Kisah pahit menjadi mata-mata. Tidak mudah menjadi
mata-mata, karena harus hidup mendua. Bersikap, berpikir, berlaku, dan memihak
mendua, yang kesemuanya harus tampak sangat meyakinkan. Yang seakan-akan lakon
yang harus diperankan sesempurna mungkin. Karena jika tak sempurna, diketahui
sebagai mata-mata, maka usailah sudah riwayatnya.
Ada mata-mata di tubuh intelejen Negara yang disusupkan oleh
mafia tertentu. Dan ada mata-mata di tubuh mafia yang disusupkan oleh badan
intelejen. Tampaknya keduanya sama-sama mata-mata. Tapi ternyata beda. Yang
penjahat berpura-pura menjadi polisi atau intelejen lebih mudah daripada
polisi, orang yang baik-baik, menyamar menjadi orang jahat (sebagai mata-mata
mafia). Inilah yang dialami kedua mata-mata di film The Departed.
Jangan bercita-cita menjadi mata-mata, karena hidupnya harus
berada di kegelapan baying-bayang. Tidak pernah tenang. Tidak bisa terang-terangan
menyatakan identitas sesungguhnya. Bagaimanapun juga, berbohong adalah
mekanisme yang paling berguna untuk tetap survive.
Then, what’s next after the spy?!
Apa masa depan menjadi mata-mata? Apa enaknya? Kenapa seseorang
mau menjalani tugas sebagai mata-mata? Padahal resikonya adalah mati dengan
tidak tenang. Inilah penuturan kisah duka para mata-mata. Mereka yang direduksi
hidupnya menjadi alat dan mesin yang harus mengiliminir emosi mereka sendiri. Berada
di antara dua batas identitas berbeda.
Ayiko Musashi,
8 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar