Menghidupi sepertiga akhir dari malam memang unik. Ada
banyak teman yang menuturkan bagaimana mereka atau sanak famili atau teman yang
awalnya sering sakit-sakit, kemudian secara sengaja atau tidak
sengaja—membiasakan diri bangun pada sepertiga akhir malam, kemudia secara
“misterius” menjadi merasa lebih sehat. Entah bagaimana mekanismenya. Bagi saya
yang mewakili kaum awam, tahunya kan hasil dari suatu aktifitas, tanpa bisa
mengerti apa dan bagaimana sebenarnya proses yang mendahului akibat “sehat”
tadi.
Sementara ini saya mencoba mereka-reka, bahwa mungkin sehat
itu dikarenakan ada energi malam yang berkolaborasi dengan tubuh manusia, atau
sebaliknya, tubuh mendapatkan harmoni dengan aktif hadir mengisi sepertiga
malam tadi. Jadi, intinya, dalam penerawangan saya ini, ada energi yang entah
apa yang bereaksi ketika tubuh manusia dan siklus alam bertemu dalam suatu
momentum.
Mungkin menggelikan, tapi setidaknya kan memang ada
waktu-waktu tertentu yang kita istimewakan—seperti juga lokasi-lokasi tertentu
yang sangat mendukung dalam sebuah pencapaian tujuan tertentu. Misalnya, kenapa
Islam muncul di Arab, sebuah gurun gersang dengan masyarakat pagan, yang diapit
oleh dua peradaban besar pada saat itu, yakni Kerajaan Persia yang beragama
Majusi, dan Kerajaan Romawi di satu sisi, dengan agama Kristennya. Kenapa juga misalnya
orang-orang bertapa selalu mencari lokasi tertentu, seperti di puncak gunung,
di gua, di pantai, di hutan, dan macam-macam. Contoh-contoh ini tidak lain
mengisyaratkan bahwa memang ada lokasi-lokasi tertentu yang memiliki energi
yang mendukung tujuan dari aktifitas kita.
Memang benar bahwa dunia itu relative. Tapi ini bukan
berarti semua tempat menjadi sama saja, dan biasa-biasa saja. Tentu tidak dong.
Setiap tempat memiliki nuansanya sendiri-sendiri, memiliki nuansa
sendiri-sendiri. Perasaan Anda tentu berbeda kan ketika sedang berada di hotel atau
mall mewah, dengan ketika sedang berada di tengah kuburan?! Pasti beda. Itu
makanya, ada pengetahuan tersendiri untuk mengukur tepat dan tidaknya sebuah
tempat dijadikan untuk ini dan itu.
Dulu ada dokter, filosof, sekaligus seniman Islam yang
bernama Al-Farabi, yang ketika akan mendirikan sebuah gedung rumah sakit, ia
berkeliling untuk menemukan lokasi yang pas. Metodenya unik tapi sangat ilmiah
dan akurat. Pertama-tama, ia menilai sekian lokasi dengan memperhatikan
lingkungan, akses, dan kebutuhan ini-itunya dulu. Lalu muncullah sekian opsi.
Setelah sekian lokasi diseleksi, didapatlah nominasi-nominasi. Kemudian untuk
memilih satu di antara sekian banyak lokasi terpilih tadi, ia meletakkan
sepotong daging di setiap tempat yang sudah dipilih tadi. Pemilihanpun dimulai.
Metodenya: tempat mana yang pembusukan dagingnya lebih lama, itu berarti tempat
yang pas untuk mendirikan rumah sakit. Asumsinya apa? Tempat yang pembusukan
dagingnya tadi lebih lambat, berarti relatif lebih steril daripada tempat yang
pembusukan dagingnya berlangsung cepat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga sudah sering melihat metode
seperti ini. Bagi seorang ahli bahasa dan kaum bijak, mereka punya kaidah: li
kulli maqaamun, maqalun; wa li kulli maqaalun, maqaamun. Ini singkat, tapi
indah dan bermanfaat. Setiap tempat itu ada tata cara bicaranya, dan setiap
pembicaraan itu ada tempatnya. Jadi, tidak bisa di-gebyah-uyah, tidak
bisa dipukul rata. Ini namanya, kontekstual. Ini yang disebut muqtadh
al-hal. Sesuai dengan keadaan.
Demikian juga dengan kalangan pebisnis. Ketika membangun
sebuah toko atau lapangan usaha, mereka analisis dulu, tempat mana yang—dalam
bahasa mereka, istilahnya—strategis. Tempat yang kira-kira tepat untuk didirikan
usaha, sehingga tidak rugi. Sehingga apa yang dijual laku.
Begitulah. Akan ada banyak contoh lain yang bisa digali.
Anda bisa menambahkan contoh-contoh di atas tadi dengan pengalaman Anda
sendiri. Intinya, ada keistimewaannya sendiri-sendiri di setiap tempat. Itulah
kuncinya.
Nah, kalau tadi saya berusaha mencoba meraba-raba di tataran
ruang (space), maka demikian juga halnya dengan yang terjadi pada
tataran waktu (time). Ada saat-saat tertentu yang memiliki energi khas
dan istimewa. Jadi, untuk memahami keistimewaan sepertiga akhir dari malam,
bisalah kita runut dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari dalam kehidupan kita.
Ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan: “Emang apa sih keutamaan sepertiga
malam? Kan ya sama sajalah seperti waktu-waktu yang lain, kan? Jangan-jangan
yang membuat malam menjadi istimewa itu karena pikiran atau kepercayaan kita
saja?!”
Bisa saja demikian. Tapi saya berpendapat bahwa selain
karena pikiran dan kepercayaan kita yang sifatnya internal, sepertiga malam itu
sendiri juga memiliki keunikan energi tersendiri—sebagai wakil dari pihak
eksternal (di luar diri manusia).
Kita akan mulai dengan fakta-fakta berikut ini. Anda dan
siapapun saja pasti banyak yang sepakat bahwa yang paling enak ketika makan pecel
atau soto itu pas pagi. Jadi, ketika hawa masih sejuk, dingin, perut lapar,
asyik sekali rasanya makan pecel yang pedas dan hangat kepul-kepul, atau
pasti ngiler merasakan enaknya kuah soto yang gurih campur sedikit asem,
bercampur dengan sensasi pedas. Apalagi ditambah minum kopi. Walah..!
Kemudian, ketika siang sedang meradang, pas tubuh sedang
kelelahan karena aktifitas yang sedemikian rupa, keringat menetes, hawa yang
panas, maka terasa segar sekali minum es teh, es jeruk, atau es jus. Demikian
seterusnya ketika sore, petang, dan ketika malam. Ada sajian dan menunya
sendiri yang pas.
Kita bisa melihat kan, bagaimana tidak kita sadari, ada
pola-pola tertentu di dalam siklus makan kita. Ada aturannya sendiri-sendiri. Ini
adalah contoh kerangka yang akan kita pakai dalam memahami keistimewaan
sepertiga malam. Tadi itu kan kita baru mempertemukan dua variabel saja, yakni
antara variabel “waktu” dan variabel “mbadog” atau makan. Ini saja sudah
bisa melahirkan penelitian tersendiri yang cukup menarik. Bayangkan saja sebuah
penelitian berjudul “Waktu dan Pola Makan Manusia”. Cukup menarik, bukan?! Lha,
apalagi kalau kita mengaitkan antara “waktu” dengan “aktifitas manusia” yang
notabene lebih luas cakupannya.
Waktu itu memang sangat penting untuk dimengerti. Karena
kehidupan yang muacam-macam ini sebenarnya hanya berada di dalam dua dimensi,
yakni dimensi ruang dan dimensi waktu (space and time). Itu kenapa
al-Qur’an banyak sekali memakai unsur waktu di dalam menyebut, atau mengawali
sebuah pembicaraan. Misalnya dalam kasus “Qasam”atau sumpah di dalam al-Qur’an.
Biasanya yang dijadikan sumpah itu adalah hal yang sangat penting di dalam
kehidupan manusia. Nah, sebagian besar dari yang penting tadi adalah hal-hal
yang terkait dengan waktu: wa adh-Dhuha (waktu Dhuha), wa al-Laili (malam),
wa an-Nahari (siang), wa al-Ashri (waktu asar atau masa), wa
al-Fajri (saat fajar), dan macam-macam hingga ada yang disebut Lailah
al-Qadar, satu momentum yang sengaja dirahasiakan kehadirannya.
Ini menunjukkan betapa al-Qur’an ingin mengingatkan bahwa
dimensi waktu itu penting disadari dan direnungkan oleh manusia. Waktu itu
bagai pedang, kata Sayyida Ali. Jika kau tak pandai menggunakannya, kau sendiri
yang nanti tersabet olehnya. Juga ada sekian banyak hal yang dinasihatkan oleh
para bijak bestari, betapa waktu adalah modal yang sangat besar. Betapa waktu
adalah hal berharga yang tak ternilai bagi usaha manusia. Begitu berharga
sampai manusia harus waspada dalam menggunakannya. Karena—masih menurut
Ali—kalau toh kita tidak mendapat rezeki hari ini, tenanglah saja. Bisa kita
harapkan ia dating esok hari. Akan tetapi bersikap bijaklah terhadap bebarapa
hal yang tak pernah bisa ditarik kembali, yakni anak panah yang sudah kita
lesatkan dari busurnya (ucapan yang sudah kita lepaskan dari mulut juga sering
diibarat sebagai anak panah yang melesat, ia tidak pernah bisa dicabut
kembali), dan kedua, adalah waktu.
Maka benar sajalah ketika Nabi Muhammad berpesan kepada kita
untuk menjaga 5 hal sebelum datangnya 5 hal lainnya. Ightanim khamsan qabla
khamsin. Benar juga bahwa waktu adalah dasar dari segala perubahan. Siang
menjadi malam, muda menjadi tua, hidup beralih mati, menang berganti kalah, hingga
kembang berubah menjadi buah.
Waktu juga yang sudah menginspirasi perubahan banyak tokoh.
Ada seorang ulama yang bernama Ibnu Hajar. Namanya unik, Ibnu Hajar, yang jika
di Indonesiakan maka berarti “Anak Batu”. Apakah ini karena beliau ndableg sehingga
dinamai anak batu? Apakah ia keras
kepala? Ternyata bukan sama sekali. Beliau dinamai “Anak Batu” karena ia
mendapatkan inspirasi perubahan dari fenomena cekungan pada batu yang keras
yang diakibatkan oleh tetes-tetes air lembut yang terus-menerus sekian waktu. Awalnya,
beliau ini adalah seorang murid yang hamper putus asa, karena seberapa ia keras
berusaha belajar, tetap saja ia tidak bisa menguasai ilmu yang dipelajari. Dalam
kesedihan dan hati yang putus asa, ia berniat pergi, pulang meninggalkan tempatnya
belajar. Dalam perjalanan pulan, beliau diselamat oleh sesuatu yang beliau
lihat. Waktu itu ada sebongkah batu besar, yang padat dan keras. Tapi
menariknya, ada cekungan di bagian batu itu. Lalu, apa menariknya sebuah
cekungan? Menjadi sangat menarik karena pembuat cekungan itu adalah tetesan air
yang justru sifatnya sangat lembut dan sangat terkesan tidak berdaya jika
dibandingkan dengan kokohnya batu itu. Tapi, apa gerangan sehingga tetesan air
mampu melubangi kekokohan batu? Itu adalah karena ke-istiqamahan yang dijalani
oleh tetes-tetes air tersebut. Keajegan, ketenangan yang terus-menerus, kegigihan
yang tanpa henti, pada akhirnya akan selalu membuahkan hasil. Dari pengalaman
yang remeh, yang hanya berlangsung sekian detik inilah, Ibnu Hajar langsung
merevolusi, merombak total apa yang selama ini ada di pikirannya. Ia terbakar
lagi oleh semangat membara-berkobar-kobar. Ia segera bergegas kembali ke
tempatnya belajar. Beliau ambil lagi buku-bukunya. Dibaca lagi, ditelaah lagi,
dengan semangat yang baru, dengan pikiran yang baru, dan kayakinan yang baru:
bahwa jika tetes air saja mampu mengalahkan kokohnya batu, maka apalagi semangat
dan kegigihan dalam merobek selimut kebodohan. Maka, Ibnu Hajar merasa pasti
bisa! Ia pasti paham! Tidak mungkin tidak! Selama ia berlaku seperti tetes air
yang lembut tapi istiqamah dalam melubangi padat kokohnya sang batu.
