A. Pendahuluan
Ada dua istilah yang
seringkali disebut secara bergantian, sehingga timbul kesan bahwa dua istilah
tersebut adalah sinonim, akan tetapi setelah diteliti, dua istilah tersebut
memang serupa tapi tak sama. Hampir mirip tapi tetap dua hal yang berbeda:
Sunnah dan Hadis.
Demikian halnya dengan
dua istilah lain yang juga sering diucapkan dalam kesan sinonim dengan istilah
“hadis”, yakni “khabar” dan “atsar”. Meskipun berbeda, tetapi keempat istilah
ini disatukan dalam fungsi mereka sebagai sebuah informasi.
B. Beberapa
Diferensiasi
Untuk memulai kajian
konseptual empat istilah tersebut, penulis mencoba untuk membuat klasifikasi
dari definisi-definisi yang telah ada. Setidaknya, penulis mencatat tiga model
diferensiasi.
- Diferensiasi Berdasarkan Materi
Model pertama adalah cara
mendefinisikan perbedaan atau diferensiasi dengan melihat materi informasi. Yang
termasuk dalam model ini termasuk pendapat para ulama yang mendefinisikan bahwa
yang disebut Sunnah adalah informasi yang merujuk pada praktik
(amaliyah) dan taqrir Nabi Muhammad saw. Sedangkan yang disebut Hadis hanyalah
informasi yang berbentuk ucapan.[1] Dari
pembedaan demikian, maka muncullah istilah ahli hadis (imam fi al-hadits),
ahli sunnah (imam fi as-sunnah), dan ahli keduanya (imam fi hima).
Contoh kasus: suatu kali Abu Said Abdurrahman bin Mahdi bin Hisan al-Anbari
ditanya tentang Sufyan as-Sauri, al-Auza’i, dan Malik. Ia menjawab bahwa Sufyan
as-Sauri adalah hali hadis, tetapi tidak dalam sunnah; al-Auza’i ahli dalam
bidang sunnah, namun tidak dalam bidang hadis; sedangkan Malik ahli dalam kedua
bidang tersebut.
Diferensiasi model pertama ini juga memuat contoh
pernyataan bahwa “Sebuah hadis bertentangan dengan qiyas, sunnah, dan ijma’”.
Ini dipahami dalam pengertian informasi dari Nabi yang bentuknya verbal
bertentangan dengan informasi dari Nabi juga yang bentuknya praktik perbuatan
atau ketetapan (taqrir). Demikian pula pengertian yang dimaksudkan oleh Abu
al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qubi—dalam bukunya yang terkenal—dengan judul “Kitab
as-Sunan bi Syawahid al-Hadits”. [2]
Ada juga definisi—masih
dalam model diferensiasi pertama—yang menyatakan bahwa yang disebut Hadis adalah
segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi nabi
atau sesudahnya, akan tetapi ketika menyebut Hadis, yang dimaksudkan
biasanya adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi sesudah beliau
diangkat menjadi nabi.[3]
- Diferensiasi Berdasarkan Sumber
Ini adalah model pembedaan
istilah yang diambil tidak dengan melihat isi atau bentuk informasi, melainkan dengan
mempertimbangkan sumber atau kepada siapa sebuah informasi itu disandarkan. Dalam
diferensiasi model kedua ini definisi-definisi lebih diarahkan untuk meneliti
perbedaan istilah antara Hadis, Khabar, dengan Atsar.
Penduduk Khurasan dulu memulai
pembedaan dengan mengatakan bahwa khabar itu semakna pengertiannya
dengan hadis, dan istilah atsar merujuk pada perkataan atau
keputusan dari para Shahabat. Lebih maju kemudian, Muhammad al-Zafzaf memilah,
bahwa hadis itu adalah informasi yang terbatas pada Nabi Muhammad saw
saja; sedangkan khabar lebih luas cakupannya dibanding hadis,
yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan selain beliau—seperti
kepada Shahabat; dan kemudian istilah atsar lebih cenderung berarti
segala sesuatu yang disandarkan pada selain Nabi—khususnya kepada generasi Tabi’in.[4]
Namun demikian, banyak
kalangan ulama yang cenderung tidak memilah sumber informasi seperti yang telah
lalu, sehingga tidak ada beda antara hadis, khabar, dengan atsar.
Generalisasi ini mengambil dasar dari istilah-istilah yang digunakan di dalam Ulumul
Hadis yang menyatakan bahwa informasi, baik dari Nabi, Shahabat, atau Tabi’in,
semuanya disebut Hadis, dengan sedikit spesifikasi, yang pertama disebut Hadis
Marfu’, kemudian selanjutnya dinamakan Hadis Mauquf, dan yang terakhir disebut
Hadis Maqthu’.[5]
- Diferensiasi Berdasarkan Kontinuitas Sejarah. Poin ini akan dijabarkan pada poin C dan poin E.
C. Definisi Sunnah
Prof. Dr. M. M. Azami
telah memaparkan definisi Sunnah dari berbagai sisi. Secara etimologi, sunnah
adalah “tata cara”, seperti yang tertulis di dalam Lisan al-Arab
yang mengartikan “cara atau jalan, jalan yang dilalui orang-orang dahulu
kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan”. Dari sudut pandang Ahli Fikih, sunnah
berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian
pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi
saw.” Dari informasi syair-syair Arab didapat pengertian sunnah sebagai “aturan
atau tata cara yang dianut, baik cara itu terpuji maupun tercela.” Ayat-ayat
al-Qur’an juga ikut memberikan tambahan definisi sunnah. Ada empat ayat
yang dikutip oleh Azami (surat 4:26, 8:38, 17:77, 48:23). Dari keempat ayat
tersebut ditarik sebuah pengertian sunnah sebagai “tata cara dan
kebiasaan.” Azami kemudian berlanjut menganalisa penggunaan kata sunnah di
dalam hadis. Analisa tersebut memperoleh pengertian sunnah secara
harfiah sebagai “tata cara” atau “tata cara dan tingkah laku hidup yang menjadi
anutan.”[6] Setelah melalui
tahapan tersebut, Azami menyimpulkan bahwa,
..Orang-orang Jahiliyah telah menggunakan kata sunnah
dalam syair-syairnya untuk menunjuk kepada arti “tata cara”. Sedang dalam
al-Qur’an, kata sunnah dipakai untuk arti “tata cara dan tradisi”,
sementara Rasulullah saw juga menggunakannya untuk arti tersebut.
Kemudian kata sunnah tersebut oleh orang-orang
Islam dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “al”—menjadi as-sunnah—di
depannya, yaitu “tata cara dan syariat Rasulullah saw,” dan ini tidak berarti
pengertiannya yang etimologis itu terhapus, sebab pengertian yang belakang ini
hanya dipakai dalam arti yang sempit.[7]
D. Kedudukan Sunnah
Posisi dan fungsi sunnah
bisa dikelompokkan menjadi empat:
- Sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih global di dalam al-Qur’an. [seperti yang tercantum dalam surat 16:44]
- Menjadi uswah hasanah atau model bagi setiap muslim. [seperti dalam surat 33:21]
- Sebagai sesuatu yang wajib ditaati—karena sunnah tersebut dilakukan oleh Nabi. [Lihat surat 8:80, 4:80, 4:69, 4:59-60]
- Sebagai suatu bentuk regulasi hukum tertentu, karena Nabi diberi wewenang untuk membuat suatu aturan. [terekam dalam surat 7:157, 59:7, 53:3-4][8]
E. Menelisik Ontologi
Sunnah untuk Menemukan Perbedaanya dari Hadis
Di dalam bukunya, Hadith
and Its Literary Style, Khalid Mahmud Shaikh menjelaskan perihal kedudukan ontologis
sunnah. Ia memulai dengan menjelaskan sentralitas peran nabi Muhammad. Al-Qur’an
tidak diwahyukan langsung kepada penduduk Makkah, melainkan melalui Nabi. Dari
beliaulah manusia mendengar firman Allah. Dengan demikian, percaya terhadap
kenabian dan kerasulan nabi Muhammad syarat pertama sebelum kemudian percaya
kepada al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Ada dua jenis wahyu yang
diberikan oleh Allah. Yang pertama disebut wahy al-matluww, dan jenis
inilah yang kemudian mengkristal menjadi al-Qur’an. Sedang yang kedua adalah penafsiran
dan pengamalan Nabi terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an secara bertahap selama kurang
lebih 23 tahun masa kenabian. Pada rentang masa ini segala tindak-tanduk Nabi
berada dalam pengawasan dan petunjuk Allah. Sesuatu yang di luar al-Qur’an inilah—yang
berupa praktik kehidupan Nabi—yang kemudian disebut Sunnah. Bentuk ini terambil
dari jenis wahyu yang ghairu matluww.[9]
Posisi keberadaan
(ontologi) sunnah di atas tentu sangat berbeda jauh dengan hadis yang
posisinya bukan wahyu dan perannya hanya sebagai narasi, rekaman atau reportase
dari sunnah-sunnah yang pernah dilakukan nabi Muhammad. Sunnah itu
sendiri adalah satu paket tindak-tanduk Nabi. Kutipan berikut ini turut
memperkuat pemosisian tersebut.
“The Arabic word hadith is very similar to sunnah,
but not identical. A hadith is a narration about the life of the
Prophet or what he approved—as opposed to his life its self—sunnah..”[10]
“Hadith implies the narration of a saying, or of an act, or of an approval
of the Prophet, irrespective of wether the matter is authenticated or sill
disputed.”[11]
“...The Sunnah of the Prophet Muhammad was
established during his life for all to follow and to pass on for
generations. The Sunnah is the second primary source of the
doctrine of Islam, the Qur'an being the first. They go hand in hand to complete
the beliefs and practices all Muslims are to follow. However, the
question arises, "what is Sunnah?" The Sunnah
is a set of practices that the Prophet taught the Muslims to follow……In
the simplest of definitions a Hadith is a
reported tradition. Yet, in Islamic terms its scope is narrowed
to very sensitive terminology affecting the overall scheme of Islamic
doctrine. Hadith, as defined by Understanding Islam, is a
narration of the words or acts of the Prophet, as perceived and transmitted by
one or more persons who heard or saw the Prophet saying or performing these
acts. These attributed perceptions to the Prophet are critical in
developing the clear distinction of Sunnah from Hadith.…”[12]
Azyumardi Azra juga memberikan
pengertian yang serupa dalam membedakan antara hadis dan sunnah. Dalam
buku Historiografi Islam Kontemporer, ketika membahas soal perbedaan hadis
dan sunnah, ia menulis:
“…literatur hadis berarti literatur yang
mencakup riwayat (narasi) tentang kehidupan Nabi dan hal-hal yang
disetujuinya; sementara sunnah berarti modus kehidupan
Nabi..—dengan menjelaskan konsep hadis dan sunnah dari Fazlur Rahman, Azra
kemudian mencapai kesimpulan [pen.]—…hadis sebagai verbal
tradition, sementara sunnah sebagai practical tradition
atau silent tradition.”[13]
Kemudian pembedaan dari
sisi pelaku atau produsennya juga dapat dilakukan; Sunnah itu ‘diproduk’
oleh Nabi agar bisa menjadi teladan atau mode bagi umatnya, sedangkan Hadis ‘diproduk’
oleh ulama-ulama tertentu untuk mendokumentasikan kejadian-kejadian pada
kehidupan Nabi—sebagaimana tertulis dalam kutipan berikut.
“…Sunnah was
initiated by the Prophet for his Ummah to follow, while the latter, Hadith,
was initiated by great men who wanted to preserve information about the events
and incidents in the Prophet's life. ”[14]
Sebagai reportase atas sunnah
Nabi, maka komposisi hadis bisa dibagi menjadi empat macam, yakni: berasal
dari sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, sunnah shifatiyah.
Setelah melihat
perbedaan-perbedaan antara sunnah dan hadis, perlu juga
dimengerti dimensi kesamaan yang menyatukan keduanya sebagai sebuah satu
kesatuan alur yang saling berhubungan. Salah satu tokoh yang berhasil melihat
hubungan erat sunnah dan hadis adalah Imam asy-Syafi’i. beliau
mengatakan bahwa walaupun kedua term (istilah) itu tidak sama, tetapi hadis merupakan
rekaman sepenuhnya dari sunnah, dan sunnah dapat disusun kembali
dari hadis.[15]
F. Dinamika Konsep
Sunnah
Jika dalam runtut
penjelasan Azami, pengertian sunnah sudah dipersempit dengan ditambahkan
artikel “al” sehingga menjadi tradisi ala Nabi, maka Fazlur Rahman dan beberapa
sumber yang lain menyatakan bahwa konsep sunnah mengalami perkembangan
sehingga melebar tidak hanya khusus mengenai informasi yang disandarkan
sumbernya kepada Nabi saja. Sunnah dalam pengertian yang melebar ini
tidak hanya memperbincangkan soal seperangkat perilaku atau tindakan, tapi juga
mengandung arti sebuah contoh atau model perilaku yang bisa diikuti orang lain.
Pergulatan Nabi Muhammad
dengan al-Qur’an melahirkan satu sunnah, sebuah model perilaku yang ideal yang
kemudian oleh al-Qur’an disebut sebagai uswah hasanah. Sunnah inilah
yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh generasi sesudahnya (sahabat).
Polanya tidak selalu mengikuti persis seperti yang dilakukan Nabi, akan tetapi
ada penyesuaian terhadap konteks zaman saat itu melalui proses penafsiran.
Ketika para sahabat mempraktekkan ajaran al-Qur’an dan perilaku Nabi atas dasar
konsesnsus (ijma’) atau ijtihad, praktik mereka juga bisa disebut sunnah,
lebih tepatnya sunnah sahabat. Contohnya adalah soal ide kodifikasi
al-Qur’an.
Semua tindakan sahabat,
khususnya Khulafaurrasyidin, merupakan sunnah sahabat. Sunnah ini
meliputi praktik mereka terhadap ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi yang tidak
didasarkan pada sunnah sebelumnya. Sunnah ini bisa berasal dari ijtihad
seseorang yang kemudian menjadi ijma’ sahabat. Maka sunnah sahabat bisa
identik dengan ijitihad atau ijma’ sahabat.
Ketika generasi sesudah
sahabat memahami dan menafsirkan sunnah yang dipraktikkan sahabat Nabi, mereka
juga mempraktikkannya sesuai dengan pemahaman dan penafsiran mereka sendiri.
Setelah dipraktikkan, penafsiran ini juga masuk ke dalam materi sunnah.
Demikian seterusnya hingga kepada generasi-generasi selanjutnya.[16]
Rumusan atau konsep
sunnah yang demikian inilah yang tampaknya digambarkan oleh Fazlur Rahman dalam
bagan di bawah ini. Penulis mengambil dari buku Al-Hadis dengan sedikit
modifikasi bagan.[17]
Konsep seperti ini
tampaknya berkaitan dengan konsep sunnah yang pernah digagas oleh Imam Malik.
Menurut beliau sunnah merupakan aturan hidup normatif yang ditegakkan
oleh Nabi, diamalkan oleh para Sahabat kemudian diwarisi oleh para Tabi’in dan
Tabi’ at-Tabi’in dalam bentuk tradisi hingga masa Imam Malik.[18] Konsep
ini bisa ditelusuri dalam kitab karangan Imam Malik, yakni Al-Muwattha’ yang
di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan seperti “madhat as-sunnah”
(sunnah yang dipraktikkan), “as-sunnah ‘indana” (sunnah kita adalah), “as-sunnah
al-laati la ikhtalafa fiiha ‘indana” (sunnah kita yang tidak ada perbedaan
di dalamnya adalah..), atau “as-sunnah al-laati la ikhtalafa fiihaa ‘indana”
(sunnah kita yang tidak ada perbedaan adalah). Dalam ungkapan-ungkapan tersebut
Imam Malik cenderung memakai istilah sunnah dalam kaitannya dengan
kontes ungkapan lain yang menyertainya. Dengan kata lain, bagi Imam Malik, sunnah
terkadang atau bahkan sering identik dengan ijma’ Ulama Madinah atau
praktik (amaliyah) masyarakat Madinah.[19]
Singkatnya, berangkat
dari kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik, tampak bahwa istilah sunnah
mengandung dua pengertian: (1) sunnah dapat dipahami sebagai praktik
ulama Madinah atau bahkan masyarakat Madinah pada umumnya, (2) sunnah juga
dapat diartikan sebagai contoh perilaku generasi terdahulu yang berakar dari
Nabi Muhammad saw dan memiliki kedudukan otoritatif dan normatif.[20]
Salah satu tokoh yang
tidak sepakat dengan bangun konsep Imam Malik adalah Imam asy-Syafi’i. beliau
ingin membatasi cakupan sunnah hanya kepada praktik-praktik yang
dilakukan oleh Nabi saja. Sunnah hanya dapat ditetapkan oleh hadis valid, yang
akhirnya merujuk kepada Nabi. Seperti yang ditulis oleh Schacht,
“Bagi asy-Syafi’i, sunnah hanya ditetapkan
dengan tradisi-tradisi yang merujuk pada Nabi, tidak dengan praktik atau
consensus. Sedikit berbeda dengan konsep klasik tentang sunnah dalam
tulisan-tulisan awalnya, asy-Syafi’i
menerima Sunnah Nabi hanya sejauh terekspresikan dalam tradisi-tradisi
yang merujuk pada Nabi. Konsep sunnah inilah yang kita dapati dalam teori
klasik tentang hukum Muhammad, dan asy-Syafi’i harus dianggap sebagai
peletaknya di sana…”[21]
Dari sini dapat dipahami
bahwa metodologi Imam Malik sangat berbeda dengan metode asy-Syafi’i, sebab
jika asy-Syafi’i menerima suatu hukum karena hadis, maka Imam Malik
menerimanya karena tradisi (‘Apa yang Telah Berlaku sebagai Sunnah Sudah
Mencukupi’). Hadis hanya sebagai pendukung hukum bagi Imam Malik, bukan
sebagai dasar utama seperti asy-Syafi’i.[22]
G. Hadis sebagai Sebuah
Reportase
Setelah melihat perbedaan
ontologis antara hadis dan sunnah serta dinamika yang terjadi
dalam perumusan konsep sunnah di atas, tampaknya perlu untuk memberikan sedikit
definisi mengenai apa itu hadis. Dalam bahasa Arab, makna asli hadits
adalah cerita, ucapan, obrolan, perbincangan atau komunikasi. Jika digunakan
sebagai ajektif, maka hadis bermakna (sesuatu) yang baru.[23] Dalam pengertian
ajektif inilah Subhi Shalih menjelaskan bahwa hadis itu disebut “hadis”
karena ia adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari al-Qur’an yang
bersifat “qadim.” Itulah mengapa sebagian besar ulama enggan untuk menggunakan
nama hadis untuk Kitab Allah, seperti mengganti “Kalam Allah” dengan
“Hadis Allah”.[24]
Lalu, bagaimanakah proses lahirnya hadis? Marston Speight memberikan gambaran
yang sederhana tapi sangat mengena, seperti yang tertera di bawah ini.
Setelah Nabi wafat, para sahabatnya mengumpulkan
berbagai riwayat mengenai ucapan dan perbuatan Nabi, kemudian mereka menceritakan
kembali riwayat itu pada kalangan mereka sendiri agar memori hidup keteladanan
Nabi Muhammad dapat mempengaruhi kehidupan komunitas mukmin. Karena
dilestarikan untuk generasi berikutnya, riwayat atau hadis ini biasanya
berbentuk potongan-potongan pendek yang tidak saling berhubungan, yang
masing-masing didahului oleh daftar periwayat otoritatif. Meskipun hadis pada
mulanya disampaikan secara lisan, sebagian periwayat kemudian mulai
menuliskannya. Penghimpun hadis berhati-hati agar tidak merusakkan teks yang
diterimanya dari para ahli yang diakui dalam penyampaian hadis, dan himpunannya
mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif, repetitif,
dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadis merupakan salah satu contoh
prosa Arab dari periode awal Islam.[25]
1. Anatomi Hadis
Seperti yang terjelaskan di dalam penjelasan Marston di atas,
ketika sebuah sunnah ter-convert menjadi hadis, maka ada
persyaratan-persyaratan administratif yang perlu dipenuhi. Ini sekaligus juga
menjadi karakter khas dari sebuah hadis. Semua hadis memiliki anatomi yang
sama. Ia tersusun atas dua unsur penting, yakni sanad/isnad (rantai
penutur) dan matan (redaksi). Contoh:
|
|
|
|
(1) Sanad
Sanad ialah mata rantai
penutur/perawi (periwayat) hadis yang menyampaikan isi atau redaksi hadis.[27] Sanad
terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut
dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasulullah. Sanad berfungsi untuk memberikan
gambaran keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa
sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan
dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan
penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadis
tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis. Jadi yang perlu
dicermati dalam memahami Hadis terkait dengan sanadnya ialah: (1) Keutuhan
sanadnya, (2) Jumlahnya (3) Perawi akhirnya.
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah
dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip
berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan
sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis nabawi.[28]
(2) Matan
Matan ialah redaksi hadis. Terkait
dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadis
ialah:
·
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi
Muhammad atau bukan,
·
Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain
yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan
selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).[29]
Selain dua unsur utama di atas, juga ada yang dinamakan Adat at-Tahammul wa al-Ada’ yakni bentuk yang digunakan dalam memperoleh dan memberikan informasi, seperti yang ditandai lingkaran dalam contoh hadis di atas. Ada delapan bentuk penerimaan dan penyampaian sebuah informasi yang tercatat di dalam Ulum al-Hadis, yakni.
1.
As-Sima’
2.
Al-Qira’ah
3.
Al-Ijazah
4.
Al-Munawalah
|
5.
Al-Mukatabah
6.
Al-I’lam
7.
Al-Washiyah
|
2. Klasifikasi Hadis
Dengan posisi hadis yang
berperan sebagai sebuah reportase dengan anatomi dan admisitrasi-administrasi
seperti yang telah dijelaskan di atas, hadis atau reportase-reportase
tadi mulai diklasifikasikan dalam beberapa beberapa criteria; bisa
diklasifikasikan berdasarkan bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, berdasarkan
jumlah penutur (periwayat), serta berdasarkan tingkat keaslian hadis (dapat
diterima atau tidaknya hadis bersangkutan). Berikut ini adalah sedikit
penjabaran mengenai hal tersebut.
Berdasarkan Ujung Sanad. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu':
Berdasarkan Keutuhan Rantai Sanad. Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dhal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
Berdasarkan Jumlah Penutur. Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadis. Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni Shahih, Hasan, Dha'if dan Maudhu'
Jenis-Jenis Lain. Adapun beberapa jenis hadis lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain: Hadis Matruk, Hadis Munkar, Hadis Mu'allal, Hadis Mudhthorrib, Hadis Maqlub, Hadis Mushafi, Hadis Mudraj, Hadis Syadz, dan Hadis Mudallas.[31]
3. Jenis-jenis Kitab
Hadis
Setelah masa Tadwin al-Hadis atau
kodifikasi hadis, banyak terobosan dan klasifikasi yang dilakukan oleh para
Ahli Hadis. Salah satunya adalah dengan membuatkan nama klasifikasi untuk
kitab-kitab hadis yang pernah ditulis berdasarkan karakternya masing-masing.
Berikut ini adalah beberapa daftar klasifikasi tersebut.
1. Kitab Jami’: kitab hadis yang menghimpun
hadis-hadis yang berkenaan dengan akidah, hukum, adab, tafsir, tarikh, dan
sejarah hidup. Misal, kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Jami’ at-Tirmidzi, atau
Jami’ ad-Darimi.
2. Kitab Sunan, kitab hadis yang disusun
berdasarkan sistematika pembahasan fikih yang bermula dari bab thaharah,
salat, dan seterusnya. Misal, Sunan an-Nasa’I, Sunan at-Tirmidzi,
atau Sunan Ibnu Majah.
3. Kitab Mu’jam, kitab hadis yang disusun
berdasarkan tertib (urutan) huruf ejaan, atau mengikuti susunan nama guru-guru
mereka, baik nama asli maupun julukan, sesuai dengan tertib huruf ejaan. Misal,
Mu’jam at-Thabrani, Mu’jam as-Suyuthi, atau Mu’jam as-Shaghir.
4. Kitab Musnad, kitab hadis yang disusun
berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis. Biasanya, dimulai dengan
nama sahabat yang pertama kali masuk Islam atau disesuaikan dengan urutan
abjad. Misal, Musnad Ahmad.
5. Kitab Mustadrak, kitab hadis yang mengumpulkan
hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh pengarang sebelumnya, baik secara
sengaja ataupun tidak. Misal, kitab Mustadrak al-Hakim.
6. Kitab Masyikhat, kitab yang berisi hadis-hadis yang
dikumpulkan dari seorang syekh, baik syekh itu sendiri yang mengumpulkan
hadis-hadis tersebut maupun orang lain. Misal, kitab Masyikhat Ibnu
al-Bukhari oleh Hafiz al-Mizzi.
7. Kitab Ajza’, kitab yang berisi hadis-hadis yang
dikumpulkan berdasarkan suatu perkara atau tema tertentu. Misal kitab Juz
an-Niyyah oleh Ibnu Abi ad-Dunya.
8. Kitab Arba’inat, kitab hadis yang mengumpulkan hadis
sebanyak 40 buah hadis. Seperti kitab Al-Arba’in an-Nawawiyyah.
9. Kitab Afrad atau Ghara’ib, kitab yang
memuat hadis-hadis yang hanya terdapat pada seorang syekh, tetapi tidak ada
pada syekh lain.
10. Kitab ‘Ilal, kitab yang menyebutkan adanya
kecacatan pada sebuah periwayatan hadis, baik dari segi matan ataupun sanadnya.
Contoh, kitab al-Ilal yang ditulis oleh Ibnu al-Jauzi.
11. Kitab Athraf, kitab hadis yang hanya menyebutkan
sebagian redaksi hadis, baik dari sisi permulaan, tengah-tengah, maupun
akhirnya saja. Seperti kitab Athraf Sunan an-Nasa’i.
12. Kitab Tarajim, kitab hadis yang hanya mengumpulkan
hadis-hadis dan sanad tertentu.
13. Kitab Ta’aliq, kitab hadis yang mengumpulkan
hadis-hadis dari kitab tertentu, tanpa menyebutkan sanadnya.
14. Kitab Targhib wa
Tarhib, kitab
hadis yang menghimpun hadis-hadis tentang dorongan untuk mengerjakan kebaikan
dan larangan melakukan kejelekan. Seperti kitab Fadhail al-Amal karya
Ibnu Zanjuwaih.
15. Kitab Musalsalat, kitab hadis yang menghimpun
hadis-hadis dengan redaksi sanad yang sama dari awal hingga akhir.
16. Kitab Tsulatsiyyat, kitab hadis yang menghimpun
hadis-hadis yang jumlah perawinya hanya 3 orang, termasuk Rasulullah saw,
seperti kitab Tsulatsiyat Bukhari.
17. Kitab Amali, kitab hadis yang ditulis oleh
seorang murid dari gurunya dengan cara sang guru mendiktekan hadis kepada si
murid.
18. Kitab Zawa’id, kitab hadis yang menghimpun
sejumlah hadis sebagai tambahan dari kitab asalnya, tetapi syarat-syarat
penghimpunan hadis tersebut sama dengan kitab asalnya.
19. Kitab
al-Mukhtasharat, kitab hadis yang berbentuk ringkasan dari kitab hadis lain.
20. Kitab Takhrij, kitab hadis yang berisi ulasan
terhadap kualitas hadis di dalam kitab tertentu.
21. Kitab Syarh al-Atsar, kitab hadis yang mengumpulkan atsar-atsar
sahabat.
22. Kitab at-Tartib, kitab hadis yang disusun secara
sistematis berdasarkan bab-bab tertentu.
23. Kitab al-Maudhu’at, kitab hadis yang menghimpun
hadis-hadis palsu.
24. Kitab al-Ma’tsurat, kitab hadis yang berisi doa-doa ma’tsur
(yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw).
25. Kitab an-Nasikh wa
al-Mansukh,
kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang nasikh dan mansukh.
26. Kitab Musykil
al-Hadits,
kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang sukar dipahami.
4. Hadis dalam Tradisi Sunni
dan Syi’ah
Ada perbedaan antara kelompok Sunni dan Syi’ah dalam hal kitab hadis yang dipilih sebagai yang sahih. Bagi kelompok Sunni, berikut ini adalah daftar kitab-kitab hadis yang dijadikan sebagai pegangan.
Nama
Kitab
|
Pengarang
|
Isi
|
Sahih Bukhari
|
7167 hadis
|
|
Sahih Muslim
|
5505 hadis
|
|
Sunan Abu Dawud
|
5274 hadis
|
|
Sunan
at-Tirmidzi
|
3956 hadis
|
|
Sunan an-Nasa’i
|
5754 hadis
|
|
Sunan Ibnu Majah
|
4341 hadis
|
|
Sunan ad-Daruquthni
|
4733 hadis
|
|
Sunan al-Baihaqi
|
21601 hadis
|
Demikian halnya dengan kitab-kitab
lain seperti Sahih Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih
Ibnu Awanah, Musnad Ahmad, Musnad ad-Darimi, Musnad Abu Hanifah,
atau Mustadrak al-Hakim. Bagi kaum Syi’ah, kitab hadis yang dijadikan
pegangan—di antaranya—adalah sebagai berikut:[33]
Nama Kitab
|
Pengarang
|
الكليني (392 هـ)
|
|
الشيخ الصدوق (329 هـ)
|
|
الشيخ الطوسي (447 هـ)
|
|
الشيخ الطوسي (447 هـ)
|
|
العلامة المجلسي (1111 هـ)
|
|
العاملي (1104 هـ)
|
|
الطبرسي (548 هـ)
|
|
[1] Definisi model ini pulalah yang dianut oleh Para
Ushuliyin, yang dimaksud Hadis adalah Sunnah Quliyyah saja, dan
istilah Sunnah itu lebih luas cakupan maknanya daripada Hadis yang
di dalam konsep Sunnah para Ushuliyin memuat perkataan, perbuatan, atau
taqrir Nabi Muhammad yang bisa dijadikan dalil hukum. Lihat Ajjaj Khatib, Ushul
al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 27.
[2] Lihat Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam
Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal),
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 213-214.
[3] Ajjaj Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 27.
[4] Lihat Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 7.
[5] Ibid, 6-7.
[6] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 13-20.
[7] Ibid, hlm. 20.
[8] Lihat selengkapnya dalam Muhammad Mustafa Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm.
27-40.
[9] LIhat Khalid Mahmood Shaikh, Hadith and Its Literary
Style, (New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 2006), hlm. 37.
[10] Anonim, “Sunnah and Hadith” dalam situs http://www.quranexplorer.com/Hadith/Default.aspx (Akses
tanggal 10 Oktober 2011). Lihat juga artikel pada situs http://nicheoftruth.org/pages/sunnah.htm
[11] Amin Ahsan Islahi, Difference Between Hadith and Sunnah,
dalam situs http://www.renaissance.com.pk/jafelif989.html (Akses
tanggal 10 Oktober 2011).
[12] Anonim, artikel berjudul “Hadith and
Sunnah - Two Different Concepts” dalam situs http://www.understanding-islam.com/articles/sources-of-islam/hadith-and-sunnah-two-different-concepts-186
[13] Lihat Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer
Wacana Aktualitas dan Akor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 20-21.
[14] Anonim, artikel berjudul “Hadith and
Sunnah - Two Different Concepts” dalam situs http://www.understanding-islam.com/articles/sources-of-islam/hadith-and-sunnah-two-different-concepts-186
[15] Yasin Dutton, Asal
Mula Hukum Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta:
Penerbit Islamika, 2003), hlm. 354.
[16] Lihat Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam
Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal),
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 216-217.
[17] Lihat versi bagan asli di dalam buku Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis,
(Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 14.
[18] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an,
Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm.
353.
[19] Lihat Ahmad Qodri
Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002), hlm. 217-220.
[20] Ibid, hlm. 219.
[21] Sebagaimana dikutip dalam Yasin Dutton, Asal Mula Hukum
Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit
Islamika, 2003), hlm.357.
[22] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an,
Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm.
359.
[23] Khalid Mahmood Shaikh, Hadith and Its Literary Style,
(New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 2006), hlm. 11.
[24] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 16
[25] R. Marston Speight, “Hadis”, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern, terj. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 127.
[26] Diambil dari kitab Shahih Bukhari, Bab الخوخة والممر في المسجد, Bab “Shalat”, Hadis no. 454, (dalam versi file ekstensi HTML)
[27] Lihat Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 15.
[28] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits (akses
tanggal 05 Oktober 2011)
[29] Ibid.
[30] Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu,
(ttp: Dar al-Ilmi al-Malayyin, 1977), hlm 88-104.
[31] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits
(akses tanggal 05 Oktober 2011). Lihat juga Mahmud at-Thahhan, Taisir
Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) untuk mendapatkan
keterangan singkat dan praktisnya.
[32] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 25-37.
[33] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ حديث_نبوي (akses tanggal 05 Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar