A.
Intro:
dari Augusto Comte, Karl Popper, Hingga Kuhn
Prinsip change
& continuity dalam ilmu pengetahuan sangat kental terlihat dalam
tradisi filsafat ilmu. Seperti yang telah didiskusikan pada pertemuan-pertemuan
sebelumnya. Kaum Positivis Lingkaran Wina membagi secara serampangan atas sesuatu
menjadi meaningfull dan meaningless dengan hanya mendasarkan pada
“apakah sesuatu itu empiris atau tidak”, “bisa diverifikasi atau tidak”. Para
Positivis berpegang pada pendirian bahwa kerja seorang filsuf ilmu hanyalah
melakukan konstruksi representasi formal dari ungkapan-ungkapan ilmiah. Dia
tidak usah mempedulikan detail dan perkembangan ilmu dan perubahan teori
ilmiah.
Popper
menolak pembedaan antara ungkapan yang bermakna (meaningfull) dan
ungkapan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriterium dapat
tidaknya suatu pernyataan dibenarkan secara empiris. Popper mengganti pembedaan
itu dengan mengemukakan pembedaan baru berdasarkan apakah suatu pernyataan
bersifat ilmiah (science) atau tidak ilmiah (pseudoscience).
Dasarnya pada ada atau tidaknya dasar empiris bagi ungkapan bersangkutan.
Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin saja sangat bermakna.[1]
Seperti yang dalam diskusi kelas disebut sebagai sumber inspirasi bagi science.
Sejarah terus
berjalan, dan muncul tokoh Thomas Samuel Kuhn yang berganti mengkritisi tradisi
filsafat ilmu saat itu dan sebelumnya yang banyak membahas mengenai
metode-metode, sesuatu yang dianggap paling penting dalam hal mendiskusikan
ilmu pengetahuan. Kuhn menyibak sesuatu yang lebih jauh di balik metode. Kuhn
menemukan paradigma. Inilah sesuatu yang lebih penting di dalam struktur ilmu
pengetahuan, dan tema ini tidak disadari oleh para ilmuwan Lingkaran Wina atau
Karl Popper sekalipun. Kuhn juga tidak sepakat dengan cara Popper menalar
perkembangan ilmu pengetahuan yang cenderung linear-kumulatif-evolutif melalui
proses falsifikasi. Kuhn lebih percaya bahwa ilmu berkembang secara
revolusioner.
Inilah tema
yang akan dicoba bahas dalam makalah penulis pada kesempatan ini. Salah satu bentuk
kritik terhadap Positivisme secara sistematis; mulai dari Popper dengan teori
falsifikasinya, kemudian yang kali ini dibahas, Kuhn dengan Revolusi
Paradigmanya, dan berlanjut nanti disusul Feyereband dengan teori Anti-Metode.[2]
Untuk memulainya, berikut ini ada sebuah mind mapping dari hasil diskusi
kelas pertemuan sebelumnya.
B. Thomas
Samuel Kuhn: Timeline
1922
|
Kuhn lahir tanggal 18 Juli di Cincinnati, Ohio.
|
|
Kuhn dikenal sebagai Fisikawan Amwerika, dan
filsuf yang menulis secaraekstensif tentang sejarah ilmu pengetahuan
|
1943
|
Kuhn mendapat gelar BS dalam Fisika di
Universitas Harvard.
|
1946 -49
|
Kuhn menyelesaikan MS dan Ph.D Jurusan Fisika
|
1957
|
Kuhn menerbitkan buku pertamanya, The
Copernican Revolution
|
1961
|
Kuhn mengajar di University of California,
Berkeley sebagai Profesor Sejarah Ilmu Pengetahuan
|
1962
|
Kuhn menerbitkan magnum opus-nya, The
Structure of Sceintific Revolution
|
1964
|
Menjadi professor filsafat dan sejarah ilmu
pengetahuan di Princeton University
|
1977
|
Buku yang ketiga terbit, The Essential
Tension
|
1979
|
Buku keempat lahir dengan judul Black-Body
Theory and The Quantum Discontinuity, 1894-1912
|
1979 – 91
|
Menjadi professor dalam bidang filsafat di
Massachusetts Institute of Technology
|
1994
|
Kuhn mewawancarai fisikawan besar Neils Bohr
|
1996
|
Tepatnya tanggal 17 Juni 1996 meninggal dunia
karena menderita kanker.
|
Hal yang
menarik untuk dicermati dari timeline sederhana di atas adalah, sebuah
gambaran Kuhn sebagai seseorang yang dikenal sebagai fisikawan, filosof, dan
juga ahli mengenai sejarah ilmu pengetahuan—seperti yang tercantum dalam
aktifitas-aktifitas ilmiah yang ia geluti di atas. Catatan yang kedua yang juga
menarik adalah satu tulisan yang mengatakan bahwa Kuhn tumbuh ketika ilmu telah
terindustrialisasikan dan telah ditrasformasikan menjadi karir daripada
pengabdian. [3]
C. Filsafat
Siklikal yang Bersifat Open-Ended
Kuhn
merumuskan teori, dimana ia menengarai faktor sosiologis, historis serta
psikologis mendapat perhatian dan ikut berperan. Kuhn berusaha menjadikan teori
tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah. Dengan demikian, diharapkan
filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya,
yang dalam perkembangan ilmu tersebut berjalan secara revolusioner, bukan
secara kumulaif sebagaimana anggapan kaum rasionalis dan empiris klasik.[4]
Kuhn menyusun konsep kemajuan (progress) ilmu
pengetahuan dalam gerak siklis; dari normal
scince kemudian mengalami krisis karena ada anomali-anomali (menumpuknya
hal-hal yang tidak lagi dijelaskan oleh paradigma normal science)
sehingga terjadi pergeseran paradigma dalam revolusi ilmu pengetahuan. Dari
revolusi ini, muncullah extra-ordinary science yang nantinya akan
menjadi normal science baru untuk menggantikan normal science yang
lama.
Pola
perkembangan ilmu pengetahuan yang siklis demikian, secara tidak langsung juga
mengisyaratkan sebuah sifat ilmu pengetahuan yang open-ended, selalu
terbuka untuk diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut dan terus berproses.[5]
Strutur yang seperti ini merupakan dobrakan yang dilakukan Kuhn terhadap citra
pencapaian ilmiah yang bersifat absolut. Bersamaan dengan itu, konsep science
progress ini memungkinkan terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat
dengan revolusi besar menuju ke arah yang makin mendekati kesempurnaan dan
lebih sesuai dengan kondisi sejarah.[6]
Berikut ini adalah ilustrasi mengenai konsep perkembangan ilmu pengetahuan yang
bersifat open-ended tersebut.[7]
D. Obyektifitas
Sains?
Umumnya,
kalangan positivis, seperti August Comte, memiliki anggapan bahwa ilmu itu
dapat dicapai secara obyektif jika pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara
induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah yang mampu dibuktikan secara faktual,
observasi, eksperimentasi dan komparasi. Tetapi bagi Kuhn, ini semua hanyalah
ilusi. Setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada
“paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuwan
mustahil bisa menolak subyektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan
arah sebuah penelitian.
Dalam sains, paradigma
mengandung unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh
individu ilmuwan, karena itu pemahaman sesorang terhadap ilmu pengetahuan tidak
pernah obyektif. Ada unsur subyektif individual seorang ilmuwan dalam
melahirkan sebuah teori dan konsep praktis. Ketika membicarakan paradigma alam
semesta mekanistik Newton yang berbeda dengan paradigma alam semesta
relativistik Einstein, Kuhn lebih menyebutnya sebagai “penafsiran” tentang
dunia, bukan penjelasan obyektif.[8]
Kuhn tampak
mengikuti ide Immanuel Kant ketika menyatakan bahwa alam tidak mungkin
menjelaskan dirinya sendiri (noumena). Ia tidak memperlihatkan dirinya
menurut formula atau persamaan-persamaa matematis. Ilmuwanlah yang memberikan
makna terhadap gejala-gejalanya (fenomena) dengan merumuskan bagaimana
ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada, dan
sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas
untuk mengakomodasikannya.[9]
Beberapa fakta inilah yang membuat Kuhn lebih mengakui bahwa sains itu tidak
obyektif murni.
E. Paradigma:
Seperangkat Kepercayaan atau Keyakinan
Sesuatu yang
paling diagung-agungkan oleh kaum Positivis adalah mengenai obyektifitas sebuah
ilmu pengetahuan, sehingga ia bersifat bebas nilai. Kenyataannya, Kuhn
menemukan bahwa ilmu sangat terkait erat dengan paradigma subyektif ilmuwan,[10]
seperti yang telah disinggung di atas. Kuhn telah mengamati contoh-contoh historis,
dan ia mendapati sifat cacat metode ilmiah. Sesuatu dikatakan obyektif dan
universal jika ia memenuhi metode ilmiah, seperti proses observasi,
eksperimentasi, deduksi, atau konklusi. Nyatanya, ini semua hanyalah ilusi
semata, karena jauh di balik itu semua, paradigma yang lebih penentu semua
kategori ilmiah tersebut. Paradigmalah yang menggiring ilmuwan untuk mengajukan
jenis-jenis eksperimen yang mereka lakukan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka
ajukan, dan masalah yang mereka anggap penting. Tanpa paradigma tertentu, para
ilmuwan tidak bisa mengumpulkan fakta.[11]
Ada beberapa pengertian
mengenai paradigma. Beberapa di antaranya, paradigma diartikan sebagai
keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu
komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab
dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang
diperoleh.[12]
Paradigma juga
adalah suatu kerangka teoretis, atau suatu cara memandang dan memahami alam,
yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai pandangan dunia (world
view). Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya, ilmuwan
dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing
dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut. Lebih jauh, Waryani
Fajar Riyanto menulis bahwa paradigma juga: hasil konstruksi sosial para
ilmuwan (komunitas ilmiah), yang merupakan seperangkat keyakinan mereka sebagai
cara pandang terhadap dunia...” [13]
Untuk lebih
mempraktiskan penjelasan mengenai paradigma, berikut ini ada beberapa gambar yang
“mendua”. Yang mana saja di antara dua wajah di setiap gambar ini adalah
pilihan anda, dan itulah—menurut penulis—contoh reduktif praktis mengenai
paradigma dan subyektifitasnya.[14]
|
|
|
Kelinci atau Bebek?
|
Vas Bunga atau
Dua Wajah?
|
Kepala Bebek atau
Kepala Kelinci?
|
Komunitas Ilmiah
Sebuah
paradigma—dalam kerangka sains normal—didukung oleh sebuah komunitas ilmiah (scientific
community) yang melakukan kerja keilmuwanan untuk mengembangkan ilmunya.
Para ilmuwan ini dipersatukan dalam satu komunitas ilmiah melalui pendidikan,
interaksi, profesi, dan komunikasi (seperti jurnal), atau yang memiliki interes
yang sama terhadap masalah tertentu dan menerima model pemecahan tertentu atas
masalah tersebut.[15]
Pengertian yang lebih detail mengenai “komunitas ilmiah” bisa dirujuk pada
tulisan Waryani yang menjelaskannya sebagai: sekumpulan ilmuwan yang bekerja
dalam suatu tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki suatu paradigma
bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai,
asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma, dan kepercayaan-kepercayaan.[16]
Komunitas
ilmiah inilah agen yang mempertahankan sebuah paradigma atau jenis ilmu normal
tertentu. Tanpa komunitas ini, sebuah paradigma atau ilmu tidak akan ada. Merekalah
yang bekerja mengisolasi segala sesuatu yang berada di luar komunitas itu.
Masalah-masalah yang penting secara sosial, yang tidak bisa direduksi menjadi
bentuk pemecahan teka-teki, dikesampingkan; dan apapun yang berada di luar
lingkup konseptual dan instrumental paradigma itu dianggap tidak relevan.[17]
F.
Gerak Ilmu Pengatahuan Itu Revolusioner, Bukan
Evolutif
Kuhn menolak
pandangan beberapa ilmuwan, seperti Karl Popper, yang menilai pergerakan ilmu
bersifat linear-akumulatif-evolutif. Ilmu itu bergerak melalui tahapan-tahapan
yang akan bermuara pada kondisi normal
dan kemudian ditolak serta digantikan oleh imu atau paradigma baru. Demikian
seterusnya, paradigma baru mengancam paradigma lama yang sebelumnya juga
menjadi paradigma baru.[18]
Bagi Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari
kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekuensinya, ilmu harus mengandung
suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang
lebih baik. Inilah fungsi dari revolusi pengetahuan.[19]
Paradigma
adalah elemen primer dalam progresifitas sains,[20]
karena seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, yang
melaluinya sang ilmuwan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam
kerangka ilmunya.[21]
Kuhn menyatakan bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada di dalam
sebuah paradigma tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam ilmu
pengethuan hanya dapat terjadi jika seluruh paradigma yang ada ternyata sudah
tidak lagi memadai, dan diganti yang lain.[22]
Pergeseran
paradigma (shifting paradigm) mengubah konsep-konsep dasar yang
melandasi riset dan mengilhami standar-standar pembuktian baru, teknik-teknik
riset baru, serta jalur-jalur teori dan eksperimen baru secara radikal,
sehingga tidak bisa dibandingkan lagi dengan yang lama.[23]
Untuk memberikan ilustrasi keterangan tersebut, berikut ini adalah skema yang
dibuat oleh Newton Smith untuk menggambarkan proses revolusi tersebut.[24]
Ketika
terjadi revolusi, maka hampir semua kosa kata, istilah-istilah, konsep-konsep,
idiom-idiom, cara penyelesaian persoalan, cara berpikir, cara mendekati
persoalan berubah dengan sendirinya;[25]
termasuk juga menyangkut teori, definisi-definisi, pertanyaan-pertanyaan yang
dianggap sah, serta aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran
suatu teori tertentu juga ikut berubah.[26]
Apa yang digambarkan oleh Newton Smith dalam “Ukuran Umum” di atas merupakan
bagian dari faktor yang melatar belakangi keputusan seorang ilmuwan individual
untuk melakukan pergeseran paradigma, yakni: karena kesederhanaan, kebutuhan
social yang mendesak, kemampuan memecahkan proble khusus, kerapihan dan
kecocokan dengan permasalahan yang dihadapi, dan lain-lain.[27]
Sedemikian
banyak dan menyeluruhnya proses perubahan tersebut, sehingga perubahan-perubahan
itu dinamai “revolusi”, dan peristiwa perubahan kesetiaan para ilmuwan
individual dari satu paradigma ke paradigma lain disamakan oleh Kuhn dengan
“Gestalt Switch” (perpindahan secara keseluruhan atau tidak sama sekali), atau
juga disamakan dengan “Religious Conversion” (perpindahan agama).[28]
Tahapan Revolusi
Analisis historis Kuhn
menunjukkan adanya tiga fase sejarah ilmu pengetahuan:
1)
Tahap pertama, tahap pra-ilmiah, yang hanya terjadi
sekali dimana tidak ada konsensus tentang teori apapun. Aktifitas ilmiah
dilakukan terpisah dan tidak terorganisir. Ada banyak teori yang muncul, yang
pada akhirnya terpilih satu teori atau paradigma yang diterima oleh banyak
ilmuwan. Fase ketika paradigma tunggal diterima oleh banyak pihak maka jalan
menuju normal science mulai terbuka. [29]
2)
Tahap kedua, Normal Science. Seorang
ilmuwan yang bekerja dalam fase ini memiliki teori override (kumpulan
teori) yang oleh Kuhn disebut sebagai paradigma. Dalam ilmu pengetahuan normal,
tugas ilmuwan adalah rumit, memperluas, dan lebih membenarkan paradigma. Kuhn mengatakan:
“Normal science does not aim at novelty of fact or theory and, when
succesfull, finds none”. Tahap normal science tidak bertujuan menemukan hal-hal yang baru. Jika
ada suatu penemuan ilmiah, maka hal itu tidak lantas menunjukkan bahwa normal
science bertujuan menemukan hal-hal baru, tetapi justru hal-hal baru
tersebut menandai berakhirnya tahapan normal science. Penemuan yang
seperti itu, oleh Kuhn, disebut sebagai revolusi ‘kecil’. Jarangnya terjadi
penemuan baru (discoveries) dikarenakan ekspektasi ilmuwan yang
mengaburkan visi mereka sendiri. R. Forster menyebut kondisi ini karena: they
tend to see what they expect to see.[30]
Di sinilah letak perbedaan Popper dan Kuhn dalam memahami perkembangan ilmu
pengetahuan:
Bagi Popper, melalui falsifikasi, ilmuwan
akan berhenti mengacu atau membadingkan teori keilmuan tertentu denga
fakta-fakta [verifikasi, pen]. Teori keilmuan harus segera ditinggalkan jika
ilmuwan menemukan adanya falsifying evidence.
Sementara Kuhn melihat bahwa dalam periode
sains normal (normal science) para ilmuwan tidak sibuk dengan
falsifikasi, tetapi justru berusaha memajukan ilmunya dengan meningkatkan
kemampuan menjelaskan dari ilmu mereka. Bahkan ketika berhadapan dengan keadaan
anomalipun ilmuwan tetap menaruh harapan pada paradigma yang mereka anut
sebagai yang memiliki kemungkinan menjelaskan. Peralihan teori baru terjadi
ketika tidak bisa diandalkan lagi. Di sini, Popper tidak sedang berbicara
mengenai perilaku aktual ilmuwan, sementara Kuhn berbicara mengenai perilaku
aktual ilmuwan.[31]
Pada perkembangan
selanjutnya, muncul beberapa masalah, teori atau fakta-fakta yang ternyata
paradigma di dalam normal scince tidak mampu memecahkannya. Inilah yang kemudian
disebut sebagai anomali. Terus berlangsung demikian, hingga anomali demi
anomali kian menumpuk sampai menimbulkan krisis kepercayaan di kalangan ilmuwan
terhadap paradigma mereka sendiri. Dari sinilah mereka kemudian mulai melihat paradigma
lain, dengan cara membandingkan dengan paradigma lama, dalam hal kemampuannya
menyelesaikan masalah. Dari sini dimulailah tahapan ketiga.
3)
Tahap ketiga, pergeseran paradigma, terjadilah
revolusi ilmu pengetahuan, yakni ditinggalkannya paradigma lama, dan digantikan
oleh paradigma baru yang mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Penolakan
paradigma lama dalam revolusi sains akan selalu diiringi dengan penerimaan
paradigma baru, seperti yang Thomas Kuhn nyatakan:
“The decision to reject one paradigm is
always simultaneously the decision to accept another, and the judgement leading
to that decision involves the comparisons of both paradigms with nature and
with each other…To reject one paradigm without simultaneously substituting
another is to reject science itself..”[32]
Untuk lebih
memperjelas konsep revolusi ilmu pengetahuan dan pergeseran paradigma, berikut
ini adalah salah satu skema lain yang sangat bagus dalam menggambarkan
proses-proses tersebut.[33]
|
Dalam
bentuk yang lain, juga terdapat ilustrasi sebagai berikut.
Ilustrasi
tersebut adalah gambaran dari keterangan per-bab secara runtut dari pemikiran Thomas
Kuhn tentang “Revolusi Ilmu Pengetahuan” dalam buku The Structure of
Scientific Revolution. Dalam ilustrasi tersebut tergambar bahwa sejarah
ilmu pengetahuan bermula dari keadaan yang disebut dengan “Pre-Science” atau
dalam beberapa keterangan disebut “pra-paradigma”, dimana belum ada paradigma
yang sentral dan kukuh. Tapi pada tahap ini, beberapa kelompok akademisi mulai
berteori, sehingga muncullah banyak teori dari berbagai kelompok “bersaing”
untuk mendapatkan penerimaan sosial (social acceptance) dengan membangun
teori yang mampu menjelaskan masalah dengan cara yang paling tangguh.
Teori yang
mendapatkan penerimaan sosial itulah yang kemudian menjadi paradigma. Sejarah
ilmu pengetahuan memasuki tahapan baru, yakni “Normal Scince”.[34]
Terus demikian, sampai kemudian mulai terlihat anomali-anomali. Teori tersebut
tidak bisa lagi menjelaskan beberapa masalah yang ada. Kegagalan ini
berkelanjutan. Anomali terus terjadi. Pada sisi yang lain, ada teori baru yang lebih
bisa menjelaskan masalah yang oleh teori lama gagal dijelaskan.[35]
Situasi ini memuncak menjadi krisis sains,[36]
yang kemudian mendorong terjadinya “Pergeseran Paradigma” dari paradigma lama
yang gagal menjelaskan masalah, menuju paradigma baru yang saat itu mampu
menjelaskan masalah tersebut. Inilah yang disebut dengan “Revolusi Ilmu
Pengetahuan”.[37] Pada
tahap ini, sejarah ilmu pengetahuan sampai pada “New Normal Scince”.[38]
Pada proses
pergeseran paradigma, akan ada dua paradigma yang berlawanan yang bersaing.
Proses peralihan komunitas ilmiah dari paradigma lama (normal science 1)
ke paradigma baru (extraordinary scince atau normal science 2)
yang berlawanan itulah yang dimaksud oleh Kuhn sebagai revolusi science. Oleh
karena itu, bagi Kuhn, perkembangan ilmu itu tidak kumulatif dan evolusioner
tetapi secara revolusioner yakni: membuang paradigma lama dan mengambil
paradigma baru yang berlawanan dan bertentangan. Paradigma baru tersebut
dianggap dan diyakini lebih memberikan janji atas kesempurnaan dalam memecahkan
masalah masa depan.[39]
Dalam bagian
ini, Thomas Kuhn memiliki sebuah visi yang menarik: sikap dalam diskusi dan adu
argumen antara pendukung paradigma yang bersaing tersebut adalah mencoba
meyakinkan dan bukan memaksakan paradigma; sebab tidak ada
argumen logis yang murni yang dapat mendemonstrasikan superioritas satu
paradigma atas lainnya, yang karenanya dapat memaksa seorang ilmuwan yang
rasional untuk melakukan perpindahan paradigma.[40]
Contoh Pergeseran
Paradigma
Contoh shifting
paradigms dapat ditemui dalam wacana logika dan metafisika. Pemikiran
logika telah berkembang dari logika formal Aristoteles, logika matematika
Descartes, logika transendental Kant, hingga logika simbolik Pierce. Dalam
metafisika juga terjadi letupan ide-ide dari being qua being
(rasionalisme), being as a perceived being (empirisme), being nothing
and becoming (fenomonologi), being and time (eksistensialisme),
hingga being as process (pragmatisme).[41]
Kita juga bisa melihat pergeseran paradigma tersebut di dalam ranah ilmu
pengetahuan alam, seperti kasus teori yang paling sering dikutip, yakni teori
Heliosentris Copernicus yang menggantikan teori Geosentris Ptolemeus yang
menyatakan bahwa matahari dan planet-planet lain serta bintang-bintang berputar
mengelilingi bumi; atau beberapa "kasus-kasus klasik" seperti (a) Penerimaan
teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang
bertentangan dengan teori generasi spontan, yang dimulai pada abad ke-17
dan tidak lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur. (b) Penerimaan teori seleksi alam Charles Darwin digantikan Lamarckism, mekanisme evolusi. (c) Transisi antara pandangan
dunia fisika Newton dan pandangan dunia relativistik Einstein. [42]
G. Aplikasi
Teori Ini dalam Kajian Pemikiran Al-Qur’an dan Tafsir
Teori
Revolusi Ilmu Pengetahuan milik Kuhn ini sangat berguna untuk melihat gerak
pergeseran paradigma yang terjadi dalam dunia tafsir. Sebut saja gagasan
Muhammad Syahrur yang mengangkat paradigma “la taraduf fi al-Qur’an”,
tidak ada sinonimitas di dalam kosa kata al-Qur’an. Paradigma ini menggeser paradigma
lama yang cenderung mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat taraduf atau
sinonimitas. Syahrur menyangkal paradigma ini, karena jika di dalam al-Qur’an terdapat
taraduf, maka satu kata di dalam satu kalimat al-Qur’an bisa diganti
dengan kata yang semakna. Ini sangat tidak mungkin terjadi di dalam al-Qur’an. Melalui
paradigma “la taraduf” ini, Syahrur ingin menunjukkan bahwa diksi al-Qur’an
memiliki tujuan, konteks, dan nuansa makna tertentu yang menambah kompleksitas
serta efektifitas gaya tutur al-Qur’an. Paradigma Syahrur ini tertuang
dalam—salah satunya—buku yang berjudul “Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah
Mu’ashirah”.[43]
Pergeseran paradigma
yang lain dalam dunia tafsir al-Qur’an—yang juga dapat diteropong melalui teori
Revolusi Ilmu Pengetahun—adalah fenomena pergeseran paradigma tafsir di Mesir. Setelah
era pembaharuan yang dirintis oleh Muhammad Abduh, banyak ulama yang membuka
diri dengan tradisi ilmu alam. Ini berpengaruh lebih lanjut terhadap cara
mereka menafsirkan al-Qur’an yang cenderung ke arah saintifik. Menafsirkan ayat
al-Qur’an untuk dicari korelasinya dengan teori-teori ilmu kealaman yang
ilmiah. Gaya tafsir ini dinamai dengan corak Tafsir Ilmi. Salah satu kitab
tafsir yang mewakili semangat ini adalah Tafsir al-Jauhari yang ditulis
oleh Tanthawi Jauhari.
Pada era Amin
Khuli, murid Muhammad Abduh, ia mencanangkan gagasan untuk menolak Tafsir Ilmi.
Alasan yang paling kuat di balik gagasan tersebut adalah karena terjadi pemaksaan
terhadap ayat al-Qur’an untuk menjadi sesuai dengan teori ilmiah. Amin Khuli mencanangkan
pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’an. Jenis tafsirnya kemudian disebut Tafsir
Adabiy. Ini lebih proporsional, menurut Amin Khuli. Pertimbangannya, audiens
pertama al-Qur’an adalah masyarakat yang memiliki sense sastrawi tinggi,
bukan masyarakat ilmiah yang akrab dengan teori-teori dan istilah-istilah
ilmiah.[44]
Pergeseran paradigma dalam mendekati al-Qur’an ini kemudian dikukuhkan oleh murid-muridnya
seperti Muhammad Ahmad Khalafullah,[45]
dan Aisyah bint as-Syathi’.[46]
Pergeseran
paradigma yang lainnya adalah teori Nasakh yang diajukan oleh Abdullah Ahmed
an-Na’im. Ia menawarkan sebuah paradigma Nasakh yang tidak berkaitan dengan hapus-menghapus,
akan tetapi sebagai pilihan dalam menyusun prioritas aplikasi hukum syari’ah. Dalam
paradigma teori Nasakh klasik, kajian ini bekerja untuk menentukan mana yang
menghapus (nasikh) dan mana yang dihapus (mansukh). Sedangkan
paradigma Nasakh ala Na’im cenderung pad aide bahwa tidak ada hukum yang
bertentangan di dalam al-Qur’an sehingga perlu diselesaikan dengan gaya Nasakh
klasik. Ia merevolusi pemahaman dan aplikasi kerja Nasakh dengan memberikan
makna dan fungsi baru sebagai penangguhan pemberlakuan satu hukum atas hukum yang
lain. Jadi, tidak ada yang dihapus. Hanya saja, hukum yang manakah yang harus
didahulukan untuk dipraktikkan saja. Ini lebih menitik beratkan pada prioritas di
dalam mengaplikasikan: hukum mana yang lebih maslahah dalam satu zaman dan satu tempat tertentu. Salah
satu buku yang memuat gagasan pergeseran paradigma teori Nasakh ini dapat
dijumpai dalam buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Dekonstruksi Syari’ah.[47]
H.
Outro:
Sebuah Mindmapping
Rangkuman yang dapat
penulis berikan dari ulasan di atas adalah sebagaimana yang telah penulis
gambar dalam bagan berikut ini.
I.
Daftar Pustaka
Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi
Syari’ah I & II, (Yogyakarta: LKiS, 2009).
Aisyah Abdurrahman
(Bintusy Syathi’), Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. Maqal
fi al-Insan, (Yogyakarta: LKPSM, 1997)
Amin al-Khuli dan Nashr
Hamid Abu Zayd, Metode Tafsir Sastra, (Yogyakarta: Adab Press, 2004)
Muhammad Ahmad
Khalafullah, Al-Qur'an Bukan
Kitab Sejarah: Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur'an,
terj. Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur'an al-Karim, (Jakarta: Paramadina,
2002).
Muhammad Syahrur, Prinsip
Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: ElsaQ, 2004).
Ricky Rengkung, “Kritik
(ideology) Terhadap Cara Berpikir Positivisme atau Scientisme”, dalam situs http://administrasi-ui.com/?p=62 (Akses
tanggal 03 November 2011)
Rizal Mustansyir dan
Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
156.
Sony Yuliar, “Perceraian
Sains dan Filsafat”, dalam situs http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/
sains_filsafat.htm (Akses tanggal 04 November 2011)
Syah Reza,”Revolusi Sains
Menurut Thomas Kuhn”, dalam http://rezaaceh.wordpress.com/2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/
Thomas S. Kuhn, The
Structure of Scientific Revolution (third edition), (USA: The University of
Chicago Press, 1996)
Waryani Fajar Riyanto, Filsafat
Ilmu Integral (sebuah Pemetaan Topik-topik Epistemologi bagi Pengembangan Studi-studi
Keislaman Perspektif Al-Qur’an), (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press,
2011), hlm. 506-516.
Wes Sharrock and Rupert
Read, Key Contemporary Thinker Kuhn Philosopher of Scientific Revolution,
(UK: Polity Press, 2002)
Bahan dari
Situs di Internet
Artikel “Dimensi Dinamis
Ilmu” dalam http://kuliahfilsafat.wordpress.com/tag/thomas-kuhn/
(Akses tanggal 04 November 2011)
Artikel “Dimensi Dinamis
Ilmu” dalam http://kuliahfilsafat.wordpress.com/tag/thomas-kuhn/
(Akses tanggal 04 November 2011)
Artikel “Latar Belakang
Pemikiran Kuhn Tentang Ilmu dan Perkembangannya”, dalam situs http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380
(Akses tanggal 03 November 2011)
Artikel “Latar Belakang
Pemikiran Kuhn Tentang Ilmu dan Perkembangannya”, dalam situs http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380
(Akses tanggal 03 November 2011)
Artikel “Paradigm Shift
Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
Artikel “Paradigm Shift
Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
Artikel “Paradigm Shift
Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
Artikel “Paradigm Shift
Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
Artikel “Pemikiran Paul
K. Feyerabend Terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, dalam http://blogekayusuf.blogspot.com/2008/11/pemikiran-paul-k-feyerabend-terhadap.html
Artikel “Pemikiran Thomas
Kuhn”, dalam http://userperpustakaan.blogspot.com
/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html (Akses tanggal 05 November 2011)
http://4.bp.blogspot.com/_YmaC62Qtxvk/TEDTCqNfILI/AAAAAAA
AABY/0JECIe8LALQ/s1600/Duck_rabbit.jpg, (Akses tanggal 05 November
2011)
http://cliff.uconn.edu/eric/291/kuhndiagram.gif
http://cliff.uconn.edu/eric/291/kuhndiagram.gif
(Akses tanggal 05 November 2011)
http://rezaaceh.
wordpress.com/ 2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/, (Akses tanggal
05 November 2011)
http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html,
http://kuliahfilsafat.wordpress.com/
tag/thomas-kuhn/
http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011)
http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011)
http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011)
M.Ali Mustofa Kamal,
“Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn Dan Relevansinya Bagi Ilmu-Ilmu Keagamaan”, dalam http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html
Malcolm R. Forster,
“Guide to Thomas Kuhn’s The Structure of Scientific Revolutions”, dalam situs http://philosophy.wisc.edu/forster/220/kuhn.htm
(Akses tanggal 21 Oktober 2011).
[1] Lihat artikel “Dimensi Dinamis Ilmu”
dalam http://kuliahfilsafat.wordpress.com/tag/thomas-kuhn/
(Akses tanggal 04 November 2011)
[2] Lihat artikel “Pemikiran Paul K. Feyerabend Terhadap
Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, dalam http://blogekayusuf.blogspot.com/2008/11/pemikiran-paul-k-feyerabend-terhadap.html
[3] Diolah dari berbagai sumber. Antara lain
Wes Sharrock and Rupert Read, Key Contemporary Thinker Kuhn Philosopher of
Scientific Revolution, (UK: Polity Press, 2002), juga dari situs http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html,
http://kuliahfilsafat.wordpress.com/
tag/thomas-kuhn/, juga diambil dari http://rezaaceh. wordpress.com/
2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/, (Akses tanggal 05 November
2011)
[4] Diambil dari “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[5] Lihat artikel “Latar Belakang Pemikiran Kuhn Tentang Ilmu
dan Perkembangannya”, dalam situs http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380
(Akses tanggal 03 November 2011)
[6] Lihat artikel “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[7] Ilustrasi asli berbahasa Inggris, yang diambil dari web http://epistemic-forms.com/FacSite/
Articles/images/Kuhn-sci-rev.jpg ; http://exopoliticsjournal.com/vol-3/vol-3-1-Webre_files/image003.jpg,
atau http://cliff.uconn.edu/eric/291/kuhndiagram.gif
[8] Lihat Sony Yuliar, “Perceraian Sains dan
Filsafat”, dalam situs http://aljawad.tripod.com/arsipbuletin/
sains_filsafat.htm (Akses tanggal 04 November 2011)
[9] Diambil dari tulisan Syah Reza,”Revolusi Sains Menurut
Thomas Kuhn”, dalam http://rezaaceh.wordpress.com/2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/
[10] Diambil dari web http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011) PTK
[11] Lihat artikel pada web http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011) PTK
[12] Diambil dari “Paradigm Shift Thomas Kuhn”
dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[13] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral (sebuah
Pemetaan Topik-topik Epistemologi bagi Pengembangan Studi-studi Keislaman
Perspektif Al-Qur’an), (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press, 2011),
hlm. 506-516.
[14] Gambar-gambar tersebut diambil dari web http://idahoptv.org/dialogue4kids/season6/eyes/
images/duck-rabbit.gif, juga dari http://4.bp.blogspot.com/_YmaC62Qtxvk/TEDTCqNfILI/AAAAAAA
AABY/0JECIe8LALQ/s1600/Duck_rabbit.jpg, (Akses tanggal 05 November 2011)
[15] Diambil dari “Dimensi Dinamis Ilmu” dalam
http://kuliahfilsafat.wordpress.com/tag/thomas-kuhn/
(Akses tanggal 04 November 2011)
[16] Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral (sebuah
Pemetaan Topik-topik Epistemologi bagi Pengembangan Studi-studi Keislaman
Perspektif Al-Qur’an), (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press, 2011),
hlm. 507..
[17] Lihat artikel “Pemikiran Thomas Kuhn”, dalam
http://userperpustakaan.blogspot.com /2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html (Akses
tanggal 05 November 2011)
[18] Diambil dari web http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011)
[19] Lihat artikel “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[20] Ibid
[21] Lihat artikel “Latar Belakang Pemikiran Kuhn Tentang Ilmu
dan Perkembangannya”, dalam situs http://blog.unsri.ac.id/hidayati/filsafat-ilmu/paradigma-kuhn/mrdetail/29380
(Akses tanggal 03 November 2011)
[22] Lihat artikel Ricky Rengkung, “Kritik
(ideology) Terhadap Cara Berpikir Positivisme atau Scientisme”, dalam situs http://administrasi-ui.com/?p=62 (Akses
tanggal 03 November 2011)
[23] Diambil dari web http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-kuhn.html
(Akses tanggal 05 November 2011) Lihat juga Waryani Fajar Riyanto, Filsafat
Ilmu Integral (sebuah Pemetaan Topik-topik Epistemologi bagi Pengembangan
Studi-studi Keislaman Perspektif Al-Qur’an), (Yogyakarta: Integrasi
Interkoneksi Press, 2011), hlm. 515.
[24] Sebagaimana dikutip di dalam buku Rizal Mustansyir dan
Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.
156.
[25] LIhat Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Integral
(sebuah Pemetaan Topik-topik Epistemologi bagi Pengembangan Studi-studi
Keislaman Perspektif Al-Qur’an), (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Press,
2011), hlm. 512.
[26] Lihat Syah Reza,”Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn”,
dalam http://rezaaceh.wordpress.com/
2011/07/10/revolusi-sains-menurut-thomas-kuhn/
[27] Lihat artikel “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[28] Diambil dari artikel “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/
2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/ (Akses tanggal 05 November
2011)
[29] Artikel http://afinz.blogspot.com/2010/04/revolusi-ilmu-pengetahuan-relevansinya.html,
Lihat juga http://forumpascasarjana.com/2011/10/12/perkembangan-filsafat-ilmu-dan-revolusi-sains/,
atau M.Ali Mustofa Kamal, “Revolusi Ilmiah Thomas Kuhn Dan Relevansinya Bagi
Ilmu-Ilmu Keagamaan”, dalam http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html
[30] Malcolm R. Forster, “Guide to Thomas
Kuhn’s The Structure of Scientific Revolutions”, dalam situs http://philosophy.wisc.edu/forster/220/kuhn.htm
(Akses tanggal 21 Oktober 2011).
[31] LIhat dalam “Dimensi Dinamis Ilmu”, dalam dalam http://kuliahfilsafat.wordpress.com/tag/thomas-kuhn/
(Akses tanggal 04 November 2011)
[32] Sebagaimana dikutip oleh Malcolm R. Forster, “Guide to
Thomas Kuhn’s The Structure of Scientific Revolutions”, dalam situs http://philosophy.wisc.edu/forster/220/kuhn.htm
(Akses tanggal 21 Oktober 2011).
[33] Diambil dari web http://cliff.uconn.edu/eric/291/kuhndiagram.gif
(Akses tanggal 05 November 2011)
[34]
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (third
edition), (USA: The University of Chicago Press, 1996), hlm. 10-22 dalam
bab “The Route to Normal Science”, juga halaman 23-42 dalam bab “The Nature of
Normal Science” dan “Normal Science as Puzzle Solving”.
[35]
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (third
edition), hlm. 53-65 pada bab “Anomaly and The Emergence of Scientific
Discoveries”.
[36]
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (third
edition), hlm. 67-91 dalam bab “Crisis and The Emergence of Scientific
Theories” dan bab “The Response to Crisis”.
[37]
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (third
edition), hlm. 92-110 pada bab “The Nature and Necessity of Scientific
Revolutions”
[38]
Keterangan ini disarikan dari keterangan Bapak Alim Ruswantoro dan hasil
diskusi kelas saat makalah ini dipresentasikan pada kesempatan lalu.
[39]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (third
edition), (USA: The University of Chicago Press, 1996), hlm. 111-135, bab
“Revolution as Changes of World View”
[40] Lihat artikel “Paradigm Shift Thomas Kuhn” dalam http://loekisno.wordpress.com/2008/02/07/shift-paradigm-thomas-kuhn/
(Akses tanggal 05 November 2011)
[41] Artikel M.Ali Mustofa Kamal, “Revolusi
Ilmiah Thomas Kuhn Dan Relevansinya Bagi Ilmu-Ilmu Keagamaan”, dalam http://ustadzmustofakamal.blogspot.com/2009/12/revolusi-ilmiah-thomas-kuhn-dan.html
[42] Ibid.
[43] Lihat
terjemahnya dalam bahasa Indonesia, Muhammad Syahrur, Prinsip Hermeneutika
Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: ElsaQ, 2004).
[44]
Ini dapat dicermati dalam ulasan Amin al-Khuli dan Nashr Hamid Abu Zayd, Metode
Tafsir Sastra, (Yogyakarta: Adab Press, 2004)
[45]
Muhammad Ahmad Khalafullah, Al-Qur'an Bukan
Kitab Sejarah: Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur'an,
terj. Al-Fann
al-Qashashi fi al-Qur'an al-Karim,
(Jakarta: Paramadina, 2002).
[46] Lihat
praktik penafsiran Adabiy dalam Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), Manusia
Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. Maqal fi al-Insan,
(Yogyakarta: LKPSM, 1997)
[47]
Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah I & II, (Yogyakarta:
LKiS, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar