Manusia, agama dan pohon memiliki
hubungan yang unik. Kalau Natal-an, ada pohon cemara yang hampir selalu
disertakan. Ini simbol. Pohon cemara itu tumbuh di semua musim, daunnya selalu
hijau, dan tidak pernah rontok. Maka ia dijuluki “tetumbuhan hijau abadi”. Ada
proses fotosintesis yang unik di sana. Model hidup cemara yang sedemikian “evergreen”
inilah yang kemudian ingin dihayati dan ditiru. Selalu hijau, tumbuh di semua
musim, dan tidak pernah rontok daunnya.
Hindu punya pohon yang bernama “Banyan”.
Kita di Indonesia menyebutnya “Pohon Beringin”. Dalam Bhagavad Gita, Krisna
mengatakan: “…Di antara semua pohon, aku adalah pohon Banyan..”. Pohon ini unik
karena akarnya justru naik ke atas, sedang cabangnya menjuntai ke bawah. Lagi-lagi
ini simbol, bahwa dunia materi adalah refleksi dari dunia spiritual. Dunia
materi hanyalah bayangan realitas sejati. Di dalam bayangan, tidak ada
kenyataan atau substansi, tapi melalui bayangan jualah kita paham bahwa ada
substansi dan kenyataan yang sejati. Pohon Banyan ("Vat Vriksha"
dalam bahasa Sansekerta) sakral bagi umat Hindu. Ia adalah simbolisasi sempurna
akan keabadian, karena sifat pohon ini yang seperti tidak berhenti membesar. Ada
yang mengatakan bahwa Pohon Bodhi, tempat Siddharta mendapatkan pencerahannya, adalah
ya Pohon Banyan ini.
Kita yang orang Indonesia juga
sangat akbrab dengan Pohon (Beringin) ini, hingga ia dimasukkan sebagai salah
satu Perisai Garuda kita—selain bintang, rantai, kepala banteng, serta padi dan
kapas. Pohon Beringin menjadi simbol sila ketiga: Persatuan Indonesia. Karena
pohon beringin memiliki banyak akar yang membentuk satu batang pohon kokoh. Ini
juga yang ingin diasosiasikan dengan Indonesia: banyak etnik, suku, bahasa, dan
ragam budaya, yang menyatu menjadi satu bangsa kokoh bernama Indonesia.
Di dalam Islam, ada pohon bernama
“Sidrat al-Muntaha” atau “Sidratul Muntaha”. Beberapa mengartikannya sebagai
“Pohon Kehidupan”, beberapa menyebutnya sebagai pohon bidara yang menandai
akhir dari Langit atau
Surga
Ketujuh, sebuah batas dimana makhluk tidak dapat melewatinya, tempat diputuskannya segala
urusan yang naik dari dunia di bawahnya, maupun segala perkara yang turun dari
atasnya. Nama pohon ini ada di surat an-Najm [53], tepatnya pada ayat 14. Satu
pohon yang menjadi tujuan akhir Isra’ Mi’raj nabi Muhmmad saw., sekaligus juga
menandai kejadian-kejadian penting, dimana Nabi melihat wujud malaikat Jibril
yang sebenarnya, kemudian Nabi melihat Allah, dan menerima perintah shalat lima
waktu.
Yang menarik soal pohon Sidrat
al-Muntaha ini adalah ulasan yang disampaikan oleh Cak Nur. Beliau memulai dari
terjemahan Muhammad As’ad atas “Sidratul Muntaha” sebagai “The Lote-tree of The
Farthest Limit” atau “Pohon Lotus pada Batas yang Terjauh”.
Pohon Lotus, dalam bahasa
Indonesia adalah pohon Teratai atau Seroja. Dalam tradisi Timur Tengah, sejak
zaman Mesir Kuno, pohon tersebut dianggap sebagai lambang kebijaksanaan. Sehingga,
Sidrat al-Muntaha adalah lambang kebijaksanaan tertinggi dan terakhir yang
dapat dicapai manusia pilihan, yang tidak teratasi lagi, karena tidak ada
kebijaksanaan yang lebih tinggi dari itu. Nabi menerangkan bahwa “di balik
pohon Sidrat itu ada misteri yang hanya Allah saja yang tahu.”
Makna simbolik yang kedua adalah, kata
Sidrat (juga disebut Sidr) berarti “kerindangan dan keteduhan”.
Perlambang “kedamaian” dan “ketenangan”. Jika Nabi telah sampai pada Sidrat
al-Muntaha, maka berarti beliau telah mencapai tingkat kedamaian,
ketenangan dan kemantapan batin yang tertinggi, yang paling puncak, yang tidak didapat
oleh siapapun yang lain. Karena itu, sesudah mengalami Isra’ Mi’raj, beliau
mencapai kemenangan demi kemenangan—tepatnya setelah berhijrah ke Madinah.
Makna ini juga paralel dengan kronologi
sebelum Nabi di-Isra’kan. Tahun kesepuluh kenabian disebut dengan ‘Am
al-Huzn (tahun duka cita). Abu Thalib, paman pelindung utama beliau, dan
Khadijah, istri yang setia menemani perjuangan nabi Muhammad, meninggal dalam
waktu yang berdekatan. Allah kemudian membesarkan hati dan menghibur beliau
dengan cara meng-Isra’-kannya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dan
me-Mi’raj-kan beliau untuk menemui Allah di Sidrat al-Muntaha.
Demikian. Dari semuanya, yang
menarik bagi saya bukanlah membicarakan benar dan salahnya, tapi mencermati
bagaimana asyik dan kreatifnya manusia memaknai sesuatu, bagaimana manusia
berefleksi tentang diri dan kehidupannya melalui pohon. Interpretasi dan
simbolisasi-simbolisasi di ataslah yang menarik untuk direnungkan. At least,
manusia meneropong kehidupannya melalui mahluk yang bernama pohon.
Ayiko Musashi,
Klaten, 12 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar