“Bukan dalam kebebasan
kutemukan kemerdekaan, tapi bukan pula dengan kemerdekaan itu kudapatkan
kebebasan. Karena kutemukan tak berarti menikmati. Itu memerlukan keterampilan
lain. Dalam kemerdekaan dan kebebasan aku semakin jauh tersesat. Seorang budak
sepertiku lebih bahagia terikat dan terdera, karena disitu kudapatkan
kesempatan BERONTAK.” Kata seorang tokoh cerita dalam karya Putu. Tentu juga
masih ingat bagaimana mitos Sisifus diceritakan. Dewa menghukumnya untuk
mendorong batu besar ke atas gunung. Belum sampai puncak, batu itu
menggelinding kembali ke bawah. Karena batu itu besar, gravitasi sangat kuat,
dan tenaga Sisifus tidak cukup untuk itu. Maka Sisifus harus mengulangnya lagi.
Mendorong batu ke puncak, untuk nanti menggelinding ke bawah lagi.
Terus demikian. Mestinya
konyol, tapi Sisifus tidak kunjung menyerah. Dikisahkan ia menjalani sisa
hidupnya untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, yang ia sangat sadar
bahwa batu itu akan turun menggelinding ke bawah lagi. Sepertinya sia-sia. Tapi
Sisifus punya sudut pandang yang lain. Ia bahkan berikrar untuk mengabdikan
hidupnya mendorong batu. Dewa boleh saja menghukumnya karena mentang-mentang
punya otoritas, tapi tidak dibiarkan mereka berbahagia dengan melihatnya sedih
dan menyerah. Itu yang diperjuangkan Sisifus.
Portugis, Belanda, dan Jepang
datang menjajah. Hidup rakyat Indonesia menjadi susah, tapi masih juga bermakna.
Mereka dirampas haknya, tapi justru darinya muncul banyak kebaikan-kebaikan. Ada
setting yang membuat mereka mampu merasakan begitu lezat dan mewahnya nasi
putih, ubi, ketela, tebu, ikan sungai, ayam dan burung-burung, yang hari ini terasa
sama sekali tidak istimewa. Sama rasa melahirkan perasaan bersaudara. Bernasib
sama. Punya cita-cita sama. Berjuang bersama. Satu model konsolidasi yang justru
lahir karena dijajah. Warna kulit, ragam bahasa, varian budaya disingsingkan
sebagai asesori. Maju berjuang. Yang mati, matinya syahid. Yang hidup, hidupnya
gagah.
Kini, bersiaplah untuk
mendaki gunung tinggi di dirimu! Sekarang tidak mudah menjadi seperti itu. Hidup
tak tahu untuk apa. Cita-cita tak punya. Kemarin-kini-dan esok sama saja. Tidak
ada yang istimewa. Lapar segalanya. Memakan semuanya. Tak paham siapa musuh dan
kawanya. Kacau ukuran syahidnya.
Abracadabra! Kabut tebal luas
tak berbatas. Silang persimpangan jalin-menjalin berkelindan. Dulu, mulia jika berani
mati. Kini, mulia jika berani hidup. Ada mati syahid, juga ada hidup syahid. Yang
dilawan adalah kegamangan-kegamangan. Musuhnya berujud anonimitas-anonimitas. Ujiannya
menjawab soal: Siapa Aku? Dari mana? Dan akan kemana? Sebagai budak, ia bertanya:
siapakah majikan hakiki hidupnya? Penjajahnya adalah penjajah budaya, cara
pikir, gaya tutur, pakaian, dan mode. Medan laganya terhampar dalam diri dan
ketubuhannya sendiri. Syahidnya ditempuh dengan khusyuk bersetia menjaga akal
budi, nurani, keheningan, kejernihan, dan tidak larut edan. Syahidnya adalah kerelaan
terbuang dalam kerumunan kawanan. Mati dalam dirinya, dan hidup oleh Kebenaran.
Banyak yang menganggur, tidak
tahu untuk apa waktu-waktu luangnya. Kerjanya tidur, dan otaknya hilang
secuil-secuil. Yang kelewat sibuk juga tidak kalah bingung. Kalau sudah ngotot
kerja, punya uang banyak, terus mau apa?! Maunya terkenal. Minta diperhatikan
dan didengarkan. Punya apa saja. Dituruti sekarang juga. Maniak sempurna. Anti
semua yang cacat. Tak tergerak tuk bertindak. Sebab yang tak cacat adalah
perbuatan yang belum dilakukan, karena belum dicoba.
Hidup terus bergerak. Jantung
berdetak. Ada sisa hidup, dan amanat yang menumpuk. Menyetiai proses. Mengawani
Sepi. Di sela kebenaran yang masih dikejar. Masih menggapai-gapai. Tidak
tergenggam. Dan memang menggenggam bukan tujuan hidup itu sendiri. Melainkan kisah
dalam usaha menggapainya. Kalau betul, boleh diterima. Kalau salah dan tidak
setuju, dibuang saja. Tidak ada paksaan. Kita hanya ngobrol.
Ayiko Musashi
Klaten, 10 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar