MUKADDIMAH
Proses beragama kebanyakan muslim
sangat erat dengan madzhab-madzhab. Dalam berfikih, mayoritas muslim Indonesia
mengikatkan diri pada Madzhab Syafi’i, satu di antara tiga madzhab fikih
populer lainnya seperti Madzhab Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Dalam berakidah,
kita mengenal Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Jabariyah, atau Qadariyah.
Praktik tasawuf bercabang madzhab antara Qadiriyah, Maulawiyah, Tijaniyah,
Syadziliyah, dan banyak lagi. Demikian pula kenyataannya di dalam cara kita
membaca (Qira’at) al-Qur’an, ada Qira’at Imam Ashim, Nafi’, Al-Kisa’i, Ibnu
Amir, Abu Amr, Hamzah, atau Ibnu Katsir. Jika madzhab-madzhab sebelumnya adalah
hasil karya pikir ijtihad manusia, maka pola Madzhab yang terakhir di atas
adalah perkecualiannya. Ia menjadi ragam Madzhab yang kemunculannya bersumber langsung
dari wahyu.[1]
Pada poin inilah makalah
ini mencoba membahasnya, dengan khusus mengaitkannya dengan kegiatan tafsir.
Imam Qira’at: Biodata dan
Sebaran Qira’ahnya
Dalam kajian Ulumul Qur’an, keragaman
madzhab qira’at atau cara membaca al-Qur’an ini dimasukkan dalam folder
pembahasan bernama Ilmu Qira’ah. Dari sinilah kemudian muncul sub-folder kajian
bernama Studi Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah, Qira’ah Arba’ Asyrah. Penambahan
bilangan di setiap nama Qira’ah memang menunjukkan jumlah cara membaca
al-Qur’an, yang di setiap cara bacaan akan disandarkan pada seorang Imam
Qira’ah. Sebagai contoh, mayoritas cara membaca yang dipraktikkan dan diajarkan
di Indonesia adalah Qira’ah dari Imam Ashim, satu imam qira’ah di antara tujuh,
sepuluh, atau empat belas imam lainnya.
Penisbatan sebuah cara membaca
al-Qur’an pada seorang Imam tidak berarti cara membaca [seterusnya akan
disebut sebagai qira’ah] tersebut adalah hasil karyanya. Penyandaran
tersebut lebih hanya sekedar penisbatan terhadap pakar yang menekuni satu
qira’ah tertentu dari Nabi. Hal ini persis seperti ketika menyebut “Hadis
Bukhari”, atau “Hadis Muslim”. Penyandaran tersebut tidak berarti Bukhari atau
Muslim yang menciptakan hadis tersebut, melainkan hanya sekedar hadis Nabi yang
masuk di dalam kategori hadis terseleksi versi Imam Bukhari atau Muslim.
Setiap Imam Qira’ah memiliki
perawi—serta thariq yang melanjutkan qira’ah dalam thariqah-nya—dan
sebaran wilayah dimana qira’ahnya digunakan. Berikut ini adalah daftar para
Imam Qira’ah, beserta perawi, dan keterangan lainnya yang penulis ambil dari
situs wikipedia.com.[2] Akan ada
tiga tabel; tabel pertama adalah tujuh qira’ah yang sudah disepakati kesahihan
dan kemutawatirannya, kemudian tabel berisi tiga qira’ah yang kesahihan dan
kemutawatirannya masih diperdebatkan, dan terakhir, tabel dengan empat qira’ah
yang dinilai syadz. Halaman berikutnya akan memberikan pemetaaan pohon
periwayatan setiap qira’ah yang kesemuanya bermula dari Nabi Muhammad saw.[3]
THE SEVEN READERS AND THEIR TRANSMITTERS
|
||||||||||
Qari (Reader)
|
Rawi (Transmitters)
|
|||||||||
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Present region of use
|
Nafi‘ al-Madani
|
70 AH
|
169 AH-785 CE
|
Ibn ‘Abd ar-Rahman Ibn Abi Na‘im, Abu
Ruwaym al-Laythi
|
His origin is from Isfahan
|
Qalun
|
120 AH
|
220 AH
|
Abu Musa, ‘Isa Ibn Mina al-Zarqi
|
Client of Bani Zuhrah
|
Libya, Tunisia and parts of Qatar[9]
|
Warsh
|
110 AH
|
197 AH
|
‘Uthman Ibn Sa‘id al-Qutbi
|
Egyptian; client of Quraysh
|
Algeria, Morocco, parts of Tunisia , West
Africa and Sudan[9] and parts of Libya.
|
|||||
Ibn Kathir al-Makki
|
45 AH
|
120 AH-737 CE
|
‘Abdullah, Abu Ma‘bad al-‘Attar al-Dari
|
Persian
|
Al-Buzzi
|
170 AH
|
250 AH
|
Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah, Abu
al-Hasan al-Buzzi
|
Persian
|
|
Qunbul
|
195 AH
|
291 AH
|
Muhammad Ibn ‘Abd ar-Rahman, al-Makhzumi,
Abu ‘Amr
|
Meccan and Makhzumi (by loyalty)
|
||||||
68 AH
|
154 AH
|
Zuban Ibn al-‘Ala' at-Tamimi al-Mazini,
al-Basri
|
Hafs al-Duri
|
?
|
246 AH
|
Abu ‘Amr, Hafs Ibn ‘Umar Ibn ‘Abd
al-‘Aziz al-Baghdadi
|
Grammarian. Blind.
|
Parts of Sudan and West Africa[9].
|
||
Al-Susi
|
?
|
261 AH
|
Abu Shu‘ayb, Salih Ibn Ziyad Ibn
‘Abdillah Ibn Isma‘il Ibn al-Jarud ar-Riqqi
|
|||||||
Ibn ‘Amir ad-Dimashqi
|
8 AH
|
118 AH
|
‘Abdullah Ibn ‘Amir Ibn Yazid Ibn Tamim
Ibn Rabi‘ah al-Yahsibi
|
Hisham
|
153 AH
|
245 AH
|
Abu al-Walid, Hisham ibn ‘Ammar Ibn
Nusayr Ibn Maysarah al-Salami al-Dimashqi
|
Parts of Yemen[9].
|
||
Ibn Dhakwan
|
173 AH
|
242 AH
|
Abu ‘Amr, ‘Abdullah Ibn Ahmad al-Qurayshi
al-Dimashqi
|
|||||||
‘Aasim al-Kufi
|
? AH
|
127 AH-774 CE
|
Abu Bakr, ‘Aasim Ibn Abi al-Najud
al-'Asadi
|
'Asadi (by loyalty)
|
Shu‘bah
|
95 AH
|
193 AH
|
Abu Bakr, Shu‘bah Ibn ‘Ayyash Ibn Salim
al-Kufi an-Nahshali
|
Nahshali (by loyalty)
|
|
Hafs
|
90 AH
|
180 AH
|
Abu ‘Amr, Hafs Ibn Sulayman Ibn
al-Mughirah Ibn Abi Dawud al-Asadi al-Kufi
|
Muslim world in general[9].
|
||||||
Hamzah al-Kufi
|
80 AH
|
156 AH-772 CE
|
Abu ‘Imarah, Hamzah Ibn Habib al-Zayyat
al-Taymi
|
Taymi (by loyalty)
|
Khalaf
|
150 AH
|
229 AH
|
Abu Muhammad al-Asadi al-Bazzar
al-Baghdadi
|
||
Khallad
|
?
|
220 AH
|
Abu ‘Isa, Khallad Ibn Khalid al-Baghdadi
|
|||||||
Al-Kisa'i al-Kufi
|
119 AH
|
189 AH-804 CE
|
Abu al-Hasan, ‘Ali Ibn Hamzah al-Asadi
|
Asadi (by loyalty). Persian.
|
Al-Layth
|
? AH
|
240 AH
|
Abu al-Harith, al-Layth Ibn Khalid
al-Baghdadi
|
||
Hafs al-Duri
|
?
|
246 AH
|
Abu ‘Amr, Hafs Ibn ‘Umar Ibn ‘Abd
al-‘Aziz al-Baghdadi
|
Transmitter of Abu 'Amr (See Above)
|
THE THREE NONCONSENSUAL READERS AND
THEIR TRANSMITTERS
|
|||||||||
Qari (Reader)
|
Rawi (Transmitters)
|
||||||||
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Abu Ja‘far
|
?
|
130 AH
|
Yazid Ibn
al-Qa‘qa‘ al-Makhzumi al-Madani
|
‘Isa Ibn Wirdan
|
?
|
160 AH
|
Abu al-Harith
al-Madani
|
Madani by style
|
|
Ibn Jummaz
|
?
|
170 AH
|
Abu ar-Rabi‘,
Sulayman Ibn Muslim Ibn Jummaz al-Madani
|
||||||
Ya‘qub
al-Yamani
|
117 AH
|
205 AH
|
Abu Muhammad,
Ya‘qub Ibn Ishaq Ibn Zayd Ibn ‘Abdillah Ibn Abi Ishaq al-Hadrami al-Basri
|
Client of the
Hadramis
|
Ruways
|
?
|
238 AH
|
Abu ‘Abdillah,
Muhammad Ibn al-Mutawakkil al-Basri
|
|
Rawh
|
?
|
234 AH
|
Abu al-Hasan,
Rawh Ibn ‘Abd al-Mu'min, al-Basri al-Hudhali
|
Hudhali by
loyalty
|
|||||
Khalaf
|
150 AH
|
229 AH
|
Abu Muhammad al-Asadi
al-Bazzar al-Baghdadi
|
Transmitter of
Hamza (see above)
|
Ishaq
|
?
|
286 AH
|
Abu Ya‘qub,
Ishaq Ibn Ibrahim Ibn ‘Uthman al-Maruzi al-Baghdadi
|
|
Idris
|
189 AH
|
292 AH
|
Abu al-Hasan,
Idris Ibn ‘Abd al-Karim al-Haddad al-Baghdadi
|
THE FOUR ABERRANT READERS AND THEIR
TRANSMITTERS
|
|||||||||
Qari (Reader)
|
Rawi (Transmitters)
|
||||||||
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Name
|
Born
|
Died
|
Full name
|
Additional info
|
Muhammad ibn
Muhaisin/ محمد بن مُحَيصن
|
Albuzzi/ البزي
|
||||||||
Abu al-Hasan
ibn Shannabudh
|
|||||||||
Yahaya al-yazidi/
يحيى اليزيدي
|
Sulaiman ibn
al-Hakam
|
||||||||
Ahmad ibn
Farah/ أحمد بن فرح
|
|||||||||
Shujac
al-Balkhi
|
|||||||||
Abu Amr Hafs
Al-Duri
|
|||||||||
Sulaiman ibn
Mahraan
|
Al-Hasan
al-MuTawwaci
|
Klasifikasi Qira’ah
Setiap qira’ah akan diuji
berdasarkan standar tiga hal berikut.
|
Anatomi Sanad Qira’ah dan Beberapa Istilah
Setiap Qira’ah ditransfer antar generasi dalam sistem riwayat selayaknya hadis. Dalam satu qira’ah, ada seorang Imam, kemudian disusul di bawahnya (muridnya Imam), yang disebut Rawi, dan murid dari seorang Rawi disebut Thariq. Maka sebagai contoh, suatu bacaan al-Qur’an akan diidentifikasi sebagai: “Ini qira’ah Ashim, yang diriwayatkan oleh Hafsh, melalui thariqah Ubaid”—seperti yang terilustrasikan dalam bagan di bawah. Yang pertama qira’ah, kemudian riwayah, dan selanjutnya thariqah. Setiap Rawi nantinya memiliki Manhaj atau semacam tata cara baca kata-kata tertentu dalam al-Qur’an yang umumnya bersifat shautiyyah dalam satu qira’ah.[5]
Skema yang demikianlah yang juga berjalan dalam sistem sanad qira’ah yang lainnya. Catatan yang menarik yang penulis temukan adalah, setiap Imam Qira’ah itu juga dikenal sebagai Ulama Perawi Rasm Usmani, atau pakar di dalam hal Rasm Usmani. Ini merujuk pendapat yang mengatakan bahwa rasm al-Qur’an itu bersifat tauqifiy, sehingga perlu ada ketersambungan dalam cara menulis al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, yang dijaga dalam sistem sanad pula.[6]
Sistem Sanad Qira’ah Hamzah
Sistem Sanad Qira’ah Abu Amr
Sistem Sanad Qira’ah Ibnu Katsir
Sistem Sanad Qira’ah Nafi’
Sistem Sanad
Qira’ah Ibnu Amir
Sistem Sanad
Qira’ah Al-Kisa’i
Kaitan Qira’at dan Rasm Usmani
Ada kaitan yang sangat erat di antara
keduanya. Yang paling menonjol adalah bagaimana penerimaan sebuah bacaan atau
qira’at bisa diterima sebagai shahih jika—salah satunya—memenuhi syarat
“kesesuaian dengan rasm usmani”. Terkait dengan kaitan qira’at dan rasm,
penulis merasa akan menarik jika mencantumkan penafsiran Ibnu Qutaibah mengenai
“Sab’atu Ahruf” yang dalam bagian ini penulis gunakan sebagai salah satu
alternatif dalam memolakan hubungan antara qira’at dengan mushaf.
Perbedaan qira’at bisa berlangsung dalam 7 pola:[7]
1. Perbedaan dalam i'rab
kalimat, dalam harokat, tetapi tidak membuat bentuk penulisan dan maknanya
berubah.
هؤُلاَءِ
بَنَاتِى هُنَّ أَطْهَرُ لَكُم
|
Qira’at lain: أَطْهَرَ
|
2.
I’rab
dan harokatnya berbeda, maknanya berubah, tetapi bentuk tulisan tidak berubah.
اِذْ تَلَقَّوْنَهُ
بِأَلْسِنَتِكُمْ
|
Qira’at lain: تَلِقُوْنَهُ
|
3. Huruf dalam satu kalimatnya berubah,
tapi i’rabnya masih tetap, maknanya berubah, tapi bentuk tulisan masih tetap.
حَتَّى
اِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ
|
Qira’at lain: فُزِّغَ
|
4.
Kalimatnya
berbeda, bentuk tulisan berubah, tapi maknanya tidak.
كاَلعِهْنِ
الْمَنْفُوْشِ
|
Qira’at lain: كاَلصَّوْفِ
|
5.
Perbedaan
yang dalam hal kalimat, bentuk tulisan, dan maknanya berubah semua.
طَلْحٍ مَنْضُوْدٍ
|
Qira’at lain: طَلْعٍٍ
|
6.
Perbedaan
dalam taqdim dan ta’khir.
وَ
جَائتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ باِلحَقِّ
|
Qira’at lain: وَ جَائتْ سَكْرَةُ
اِلحَقّ باِلمَوْتِِ
|
7.
Perbedaan yang muncul karena ziyadah dan nuqshan.
وَمَا
عَمِلَتْهُ أَيْدِيْهِمْ
|
Qira’at lain: وَمَا عَمِلَتْ أَيْدِيْهِمْ
|
Pola Perbedaan Qira’ah di dalam
Al-Qur’an
Hasanuddin AF menjelaskan di dalam
buku Anatomi al-Qur’an, bahwa perbedaan qiraat dalam qiraah sab’ah[8] itu
terjadi dalam 107 surat dari 114 urat al-Qur’an. Itupun hanya menyangkut
lafal-lafal tertentu, dari ayat-ayat tertentu. Sementara dalam 7 surat lainnya
tidak terdapat perbedaan qira’ah, yaitu dalam surat al-Adiyat, at-Tin,
al-Insyirah, al-Kautsar, al-Ma’un, al-Fiil, dan an-Nashr.[9]
Sedangkan untuk mengetahui pola
perbedaan qira’ah, berikut ini adalah tabulasi untuk mengilustrasikannya.
Tabulasi ini masih berdasar pada penjelasan Hasanuddin AF. Wajah Qira’at:
dicetak dalam format bold, dan Ayat yang dicantumkan paling atas selalu
Bacaan Hafsh an Ashim (bacaan yang lazim digunakan di Indonesia)
Tipe 1: Satu ayat, 6 Imam memiliki versi yang sama, dan satu
Imam memiliki versi lain
Al-An’am
ayat 137
Ï9ºx2ur ú¨ïy 9ÏWx6Ï9 ÆÏiB úüÅ2Îô³ßJø9$# @÷Fs% öNÏdÏ»s9÷rr& öNèdät!$2tä© ö
|
||||||
Nafi’
|
Ashim
|
Abu Amr
|
Ibnu Katsir
|
Hamzah
|
Al-Kisa’i
|
Ibnu Amir
|
---
|
---
|
---
|
---
|
---
|
---
|
Beda
|
Bacaan Ibnu Amir
|
وَ
كَذَالِكَ زُيِّنَ لِكَثِيْرٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ قَتْلُ
أَوْلاَدَهُمْ شُرَكاَئِهِمْ
|
Tipe 2: Satu ayat, 5 Imam memiliki versi yang sama, dan 2
Imam memiliki qira’ah yang sama dalam versi lain
Al-An’am ayat 140
ôs% uÅ£yz tûïÏ%©!$# (#þqè=tGs% öNèdy»s9÷rr&
|
||||||
Nafi’
|
Ashim
|
Abu Amr
|
Ibnu Katsir
|
Hamzah
|
Al-Kisa’i
|
Ibnu Amir
|
---
|
---
|
---
|
Beda
|
---
|
---
|
Beda
|
Bacaan Ibnu Katsir dan
Ibnu Amir
|
قَدْ
خَسِرَ الَّذِيْنَ قَتَّلُوْا اَوْلاَدَهُمْ
|
Tipe 3: Satu ayat, 4 Imam memiliki versi yang sama, dan 3
Imam memiliki qira’ah yang sama dalam versi lain
Al-An’am ayat 141
ô(#qè=à2 `ÏB ÿ¾ÍnÌyJrO !#sÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqt ¾ÍnÏ$|Áym (
|
||||||
Nafi’
|
Ashim
|
Abu Amr
|
Ibnu Katsir
|
Hamzah
|
Al-Kisa’i
|
Ibnu Amir
|
Beda
|
---
|
---
|
Beda
|
Beda
|
Beda
|
---
|
Bacaan Nafi’, Ibnu Katsir,
Hamzah, dan Al-Kisa’i
|
كُلُوا
مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَاتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حِصَادِهِ
|
Tipe 4: Satu ayat, 5 Imam memiliki versi yang sama,
dan 2 Imam memiliki qira’ah yang berbeda dalam versi lain juga
Al-An’am ayat 125
`tBur ÷Ìã br& ¼ã&©#ÅÒã ö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'2 ߨè¢Át Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4
|
||||||
Nafi’
|
Ashim ( Hafsh)
|
Abu Amr
|
Ibnu Katsir
|
Hamzah
|
Al-Kisa’i
|
Ibnu Amir
|
Beda 1
|
Beda 1
|
Beda 2
|
Beda 1
|
Beda 1
|
Beda 1
|
|
Bacaan Nafi’, Abu Amr,
Hamzah, dan Al-Kisa’i
|
`tBur ÷Ìã br& ¼ã&©#ÅÒã ö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'2 ߨè¢Át Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4
|
|||||
Bacaan Ibnu Katsir
|
`tBur ÷Ìã br& ¼ã&©#ÅÒã ö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'2 ßيَصْعَدُ Îû Ïä!$yJ¡¡9$#
|
|||||
Bacaan Ashim Riwayat
Syu’bah
|
`tBur ÷Ìã br& ¼ã&©#ÅÒã ö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'2 ßيَصّعَدُ Îû Ïä!$yJ¡¡9$#
|
Tipe 5: Satu ayat, 4 Imam memiliki versi yang sama, dan 3 Imam
memiliki qira’ah yang berbeda dalam versi lain pula
Al-An’am ayat 139
وَاِنْ يَكُنْ
مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
||||||
Nafi’
|
Ashim
|
Abu Amr
|
Ibnu Katsir
|
Hamzah
|
Al-Kisa’i
|
Ibnu Amir
|
Sama
|
Sama
|
Sama
|
Sama
|
|||
Bacaan Nafi’, Abu Amr,
Hamzah, dan al-Kisa’i
|
وَاِنْ يَكُنْ
مَيْتَةًً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
|||||
Bacaan Ibnu Katsir
|
وَاِنْ يَكُنْ
مَيْتَةٌ فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
|||||
Ibnu Amir
|
وَاِنْ تَكُنْ
مَيْتَةٌ فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
|||||
Ashim riwayat Hafsh
|
وَاِنْ تَكُنْ
مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
|||||
Ashim riwayat Syu’bah
|
وَاِنْ يَكُنْ
مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
|
PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AH
DALAM PENAFSIRAN
KLASIFIKASI
HASANUDDIN
Penulis dalam makalah ini akan
mencoba menyajikan secara sepintas mengenai pengaruh perbedaan qira’at di dalam
penafsiran. Teknisnya, ada dua model yang penulis gunakan. Yang pertama adalah
model keterpengaruhan yang ditulis oleh Hasanuddin AF, dan yang kedua, model
keterpengaruhan serta klasifikasinya yang ditulis oleh Muhammad bin Umar bin
Salim. Untuk model yang pertama, lebih menyoroti pengaruh qira’at yang
dihubungkan dengan variabel tafsir yang khusus untuk memproduksi hukum (istinbath
al-hukm), sehingga kriteriumnya sederhana, yakni ada perbedaan qira’at yang
berpengaruh terhadap istinbath al-hukm dan ada yang tidak berpengaruh. Dua
kriterium ini kemudian di-breakdown lagi dalam jenis qira’ah: sab’ah
dan syadzdzah. Berikut ini adalah bagan ilustrasinya.
Untuk memberikan detail kriterium tersebut, berikut ini
adalah contoh untuk masing-masingnya yang penulis kutip dari buku Anatomi
Al-Qur’an.
1.
Jenis perbedaan Qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath
al-hukm.
- Dalam qira’ah sab’ah, seperti pada surat al-Baqarah ayat 222.
tRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]r& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙÅsyJø9$# ( wur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$#
Ayat
di atas berisi larangan bagi seorang suami untuk melakukan hubungan seksual
dengan istrinya yang sedang haid. Para ulama sepakat mengenai pelarangan
tersebut; juga sepakat bahwa yang diperbolehkan pada masa seperti itu hanyalah istimta’
saja, tanpa bersetubuh. Hal yang diperdebatkan adalah: sampai kapan
larangan tersebut berlaku? Disinilah perbedaan qira’at ikut mempengaruhi penarikan
suatu hukum. Ayat di atas adalah ayat dengan riwayat qira’ah Hafsh dari Ashim. Sementara
itu, ada qira’ah yang dalam membaca kalimat (يطهرن) berbeda dari riwayat Hafsh an Ashim.
(1) Ashim (riwayat Hafsh), Ibnu
Katsir, Nafi’, Abu Amr, Ibnu Amir membaca
|
يَطْهُرْنَ
|
(2) Ashim (riwayat Syu’bah),
Hamzah, al-Kisa’i
|
يَطَّهَّرْنَ
|
Perbedaan
syakl tersebut melahirkan pengertian hukum yang berbeda:
Qira’ah (1)
|
وَلاَ تَقْرَبُوْاهُنَّ حَتَّى
يَطْهُرْنَ
|
Janganlah
kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka suci—berhenti mengeluarkan darah
haid
|
Qira’ah (2)
|
وَلاَ تَقْرَبُوْاهُنَّ حَتَّى
يَطَّهَّرْنَ
|
Janganlah
kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka bersuci—berhenti mengeluarkan
darah haid dan mandi besar
|
Qira’ah
pertama beserta makna penafsiran hukumnya dipegangi oleh Imam Abu Hanifah, batas
larangan menyetubuhi adalah sampai sang istri telah selesai masa haidnya. Sedangkan
Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih condong untuk membatasi larangan bersetubuh
hingga sang istri telah selesai haid dan telah bersuci (mandi besar), seperti
yang terkandung dalam qira’ah yang kedua beserta makna penafsirannya.[10]
- Dalam qira’ah syadzdzah, seperti dalam surat al-Maidah ayat 89
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷r& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsã $yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷F{$# (
ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u (
`yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& 4
y7Ï9ºs äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷r& #sÎ) óOçFøÿn=ym 4
(#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»t#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@
Ayat di atas antara lain
menjelaskan tentang apabila seseorang bersumpah, lalu ia melanggar sumpahnya,
maka ia diwajibkan membayar kafarat (denda). Salah satu alternatif denda
tersebut adalah dengan berpuasa tiga hari. Semua ulama sepakat mengenai hal
ini, tapi berbeda pendapat mengenai teknis pelaksanaannya: apakah tiga hari
puasa tersebut dilakukan berturut-turut atau tidak harus demikian? Imam Syafi’I
dan Imam Malik berpendapat bahwa pelaksanaan puasa selama tiga hari sebagai
kafarat sumpah, tidak disyariatkan untuk dilakukan secara berturut-turut, sehingga
boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah. Ini berdasar pada zhahir
ayat yang berbunyi “فَصيَام ثلاثة أيام”. Sedangkan Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pelaksanaan puasa tiga
hari itu harus berturut-turut. Jika dilakukan secara terpisah, maka kafarat itu
dihukumi tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad didasarkan pada qira’ah
Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud yang membaca “فصيام ثلاثة أيام متتبِعَاتٍ”.
Menurut mereka berdua, meskipun qira’ah tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir,
namun menempati status ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan
sebagai hujjah.[11]
2.
Jenis perbedaan Qira’at yang tidak berpengaruh terhadap istinbath
al-hukm.
a.
Dalam qira’ah sab’ah, seperti dalam surat al-Baqarah
ayat184.
$YB$r& ;Nºyrß÷è¨B 4
`yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 4
n?tãur úïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜã ×ptôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB (
`yJsù tí§qsÜs? #Zöyz uqßgsù ×öyz ¼ã&©! 4
br&ur (#qãBqÝÁs? ×öyz öNà6©9 (
bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ
Ayat di atas menjelaskan soal
orang yang berat melakukan puasa Ramadan, dan tidak mungkin untuk men-qadha’
(seperti orang yang sudah tua renta), maka ia diwajibkan untuk memberi makan (fidyah)
seorang miskin untuk setiap kali tidak berpuasa. Di dalam ayat ini ada
perbedaan qira’ah dalam membaca kalimat “فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ”
seperti yang terbaca dalam qira’ah Imam Ashim, Ibnu Katsir, Abu Amr, HAmzah,
dan Al-Kisa’I; dan cara membaca “فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِيْنَ”
seperti yang terbaca dalam qira’ah Imam Nafi dan Ibnu Amir, yang perbedaan
qira’ah ini tidak menimbulkan perbedaan penarikan produk hukum. Imam Razi
memberikan komentar yang sangat menarik mengenai hal ini:
“Dalam qira’ah “فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِيْنَ”, lafal “مَسكِيْنَ” disebutkan dalam bentuk plural
(jama’), karena yang berkewajiban membayar fidyah juga orangnya banyak “الذين يطيقونه”, jadi, setiap orang dari mereka
wajib memberi makan seorang misikin. Adapun versi qira’ah “فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ” merupakan
penjelasan terhadap lafal “فدية”, sementara itu, lafal “مِسكِين” dibaca singular (mufrad)
karena maknanya adalah, setiap orang dari mereka diwajibkan memberi makan
seorang miskin (untuk setiap hari)”[12]
b.
Dalam qira’ah syadzdzah, seperti dalam surat al-Jumu’ah
ayat 9
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Ayat di atas menjelaskan,
bahwa apabila khatib telah naik mimbar, dan muadzdzin telah mengumandangkan
suara azan pada hari Jum’at, maka kaum muslim wajib memenuhi panggilan tersebut
serta meninggalkan segala aktivitas atau kegiatan lainnya. Perbedaan qira’ah terjadi
dalam membaca kalimat “فَاسْعَوْا” (seperti yang dibaca oleh para
Imam Qira’ah Sab’ah) dan cara membaca dengan “فَامْضُوْا” (seperti yang terbaca
dalam qira’ah syadzdzah oleh Umar bin Khaththab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud). Kedua
qira’ah tersebut sama-sama bermakna bersegera pergi melakukan shalat Jum’ah.[13]
KLASIFIKASI
UMAR BIN SALIM
Demikian model keterpengaruhan yang
berhasil dikelompokkan oleh Hasanuddin. Wilayahnya dibatasi pada ayat-ayat
hukum, dan kaitannya dengan implikasi yang bersifat hukum. Pertanyaannya, bagaimanakah
dengan ayat-ayat yang non-hukum? Atau bagaimanakah keadaannya dengan ayat-ayat
yang dalam kategorisasi di atas tergolong pada perbedaan qira’ah yang tidak mempengaruhi
istinbath al-hukm, adakah klasifikasi lain yang bisa menampungnya? Di
sinilah, penulis merasa sangat butuh kepada model klasifikasi yang digagas oleh
Muhammad bin Umar bin Salim. Beliau menulis sebuah desertasi berjudul Al-Qira’at
wa Atsaruha fi at-Tafsir wa al-Ahkam yang memang berkonsentrasi mengkaji pengaruh
qira’ah terhadap tafsir dan hukum. Yang istimewa dari disertasi ini adalah metode
yang ditempuh oleh Umar bin Salim. Beliau melakukan pembacaan keterpengaruhan
tersebut di dalam al-Qur’an secara keseluruhan (30 Juz). Perbedaan qira’ah yang
digunakan dalam kajian tersebut mencakup Qira’ah Arba’ Asyrah (qiraah
yang berjumlah 14)—kecuali dalam beberapa bab, Umar bin Salim tidak
menganilisis keseluruhan al-Qur’an dan keseluruhan 14 qira’ah. Ini adalah
sesuatu yang jarang dilakukan di dalam tradisi ke-Ulumul Qur’an-an sampai saat
ini. Dari hasil “scanning” itu, setiap keterpengaruhan kemudian
dimasukkan di dalam tiga kategori besar yang kemudian diklasifikasi lagi dalam
sub-sub (fushul) dan al-mabhats tertentu dengan sistem
pengelompokan yang lebih terperinci. Berikut ini adalah bagan ilustratif untuk melihat
kategori-kategori keterpengaruhan di atas dalam disertasi Umar bin Salim.[14]
القراءات التى بينت المعنى أو وسعته أو أزالت الإشكال
(1) القراءات التى بينت المعنى الأية
(2) القراءات التى وسعت المعنى الأية
(3) القراءات التى أزالت الإشكال عن معنى الأية
القراءات المتعلقة بالعموم والإطلاق والإجمال
(1) القراءات المتعلقة
بالعموم
(2) القراءات المتعلقة بالإطلاق
(3) القراءات المتعلقة بالإجمال
القراءات المتعلقة بتنوع الأساليب
(1) فى البناء للفاعل والمفعول والالتفات
(2) فى الاستئناف والمفاعله والتكثير وغيره
Klasifikasi Pengaruh Qira’at Menurut Muhammad bin Umar
bin Salim
Kategorisasi yang Berkaitan dengan
Makna Ayat
Untuk melihat sedikit cuplikan penjelasan
Umar bin Salim, berikut ini adalah gambaran sub-sub yang terkumpul dalam jenis kategorisasi
pada kotak pertama, yakni Qira’at yang dikaitkan dengan variabel makna ayat:
1. Perbedaan Qira’at
yang Berfungsi Memperjelas Makna Ayat.
Teknisnya, ada perbedaan-perbedaan
dalam cara membaca satu kalimat tertentu, akan tetapi semua perbedaan tersebut bermuara
pada pada satu makna yang jami’ tanpa ada kontradiktif, sehingga keadaan
ini berfaedah semakin memperjelas makna ayat (mimma yazidu al-ma’na wudhuhan
wa bayanan). Berdasarkan penyisiran Umar bin Salim terhadap seluruh ayat
al-Qur’an secara tartib mushafi, pola pertama ini ada pada 22 tempat. Salah
satu contohnya adalah yang terjadi pada surat al-Fatihah ayat 4: “مَالِكِ يَوْمِ
الدِّيْنِ”. Ada perbedaan qira’ah dalam ayat ini sebagaimana yang
tertulis dalam tabele berikut.
Imam Ashim, Al-Kisa’i, Ya’qub, dan Khalaf
|
مَالِكِ (dengan alif mad)
|
Sepuluh Imam selainnya
|
مَلِكِ (tanpa alif mad)
|
Makna dua qira’ah tersebut adalah:
Bacaan “مَلِكِ”
|
Terambil dari kata “المُلْكُ”
|
المتصرف بالأمر والنهي فى المأمورين
|
Bacaan “مَالِكِ”
|
Terambil dari kata “المِلْكُ”
|
المتصرف فى الأعيان المملوكة كيف شاء
|
Dua qira’ah di atas
mengandung makna bahwa: Allah-lah yang menjadi satu-satunya pemilik segala
sesuatu di hari akhir nanti, sehingga tiada yang memiliki hak tasharruf dan
hukum apa saja kecuali Allah (مالك يوم الدين); dan Allah satu-satunya
raja yang berkuasa memerintah dan memberikan larangan, sehingga raja-raja yang
pernah ada di dunia menjadi remeh dan hina (ملك يوم الدين).
2. Perbedaan Qira’at
yang Berfungsi Meluaskan Makna Ayat. Jumlah yang termasuk pola yang kedua ini cukup
banyak, yakni 98 tempat. Salah satunya adalah seperti yang ada dalam surat
al-Baqarah ayat 10.
Îû NÎgÎ/qè=è% ÖÚz£D ãNèdy#tsù ª!$# $ZÊttB ( óOßgs9ur ë>#xtã 7OÏ9r& $yJÎ/ (#qçR%x. tbqç/Éõ3t ÇÊÉÈ
Ada
dua qira’ah yang berbeda dalam membaca “يَكْذِبُوْنَ”.
(1)
Qira’ah
kelompok Satu:
Imam
Abu Ja’far, Nafi’, Abu Amr, Ibnu Katsir, Ibnu Amir, dan Ya’qub
|
يُكَذِّبُوْنَ
|
(2)
Qira’ah
kelompok dua:
Imam
Ashim, Hamzah, Kisa’i, dan Hamzah
|
يَكْذِبُوْنَ
|
Pada qira’ah yang
pertama, yang ber-tasydid, maka maknanya adalah: “Mereka (para munafik) berhak
mendapatkan siksa yang pedih karena pendustaan mereka (bi sababi takdzibihim)
atas Rasul saw. Sedangkan qira’ah yang takhfif, maknanya adalah “Mereka
(para munafik) berhak mendapatkan siksa yang pedih karena tampilan luar mereka
yang (seakan-akan) islam dan beriman, tapi kufur dalam hati, maka mereka
menjadi “pembohong” (kaadzibun) terhadap kata-kata mereka sendiri: امَنَّا باِللهِ
وَباِلْيَوْمِ الأخِرِ.
Hasil pembacaan terhadap
perbedaan qira’at di atas adalah: para munafik akan disisksa dengan siksaan
yang pedih karena kebohongan (كَذْبِهِمْ) dan pendustaan
mereka (تَكْذِيْبِهِمْ). Kedua qira’ah di atas berbeda dalam
makna, tapi justru melengkapi keterangan keadaan mereka: kebohongan dan
pendustaan mereka.
Abu Muhammad Makiy bin
Abi Thalib memberikan komentar: “Dua qira’ah yang saling berjalin satu sama
lain di atas kembali pada satu makna; karena siapa yang mendustakan risalah
nabi Muhammad dan kehujjahan nubuwahnya, maka dia adalah pembohong (كاذبون)
yang berbohong kepada Allah, dan siapa yang berbohong kepada Allah dan
menentang apa yang Ia turunkan, dia adalah pendusta (مكذبون) atas apa yang
Allah turunkan.
Ibnu Taymiyah juga ikut
menjelaskan: mereka (para munafik) itu berbohong dengan kata-kata mereka
sendiri: “امنا بالله واليوم الأخر” dan mendustai
Rasulullah di dalam batin mereka, walaupun secara zhahir, mereka
membenarkannya.[15]
3.
Perbedaan Qira’at yang berfungsi menghilangkan kemusykilan
makna ayat (raf’ isykal mutawahhim di ma’na al-ayah). Jumlah pola ini di dalam al-Qur’an
ada pada 6 tempat. Salah satunya adalah apa yang ada di dalam surat Thaha ayat
97.
tA$s% ó=ydø$$sù cÎ*sù y7s9 Îû Ío4quysø9$# br& tAqà)s? w }¨$|¡ÏB (
¨bÎ)ur y7s9 #YÏãöqtB `©9 ¼çmxÿn=øéB (
öÝàR$#ur #n<Î) y7Îg»s9Î) Ï%©!$# |Mù=sß Ïmøn=tã $ZÿÏ.%tæ (
¼çm¨Ys%ÌhysãZ©9 ¢OèO ¼çm¨YxÿÅ¡YuZs9 Îû ÉdOuø9$# $¸ÿó¡nS ÇÒÐÈ
Ada empat cara membaca dalam kalimat
“لنحرقنه”.
(1)
Abu Ja’far
|
لَنَحْرِقَنَّهُ
|
(2)
Dua perawi Abu Ja’far,
|
لَنَحْرُقَنَّهُ
|
(3)
Ibnu Jammaz
|
لَنَحْرِقَنَّهُ
|
(4)
Imam Sepuluh lainnya
|
لَنُحَرِّقَنَّهُ
|
Untuk qira’ah yang (1) dan
(3), maknanya adalah membakar dengan api; dan makna bacaan yang (4) mengandung
makna tikrar, sehingga maknanya adalah dibakar berkali-kali: نحرقه مرة بعد مرة .
Berbeda dengan qira’ah yang ra’-nya didhammah (2), maknanya adalah “Anda
membakar besi, lalu ketika anda mendinginkannya, (besi itu) mlethek dan
rontok” (حرقت الحديد إذا بردته فتحات وتساقط). Maka ayat
tersebut bermakna demikian: لنبردنه ولنحتنه حتا ثم لننسفنه فى اليم نسفا .
Di dalam ayat ini, dengan
qira’ah jumhur (imam qira’ah), ada kemusykilan atau keganjilan: bagaimana sapi (العجل)
yang terbuat dari emas itu dibakar, lalu (dikatakan) ditebar di lautan?! Sesuatu
yang ditebar mestinya adalah berbentuk debu atau seperti pasir, sedangkan
ketika emas yang dibakar, ia meleleh, menjadi benda cair. Mana bisa kita
menyebutnya “ditebar”?!
Untuk menyelesaikan
kemusykilan ini, maka kesemua qira’at di atas dapat digabung untuk mendapatkan
pemahaman bahwa: Musa as. Mengancam sapi emas (Musa Samiri) itu akan dibakar
dengan api yang ultra panas, lalu dibekukan sebegitu rupa sampai mlethek dan
rontok menjadi serpihan kecil, lantas dilenyapkan dalam lautan. Jadi, tidak
hanya dibakar saja, tapi juga ada proses dibekukan dengan tingkat beku yang
ultra ekstrim sampai rontoklah komposisi sapi emas tersebut.
Solusi yang lain datang
dari Abu Hayyan berpendapat bahwa: di dalam mushaf Ubay dan Abdullah bin Mas’ud
tertulis: "لنذبحنه ثم لنحرقنه
ثم لننسفنه". Dengan qira’ah ini, yang memiliki tambahan “لنذبحنه”
maka “العجل” atau sapi emas tadi dijadikan hewan yang berdaging terlebih
dahulu oleh Allah, memiliki darah serta ruh. Nah, dalam keadaan inilah, sapi
tersebut kemudian dibakar dengan api; maka tidak lagi musykil jika debu hasil pembakaran
sapi yang biologis tadi ditebar (sebagai abu atau remah) ke lautan.
Demikianlah pemaparan
mengenai keberadaan dua qira’ah terakhir di atas yang telah berfungsi
menghilangkan kemusykilan dalam makna ayat yang terkandung dalam qira’ah jumhur
(sab’ah?).[16]
Kategori yang Berkaitan dengan
Kaidah Ushul Fiqh: Umum, Ithlaq, Ijmal
Untuk poin ini, penulis masih belum bisa menyajikannya pada
makalah ini.
Kategori yang Berkaitan
dengan Gaya (Uslub) Al-Qur’an
Kategori ini memiliki sub pembahasan yang lebih beragam.
Berikut ini adalah di antaranya:
1.
Qira’at yang berhubungan dengan Bina’ Fa’il atau Bina’
Maf’ul. Umar bin Salim memberikan prolog panjang lebar untuk bagian ini,
yang intinya adalah ketika ada qira’ah al-Qur’an yang mabni maf’ul atau
format kalimat dengan tidak menyebutkan fa’il-nya, itu bukan berarti pelakunya
tidak diketahui, melainkan untuk menekankan pada “ذكر وقوع الفعل
بالمفعول”, tidak masalah apakah pelakunya diketahui atau
tidak, seperti yang terjadi dalam tiga ayat berikut:
Surat Yusuf: 109
|
!$tBur $uZù=yör& `ÏB Î=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR NÍkös9Î) ô`ÏiB È@÷dr& #tà)ø9$# 3
|
Surat an-Nahl: 43
|
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès?
|
Surat al-Anbiya’: 7
|
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% wÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqR öNÍkös9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès?
|
Hafsh membaca membacanya
dengan “نُوْحِي” (mabni fa’il) dalam tiga ayat
di atas, sedangkan sepuluh imam lainnya membaca “يُوْحَى”. Dalam qira’ah
mabni maf’ul ini mengisyaratkan bahwa
yang ingin ditekankan adalah wuqu’ al-fi’l, yakni peristiwa pewahyuannya.[17]
2.
Qira’at yang berhubungan dengan iltifat. Ada banyak
ragam di dalam gaya ini, yang salah satunya adalah pada surat al-Baqarah ayat
74.
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ Ï9ºs }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ã¤fxÿtFt çm÷ZÏB ã»yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷usù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB Ïpuô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès?
Pada kalimat yang dicetak
tebal, Imam Ibnu Katsir membacanya dengan “عما يعملون”, sedangkan Imam
Sepuluh lainnya membaca “عما تعملون”. Ini adalah contoh iltifat dari
khithab menjadi ghaib. Kedua qira’ah ini masih berada dalam satu
makna. Hal yang menarik adalah iltifat yang terjadi dalam qira’ah Ibnu
Katsir. Struktur pembicaraan ayat di atas awalnya adalah mukhathab, akan
tetapi di ungkapan yang terakhir berubah menjadi ghaib (يعملون).
Iltifat ini memiliki sebuah hikmah. Ada semacam nuansa makna, bahwa
Allah benci dengan yang diajak bicara, sehingga mengubahnya menjadi seakan-akan
tidak ada atau ghaib. Karena biasanya, diajaknya seseorang berbicara dan
ber-muwajjahah adalah tanda bahwa kehadirannya diterima oleh yang
mengajak bicara, dan yang mengajak bicara juga suka kepadanya. Nuansa muwajjahah
inilah yang dipotong oleh Allah dalam narasi ayat di atas.[18]
3.
Qira’at yang berhubungan dengan isti’naf. Terkadang, perbedaan
qira’ah terkait dengan masalah penentuan jumlah isti’nafiyah atau ghairu
isti’nafiyyah. Seperti surat Ali Imran ayat 171.
* tbrçųö;tGó¡o 7pyJ÷èÏZÎ/ z`ÏiB «!$# 9@ôÒsùur ¨br&ur ©!$# w ßìÅÒã tô_r& tûüÏZÏB÷sßJø9$#
Al-Kisa’i—dan hanya
ia—membaca “وَإِنَّ اللهَ لاَ يُضِيْعُ أجْرَ المؤمنين”, sementara
Sepuluh Imam yang lain membaca “وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيْعُ أجْرَ
المؤمنين”. Makna qira’ah Kisa’i yang meng-kasrah
hamzah karena menjadikannya jumlah isti’naf, yakni: Allah tidak akan
menelantarkan balasan bagi orang-orang mukmin. Ini adalah kalimat baru (jumlah
isti’naf) sehingga secara I’rab, tidak berhubungan dengan jumlah
kalimat sebelumnya. Sedangkan qira’ah jumhur, yang men-fathah hamzah,
bermakna: يستبشرون بنعمة من الله وفضل و يستبشرون بأن الله لا يضيع أجر المؤمنين .[19]
4.
Qira’at yang berhubungan dengan shighat fi’il “fa>’ala” atau “tafa>’ala”. Seperti surat al-Baqarah: 236
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Imam Hamzah, Al-Kisa’i,
dan Khalaf pada kalimat “تمسوهن” dengan “تماسوهن”yang
ikut wazan mufa’alah, sehingga maknanya adalah “saling menyentuh” antara
suami dan istri, sesuatu yang biasa terjadi ketika bersetubuh. Sementara itu, Sepuluh
Imam yang lain membacanya “تمسواهن” dari mashdar “اللمس”
yang maknanya adalah jima’. Sama juga dengan makna pertama yang juga merujuk
pada makna jima’ atau persetubuhan.[20]
5.
Qira’at yang berhubungan dengan ifadat at-taktsir. Jenis
ini untuk melihat pola perbedaan qira’ah yang kemudian berpengaruh terhadap jumlah
sebuah kejadian terjadi: terjadi hanya sekali “مجرد حدوث الفعل”
atau terjadi berulang kali dan sering “تكراره و كثرة وقوعه”;
seperti pada surat al-Baqarah ayat 245 dan al-Hadid ayat 11.
- `¨B #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouÏW2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)t äÝ+Áö6tur Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè?
- ƨB #s Ï%©!$# ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏè»Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur Öô_r& ÒOÌx.
Beberapa perbedaan qira’ah terjadi pada kalimat “فيضاعفه”.
(1) Imam Nafi’, Abu Amr, Hamzah, Kisa’i, dan Khalaf
|
فَيُضاعِفُهُ
|
Dijadikan
jumlah isti’naf
|
(2)
Imam Ibnu Katsir dan Abu Ja’far
|
فَيُضَعِّفُهُ
|
di-taf’il-kan,
dan isti’naf
|
(3)
Imam Ibnu Amir dan Ya’qub
|
فَيُضَعِّفَهُ
|
di-taf’il-kan
saja
|
(4)
Imam Ashim
|
فَيُضاعِفَهُ
|
Untuk bacaan qira’ah
nomor (2) atau (3) memiliki makna bahwa pemberian tasydid itu bermakna taktsir
dan tikrar. Sehingga maknanya adalah “dilipat-lipatkan dalam jumlah
yang banyak”.
6.
Qira’at yang berhubungan dengan Kalam Khabar dan Kalam
Insya’, seperti pada surat al-Baqarah ayat 119.
!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #Zϱo0 #\ÉtRur (
wur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ
Imam Nafi’ dan Ya’qub
membaca kalimat “ولا تسأل” dengan “وَلاَ تَسأَلْ”
menggunakan uslub an-nahy dalam bentuk kalam insya’iy; sedangkan
Sepuluh Imam yang lain membaca “وَلاَ تُسْأَلُ” dalam bentuk kalam khabariyah.[21]
7.
Qira’at yang berhubungan dengan keragaman lahjah (ta’addud
al-lughah). Jenis perbedaan ini adalah bentuk keringanan dan agar menjadi
mudah dalam membaca al-Qur’an bagi suku-suku Arab saat al-Qur’an diturunkan. Bentuk
jenis ini bisa dilihat contohnya kalimat “السلم” dalam tiga
ayat berikut: al-Baqarah: 208, al-Anfal: 61, Muhammad: 35.
·
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$2 wur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B
·
bÎ)ur (#qßsuZy_ ÄNù=¡¡=Ï9 ôxuZô_$$sù $olm; ö@©.uqs?ur n?tã «!$# 4
¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# ãLìÎ=yèø9$#
·
xsù (#qãZÎgs? (#þqããôs?ur n<Î) ÉOù=¡¡9$# ÞOçFRr&ur tböqn=ôãF{$# ª!$#ur öNä3yètB `s9ur óOä.uÏIt öNä3n=»uHùår&
Imam
Abu Ja’far, Nafi’, Ibnu Katsir, Al-Kisa’i
|
Membacanya
dengan man-fathah-kan sin di semua ayat tersebut
|
السَّلْمِ, للسَّلْمِ
|
Imam
Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim riwayat Hafsh, dan Ya’qub
|
Meng-kasrah
huruf sin dalam ayat pertama
|
فى
السِّلْمِ
|
Men-fathah
huruf sin dalam ayat kedua
|
للسّلْمِ
|
|
Pada
tempat lainnya, huruf sin di-kasrah-kan
|
||
Imam
Ashim riwayat Abu Bakr
|
Meng-kasrah
huruf sin pada ayat kedua dan ketiga
|
للسِّلْمِ, السِّلْمِ
|
Perbedaan tersebut adalah dua bahasa (lahjah) dengan satu
makna, yakni kedamaian (الصلح) atau keselamatan (الإسلام)
PENUTUP
“Qira’ah adalah sebuah kekayaan
intelektual kitab suci al-Qur’an!” pernyataan Profesor Nasarudin Umar ini[22] paling
tidak telah terbuktikan melalui pembahasan sederhana Atsar al-Qira’at fi
at-Tafsir dalam makalah ini. Upaya selanjutnya adalah bagaimana usaha
setiap muslim untuk melakukan konservasi keragaman intelektual di dalam ilmu
qira’ah ini agar tidak punah, karena faktanya, tersisa hanya tiga qira’ah saja
yang masih aktif digunakan oleh umat Islam—seperti yang tertera dalam tabel di
halaman 2 dan 3 di atas. Bagaimana dengan nasib kelanjutan qira’ah selainnya?! How
to make them survive?!
[1] Lihat Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at di Nusantara,
(Jakarta Pusat: Pustaka STAINU, 2008), hlm. 5
[3] Pembuatan gambar pohon periwayatan qira’ah didasarkan
pada buku yang ditulis oleh Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan
Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 146-149.
[4] Untuk keterangan lebih detail silahkan merujuk pada
tulisan Sya’ban Muhammad Ismail, Mengenal Qira’at Al-Qur’an, (Semarang:
Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 87-94. Lihat juga Labib as-Said, Jam’
as-Shautiy al-Awwal li al-Qur’an al-Karim aw al-Mushaf al-Murattal Bawa’itsuhu
wa Mukhaththatuhu, (Kairo: Dar al-Katib al-Arabiy li at-Thaba’ah wa
an-Nasyr, tt), hlm.159-280
[5] Untuk lebih detail, silahkan merujuk pada buku
karangan Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur’an dan Qiroat, (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 139-174.
[6] Lihat Ahmad Fathoni, “Mengenal Rasm Utsmani” dalam
buku Muhaimin Zen (ed.), Bunga Rampai Mutiara Al-Qur’an Pembinaan Qari’
Qari’ah dan Hafizh Hafizhah, (Jakarta Selatan: PP. Jam’iyyatul Qurra’ Wal
Huffazh, 2006), hlm. 159-186.
[7] Sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Khatib, Al-Furqan
Jam’ al-Qur’an wa Tadwinuhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hlm.
125-129. Lihat juga dalam Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993) hlm. 108-111.
[8] Beberapa
pengkaji tergelitik untuk bertanya mengenai jumlah tujuh di dalam qira’ah
jumhur. Coriousity ini bisa dilihat dalam artikel Frederik Leemhuis,
“Readings of the Qur’an” dalam Jane Dammen McAuliffe, Encyclopedia of The
Qur’an IV, (Leiden: Brill, 2004), hlm. 353-362; atau dalam buku Abu
Muhammad Makiy bin Abi Thalib al-Qisiy, Kitab al-Ibanah an Ma’ani al-Qira’at,
(Damaskus: Dar al-Ma’mn li at-Turats, tt), bab “Illat Tasbi’ al-Qurra’” hlm.
66-67.
[9] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat dan
Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 160-161.
[10] Lihat Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan
Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 202-205
[11] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 223-225.
[12] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat
dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 220-222.
[13] Ibid, hlm. 239-241.
[14] Lihat
desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir wa
al-Ahkam” (Saudi Arabia: Jami’ah Umm al-Qura, 1412-1413 H). Tidak diterbitkan
(?). Diunduh dari situs http://ia600302.us.
archive.org/7/items/alkeraat/alkeraat.pdf
[15] Lihat
desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm.
374.
[16] Lihat
desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm.
580.
[17] Lihat
desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm.
730-731.
[18] Ibid,
hlm. 750.
[19] Ibid,
hlm. 784.
[20] Ibid, hlm.
790.
[21] Ibid,
hlm, 803.
[22] Lihat kata
pengantar Profesor Nasarudin Umar dalam buku Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at
al-Qur’an di Nusantara, (Jakarta: PustakaSTAINU, 2008)
Referensi bukunya dapat dari mana aja yah?
BalasHapus