Istiqamah, itu adalah kunci yang bisa kita ambil dalam sejarah
biografi perjuangan dan kegigihan Ibnu Hajar. Dan istiqamah itu berarti Anda berusaha
mengakrabkan “usaha” Anda dalam meraih sesuatu dengan sang “waktu”. Usaha Anda
digabungkan dengan kelanggengan waktu.
Kemudian, cerita yang lain datang dari salah satu Nabi yang
sering kita sebut “misterius”. Misterius karena penampilannya selalu nyleneh.
Baliau sering tampil sebagai tukang ojek berambut gondrong, seorang pemuda
dengan celana sobek-sobek, menjadi pengemis, pedagang, dan macam-macam. Untuk
menemui beliaupun ada tempat-tempatnya sendiri. Seperti yang dialami oleh nabi
Musa ketika beliau diperintah Allah untuk menemui salah satu hamba-Nya yang
lebih pintar daripada nabi Musa. Maklumlah, nabi Musa itu memang kuat dan
memang pintar, sampai kemudian beliau bicara di depan banyak orang: “Ayo,
tunjukkan padaku siapa yang lebih pintar di antara kalian daripada aku, Musa”. Nah,
setelah ungkapan itulah, nabi Musa kena batunya. Beliau diperintah untuk
menemui nabi bernama Khidhir.
Cara menemui nabi Khidhir adalah, berjalan menyusuri
pinggiran sungai hingga pantai, sambil membawa ikan yang sudah digoreng
(artinya: mati). Jika, pada suatu tempat nanti, ikan yang sudah digoreng itu hidup,
dan meloncat ke air, maka disitulah kira-kira nabi Khidhir berada. Nah, unik,
kan? Hehehe!
Anda pasti sudah maklum bagaimana kelanjutan kisah ini,
singkat cerita, dari pertemuan itulah nabi Musa disadarkan bahwa ada makhluk
lain yang lebih hebat dari dirinya. Apakah kamampuan yang tidak dimiliki oleh
nabi Musa tapi dipunyai oleh nabi Khidhir itu?
Ialah soal waktu. Ada tiga peristiwa yang bisa dicermati
baik-baik: (1) Nabi Khidhir menenggelamkan kapal nelayan,.(2) Nabi Khidhir membunuh
seorang anak kecil, dan (3) Nabi Khidhir membangun kembali rumah roboh yang ada
di tengah masyarakat yang kikir terhadap nabi Khidhir dan nabi Musa.
Terhadap tiga peristiwa ini, nabi Musa selalu gagal dan
tidak bisa memahami tingkah yang dilakukan oleh nabi Khidhir. Musa bingung
kenapa kapal nelayan yang membantu menyebrangkan mereka malah dilubangi oleh
Khidhir. Musa juga mencak-mencak protes ketika Khidhir membunuh seorang
anak kecil yang tidak berdosa. Musa kembali keki ketika Khidhir malah berbuat
baik dengan memperbaiki salah satu rumah yang roboh dari masyarakat yang justru
pelit memberikan makanan dan minuman kepada mereka. Musa menganggap aneh semua
tingkah Khidhir. Dan demikian juga kita kebanyakan pasti setuju dengan protes
nabi Musa. Tapi justru, pikiran yang belum bisa melihat kewajaran tingkah
Khidhir itu yang justru aneh, dan membuat Musa gagal menjalani tes dari Allah
tadi.
Ini tidak lain karena keterbatasan cara berpikir nabi Musa
dan jangkauan waktu yang bisa dicapai olehnya. Sedangkan Khidhir dikaruniai
Allah kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang terjadi pada masa “sekarang”, mada
“lalu”, dan masa “depan”.
Ketika melubangi kapal, itu dilakukan Khidhir karena itu
tahu saat itu ada perompak yang akan membajak kapal itu jika kapal itu tidak
ditenggelamkan. Ini adalah pengetahuan tentang masa kini atau “sekarang”.
Kemudian, Khidhir membunuh anak kecil tak berdosa, karena
beliau tahu bahwa jika dibiarkan besar nanti, anak ini akan menjadi orang kafir
dan menyakiti kedua orangtuanya, makanya Khidhir membunuhnya, untuk
menyelamatkan orangtuanya dan si anak itu sendiri, karena jika seorang manusia
meninggal saat usia kecil, belum baligh, ia akan masuk surga tanpa hisab.
Yang ini menunjukkan ilmu Khidhir terkait dengan hal-hal di masa “depan”.
Dan terakhir, Khidhir membangun rumah yang roboh, karena
beliau tahu, di bawah rumah itu dulu ada harta karun yang dipendam oleh
orangtua dari si anak yatim, agar nanti bisa dimanfaatkan ketika ia dewasa. Nah,
yang ini adalah ilmu khidhir tentang masa “lalu”.
Demikianlah nabi Musa dikalahkan keilmuannya oleh Khidhir
dalam bidang jangkauan keilmuannya terkait soal waktu. Nabi Khidhir ini adalah
nabi yang dipilih oleh Allah untuk mengabarkan ilmu-ilmu yang tidak dimiliki
oleh manusia kebanyakan mengenai ilmu waktu, yakni masa sekarang, dulu, dan
masa depan. Segala tingkah nabi Khidhir tentu saja tidak bisa kita tiru, karena
nabi Khidhir sudah diizinkan oleh Allah untuk tahu soal 3 dimensi waktu tadi
(sekarang, lalu, dan depan). Dan nabi Khidhir ditunjuk berperan demikian hanya
dalam rangka mengingatkan nabi Musa bahwa “Di atas langit masih ada langit”. Di
atas orang pandai, masih ada yang lebih pandai. Di atas yang hebat, masih ada
orang yang lebih hebat. Maka, pelajaran lain yang bisa kita petik dari kisah
ini adalah teladan untuk bersikap rendah hati. Jika tidak mau berendah hati,
maka bersiap-siaplah dikejutkan oleh Khidhir-Khidhir kehidupan.
Baik,jika Ibnu Hajar tadi mengajarkan tentang “ilmu durasi
waktu”, maka nabi Khidhir mengajarkan “ilmu dimensi waktu”. Dan akan ada banyak
lagi ilmu-ilmu yang bisa kita temukan, jika kita mau merenungkan “waktu”. Cobalah
pasangkan “waktu” dengan geografi, sosiologi, hokum, ekonomi, medis,
matematika, antariksa, astronomi, fisika, biologi, Kimia, ilmu perdukunan, ilmu
mancing, ilmu nelayan, dan segala macam ilmu lainnya, pasti akan anda temukan
ilmu-ilmu baru yang sama sekali tidak kita pikirkan selama ini.
Bersambung…
Ayiko Musashi,
Yogyakarta, 15 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar