 H) dan Syihabuddin Abu Hash Umar
as-Suhrawardi (Persia, w. 632 H)
|
|
As-Syadziliyyah
(Abad VII)
|
Didirikan oleh Syaikh Abu
al-Hasan as-Syadzili (Tunisia). Beliau bermadzhab akidah sunni. Tarekat ini
kemudian dilanjutkan oleh Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi, dan Syaikh ini
memiliki murid terkenal bernama Ibnu Athaillah as-Sakandari yang menghimpun
ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa-doa, dan biografi kedua gurubta tadi.
|
Tersebar di Mesir,
Andalusia, Indonesia, Afrika Utara dan Barat. Ajaran uniknya adalah peniadaan
rencana masa depan sebagai dasar ajaran, dan oleh Ibnu Athaillah diperdalam
sebagai doktrin utama tasawufnya. Juga Variasi Hizbnya yang beragam: Hizb
al-Asyfa’, Hizb al-Mubarak, Hizb al-Hujb, Hizb as-Salamah, dan Hizb Bahr.
|
Al-Ahmadiyyah
(Abad VII)
|
Dinisbatkan kepada Sayyid
Ahmad al-Badawi (Maroko, w. 675 H). Dari Maroko, beliau merantau ke Makkah,
dan kemudian ke Mesir, dan menetap di Thantha.
|
|
Al-Birhamiyyah
(Abad VII)
|
Dinisbatkan kepada Syaikh
Ibrahim ad-Dasuqi al-Qursyi (Mesir, w. 676 H)
|
Tersebar di Mesir, Syiria,
Hijaz, Yaman, dan Hadhramaut.
|
Al-Kubrawiyyah
(Abad VII)
|
Dinisbatkan kepada
Najmuddin Kubra (Persia, w. 618 H)
|
Tersebar di Persia.
Fariduddin al-Aththar menyatakan afiliasinya pada tarekat ini.
|
Al-Yasawiyyah
(Abad VII)
|
Didirikan oleh Ahmad
al-Yasawi (w. 562 H)
|
Berkembang di Turki, dan berperan
besar dalam mengislamkan suku-suku Turkistan.
|
As-Syistiyyah
(Abad VII)
|
Mu’inuddin Hasan as-Syisyti
(Sijistan, w. 623 H), seorang Sunni.
|
Tersebar di Asia Tengah,
India, Pakistan, dan Bangladesh. Tarekat ini dekat dengan
penguasakaisar-kaisar kerajaan Mughal. Pelajaran pertama dalam tarekat ini
sama sekali tidak berhubungan dengan doa-doa dan ritual-ritual, tetapi mulai
dengan mengedepankan kemampuan tertinggi untuk melakukan aoa yang kau
inginkan agar orang lain melakukannya untukmu. Latihan asketis tarekat ini
cukup keras, seperti menggantung diri selama 40 malam di atas sebuah sumur
dengan kepala menghadap ke bawah.
|
An-Naqsyabandiyyah
(Abad VIII)
|
Dinisbatkan kepada Baha’
Naqsyaband al-Bukhari (Bukhara, w. 791 H)
|
Tersebar di Asia Tengah,
Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Ketersebaran tarekat ini mencakup tiga
benua sehingga tarekat ini memiliki bentuk yang beragam sebagai bentuk dialog
dan akomodasi budaya-budaya setempat. Di Indonesia, tarekat ini diperkenalkan
pertama kali oleh Syaikh Yusuf al-Makassari, dan kemudian dimodifikasi menjadi
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyyah oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa karakter unik dari
tarekat ini adalah (1) penolakan mereka terhadap musik dan tarian, serta
lebih menekankan pada dzikir dalam hati. (2) ada upaya serius dalam
memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan
negara pada agama. Upaya memperbaiki penguasa adalah syarat untuk memperbaiki
rakyat.
|
Al-Khalwatiyyah
(Abad VIII)
|
|
Tersebar di Persia. Dalam hirarki
para tokoh tarekat ini terdapat Abu an-Najib as-Suhrawardi, pendiri tarekat
as-Suhrawardiyyah.
|
Bektasyiah
(Abad VIII)
|
Dinisbatkan kepada Haji
Bektasyi (w. 738 H)
|
Berkembang di Turki. Tarekat
ini adalah sempalan dari tarekat al-Yasawiyah.
|
Al-Maulawiyyah
(Abad VIII)
|
Dinisbatkan kepada Maulana Jalaluddin
Rumi (Balkh/ Afganistan, w. 1273 M)
|
Tarekat ini tersebar dari
Turki hingga India. Bahkan sangat popular di dunia Barat. Salah satu karya
penting Rumi adalah Matsnawi. Ada satu tarian yang terkenal dari tarekat
ini, yakni Tarian Darwish Berputar.
|
Model display ragam tarekat
juga bisa didasarkan pada pendekatan wilayah, seperti yang dilakukan oleh
Trimingham. Ia membagi ada tiga aliran tarekat utama: Daerah Mesopotamia/ Irak,
Khurasan/ Mesir & Maghrib, Lingkungan Turki, Iran, dan India.
Mesopotamia
|
Khurasan/ Mesir & Maghrib
|
Lingkungan Turki, Iran dan India
|
As-Suhrawardiyyah, Rifa’iyah,
Qadiriyyah,
|
Syadziliyyah, Ahmadiyyah, Birhamiyyah,
|
Kubrawiyyah, Yasaviyyah, Maulawiyyah,
Naqsyabandiyah, Christiyyah, Suhrawardiyyah India,
|
Seperti yang terlihat di atas, nama
sebuah tarekat hampir selalu salaras dengan nama pendirinya. Trimingham menyatakan
bahwa proses penisbahan ini tidak jelas. Kemungkinannya, ini dilakukan oleh murid
yang menelusuri dan menisbahkan madzhab (metode) dan thariqah (jalan)
mereka kepada guru mereka yang piawai, sebab ia adalah jaminan validitas dan
pelatihan mereka. Semua
tujuan tarekat esensinya sama. Perbedaannya, dari dulu sampai sekarang,
hanyalah pada aturan-aturan praktis semata, seperti cara berpakaian, wirid, dan
hizib. Doktor Taftazani menyamakan tarekat-tarekat ini dengan sekolah yang sama
tujuan pendidikan ruhaniahnya, tapi berbeda dalam sarana praktisnya, karena
pilihan gaya dan metode guru dalam efektifitas pendidikan mereka. Poin lain
yang digarisbawahi oleh Taftazani adalah tujuan tertinggi dari seluruh tarekat
yag berujung pada moral, penyesuaian diri, kejujuran, amal, kesabaran,
kekhusyukan, cinta, tawakkal, dan keutaman-keutamaan lain yang diserukan Islam.
Mengenai periode kemunduran dunia
tarekat, Doktor Taftazani menyebutkan, bahwa hal itu dimulai sejak masa Dinasti
Ustmaniyyah (ottoman). Banyak tarekat sufi mutakhir banyak yang mengalami kemunduran.
Beberapa faktor yang melatarinya antara lain adalah (1) para sufinya tidak
menghasilkan karya-karya kreatif, (2) kecenderungan yang mengarah pada
formalisme serta semakin jauh dari substansi tasawuf, (3) banyak tarekat yang
diliputi oleh khurafat, berlebihan dalam memperbincangkan biografi atau
kekeramatan para wali. Meskipun demikian ada beberapa tarekat yang masih survive,
seperti Tarekat al-Qadiriyyah, as-Syadziliyyah, dan at-Tjaniyyah.
Sekilas Peran Sejarah dan Potensi
Tasawuf & Tarekat
Alur sejarah tasawuf di atas secara
tidak langsung juga merupakan pemaparan peran sejarah yang dilakukan oleh
tasawuf sebagai gerakan penjaga moral. Mahmud Suyuthi sebagai perlawanan
spiritual di saat kondisi obyektif sosial-politik umat mengalami degradasi
nilai dan penyimpangan dari ajaran normatif Islam. Dalam ajaran sufi terkandung
potensi gerakan moral, sebagai realisasi ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Lebih
lanjut, ia menyatakan:
“Perlawanan spiritual dan gerakan moral itu pada momen
tertentu menjadi basis gerakan protes dan gerakan politik, terutama setelah
kehidupan sufi mengejawantah dalam gerakan tarekat dengan jaringan organisasi
yang rapi dan teratur, dengan disiplin yang ketat di bawah satu komando
kharismatik.”
Contoh gerakan politik ini bisa
dicermati dalam peran sejarah yang dilakukan oleh tarekat Sammaniyah, baik yang
di Palembang maupun di Kalimantan Selatan, dalam melawan penjajahan Belanda,
dan perlawanan tarekat Khalwatiyah terhadap kompeni di Banten. Di
belahan dunia lain, tarekat Sunusiah (tarekat revivalis-aktivis di Afrika
Utara) bangkit melawan penjajahan Eropa di Libya.
Juga dengan gerakan Mahdi yang dipimpin Muhammad Ahmad di Sudan dalam menentang
penjajahan Inggris. Gerakan
anti-penjajah menjadi abgian dari ajaran tarekat. Dalam konteks dakwah, Islam
sufistiklah yang pada akhirnya mampu mendapatkan hati masyarakat Indonesia pada
abad ke-6 dan 7.
Dalam buku Tarekat dan Dinamika
Sosial Politik, Muhsin Jamil mengutip Obert Voll yang menyatakan, ada tiga
komunitas yang selalu terlibat dalam proses kontinuitas dan perubahan peradaban
Islam, setelah runtuhnya kekuatan politik Islam: ulama fikih, para pedagang
muslim (organisasi komersial), dan asosiasi sufi (tarekat). Muhsin mengutip
pernyataan Martin Van Bruinessen:
Setiap tarekat merupakan semacam keluarga besar yang
semua anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu sama lain. Fungsi
keagamaan dan fungsi sosial semacam ini menjadikan dalam tarekat terkandung
kekuatan politik.
Kemudian ia menguatkan:
….tarekat tidak hanya memiliki potensi keagamaan,
tetapi juga memiliki potensi sosial, ekonomi, dan cultural. Wajar saja apabila
secara politik tarekat sebenarnya mempunyai posisi yang strategis.
Potensi sosio-kultur-politik-ekonomi ini
dikarenakan tarekat, seperti halnya madzhab, memberikan sarana integrasi
yang melampaui batas-batas pemisah, Negara-negara militer dan kota-kota kosmopolitan,
mempersatukan struktur orde sosial Islam antar benua dan transkontinental. Lebih
jauh, H.A.R. Gibb menyatakan bahwa sesudah direbutnya khalifah, tugas untuk
memelihara kesatuan masyarakat Islam beralih kepada kaum sufi. Dengan demikian,
tarekat menjadi salah satu pilar kontinuitas peradaban Islam,
Daftar Pustaka