Isi Blog ini

terdiri dari banyak tulisan; antara tulisan 'ilmiah', artikel buletin, opini, puisi, komentar film (biasa diberikan kode "RF"), lirik lagu, beberapa kutipan, atau apapun saja yang dinilai baik untuk dibagikan sebagai pengalaman bersama..

Selamat menikmati.

Tamu

Rekanan Situs

Rekanan Situs
Klik Gambar di Atas untuk berkunjung ke Pasar Grosir Tas; Drawstring, Tote, Sling, etc. Tas kanvas, tas blacu, tas furing, dll.
Ayiko Musashi. Diberdayakan oleh Blogger.

Kunjungi Juga

Kunjungi Juga

Welcome to

Welcome to

Terjemah

Artikel Pop

Menuju Ke

Kamis, 31 Mei 2012

Ilmu Qira'at & Tafsir





MUKADDIMAH

Proses beragama kebanyakan muslim sangat erat dengan madzhab-madzhab. Dalam berfikih, mayoritas muslim Indonesia mengikatkan diri pada Madzhab Syafi’i, satu di antara tiga madzhab fikih populer lainnya seperti Madzhab Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Dalam berakidah, kita mengenal Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, Jabariyah, atau Qadariyah. Praktik tasawuf bercabang madzhab antara Qadiriyah, Maulawiyah, Tijaniyah, Syadziliyah, dan banyak lagi. Demikian pula kenyataannya di dalam cara kita membaca (Qira’at) al-Qur’an, ada Qira’at Imam Ashim, Nafi’, Al-Kisa’i, Ibnu Amir, Abu Amr, Hamzah, atau Ibnu Katsir. Jika madzhab-madzhab sebelumnya adalah hasil karya pikir ijtihad manusia, maka pola Madzhab yang terakhir di atas adalah perkecualiannya. Ia menjadi ragam Madzhab yang kemunculannya bersumber langsung dari wahyu.[1] Pada poin inilah makalah ini mencoba membahasnya, dengan khusus mengaitkannya dengan kegiatan tafsir.

Imam Qira’at: Biodata dan Sebaran Qira’ahnya
Dalam kajian Ulumul Qur’an, keragaman madzhab qira’at atau cara membaca al-Qur’an ini dimasukkan dalam folder pembahasan bernama Ilmu Qira’ah. Dari sinilah kemudian muncul sub-folder kajian bernama Studi Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah, Qira’ah Arba’ Asyrah. Penambahan bilangan di setiap nama Qira’ah memang menunjukkan jumlah cara membaca al-Qur’an, yang di setiap cara bacaan akan disandarkan pada seorang Imam Qira’ah. Sebagai contoh, mayoritas cara membaca yang dipraktikkan dan diajarkan di Indonesia adalah Qira’ah dari Imam Ashim, satu imam qira’ah di antara tujuh, sepuluh, atau empat belas imam lainnya.

Penisbatan sebuah cara membaca al-Qur’an pada seorang Imam tidak berarti cara membaca [seterusnya akan disebut sebagai qira’ah] tersebut adalah hasil karyanya. Penyandaran tersebut lebih hanya sekedar penisbatan terhadap pakar yang menekuni satu qira’ah tertentu dari Nabi. Hal ini persis seperti ketika menyebut “Hadis Bukhari”, atau “Hadis Muslim”. Penyandaran tersebut tidak berarti Bukhari atau Muslim yang menciptakan hadis tersebut, melainkan hanya sekedar hadis Nabi yang masuk di dalam kategori hadis terseleksi versi Imam Bukhari atau Muslim.

Setiap Imam Qira’ah memiliki perawi—serta thariq yang melanjutkan qira’ah dalam thariqah-nya—dan sebaran wilayah dimana qira’ahnya digunakan. Berikut ini adalah daftar para Imam Qira’ah, beserta perawi, dan keterangan lainnya yang penulis ambil dari situs wikipedia.com.[2] Akan ada tiga tabel; tabel pertama adalah tujuh qira’ah yang sudah disepakati kesahihan dan kemutawatirannya, kemudian tabel berisi tiga qira’ah yang kesahihan dan kemutawatirannya masih diperdebatkan, dan terakhir, tabel dengan empat qira’ah yang dinilai syadz. Halaman berikutnya akan memberikan pemetaaan pohon periwayatan setiap qira’ah yang kesemuanya bermula dari Nabi Muhammad saw.[3]




THE SEVEN READERS AND THEIR TRANSMITTERS
Qari (Reader)
Rawi (Transmitters)
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Present region of use
Nafi‘ al-Madani
70 AH
169 AH-785 CE
Ibn ‘Abd ar-Rahman Ibn Abi Na‘im, Abu Ruwaym al-Laythi
His origin is from Isfahan
Qalun
120 AH
220 AH
Abu Musa, ‘Isa Ibn Mina al-Zarqi
Client of Bani Zuhrah
Libya, Tunisia and parts of Qatar[9]
Warsh
110 AH
197 AH
‘Uthman Ibn Sa‘id al-Qutbi
Egyptian; client of Quraysh
Algeria, Morocco, parts of Tunisia , West Africa and Sudan[9] and parts of Libya.
Ibn Kathir al-Makki
45 AH
120 AH-737 CE
‘Abdullah, Abu Ma‘bad al-‘Attar al-Dari
Persian
Al-Buzzi
170 AH
250 AH
Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah, Abu al-Hasan al-Buzzi
Persian

Qunbul
195 AH
291 AH
Muhammad Ibn ‘Abd ar-Rahman, al-Makhzumi, Abu ‘Amr
Meccan and Makhzumi (by loyalty)

68 AH
154 AH
Zuban Ibn al-‘Ala' at-Tamimi al-Mazini, al-Basri

Hafs al-Duri
?
246 AH
Abu ‘Amr, Hafs Ibn ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Baghdadi
Grammarian. Blind.
Parts of Sudan and West Africa[9].
Al-Susi
?
261 AH
Abu Shu‘ayb, Salih Ibn Ziyad Ibn ‘Abdillah Ibn Isma‘il Ibn al-Jarud ar-Riqqi


Ibn ‘Amir ad-Dimashqi
8 AH
118 AH
‘Abdullah Ibn ‘Amir Ibn Yazid Ibn Tamim Ibn Rabi‘ah al-Yahsibi

Hisham
153 AH
245 AH
Abu al-Walid, Hisham ibn ‘Ammar Ibn Nusayr Ibn Maysarah al-Salami al-Dimashqi

Parts of Yemen[9].
Ibn Dhakwan
173 AH
242 AH
Abu ‘Amr, ‘Abdullah Ibn Ahmad al-Qurayshi al-Dimashqi


‘Aasim al-Kufi
? AH
127 AH-774 CE
Abu Bakr, ‘Aasim Ibn Abi al-Najud al-'Asadi
'Asadi (by loyalty)
Shu‘bah
95 AH
193 AH
Abu Bakr, Shu‘bah Ibn ‘Ayyash Ibn Salim al-Kufi an-Nahshali
Nahshali (by loyalty)

Hafs
90 AH
180 AH
Abu ‘Amr, Hafs Ibn Sulayman Ibn al-Mughirah Ibn Abi Dawud al-Asadi al-Kufi

Muslim world in general[9].
Hamzah al-Kufi
80 AH
156 AH-772 CE
Abu ‘Imarah, Hamzah Ibn Habib al-Zayyat al-Taymi
Taymi (by loyalty)
Khalaf
150 AH
229 AH
Abu Muhammad al-Asadi al-Bazzar al-Baghdadi


Khallad
?
220 AH
Abu ‘Isa, Khallad Ibn Khalid al-Baghdadi


Al-Kisa'i al-Kufi
119 AH
189 AH-804 CE
Abu al-Hasan, ‘Ali Ibn Hamzah al-Asadi
Asadi (by loyalty). Persian.
Al-Layth
? AH
240 AH
Abu al-Harith, al-Layth Ibn Khalid al-Baghdadi


Hafs al-Duri
?
246 AH
Abu ‘Amr, Hafs Ibn ‘Umar Ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Baghdadi
Transmitter of Abu 'Amr (See Above)


THE THREE NONCONSENSUAL READERS AND THEIR TRANSMITTERS
Qari (Reader)
Rawi (Transmitters)
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Abu Ja‘far
?
130 AH
Yazid Ibn al-Qa‘qa‘ al-Makhzumi al-Madani

‘Isa Ibn Wirdan
?
160 AH
Abu al-Harith al-Madani
Madani by style
Ibn Jummaz
?
170 AH
Abu ar-Rabi‘, Sulayman Ibn Muslim Ibn Jummaz al-Madani

Ya‘qub al-Yamani
117 AH
205 AH
Abu Muhammad, Ya‘qub Ibn Ishaq Ibn Zayd Ibn ‘Abdillah Ibn Abi Ishaq al-Hadrami al-Basri
Client of the Hadramis
Ruways
?
238 AH
Abu ‘Abdillah, Muhammad Ibn al-Mutawakkil al-Basri

Rawh
?
234 AH
Abu al-Hasan, Rawh Ibn ‘Abd al-Mu'min, al-Basri al-Hudhali
Hudhali by loyalty
Khalaf
150 AH
229 AH
Abu Muhammad al-Asadi al-Bazzar al-Baghdadi
Transmitter of Hamza (see above)
Ishaq
?
286 AH
Abu Ya‘qub, Ishaq Ibn Ibrahim Ibn ‘Uthman al-Maruzi al-Baghdadi

Idris
189 AH
292 AH
Abu al-Hasan, Idris Ibn ‘Abd al-Karim al-Haddad al-Baghdadi


THE FOUR ABERRANT READERS AND THEIR TRANSMITTERS
Qari (Reader)
Rawi (Transmitters)
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Name
Born
Died
Full name
Additional info
Muhammad ibn Muhaisin/ محمد بن مُحَيصن




Albuzzi/ البزي




Abu al-Hasan ibn Shannabudh




Yahaya al-yazidi/ يحيى اليزيدي




Sulaiman ibn al-Hakam




Ahmad ibn Farah/ أحمد بن فرح








Shujac al-Balkhi




Abu Amr Hafs Al-Duri




Sulaiman ibn Mahraan




Al-Hasan al-MuTawwaci






Klasifikasi Qira’ah

Setiap qira’ah akan diuji berdasarkan standar tiga hal berikut.

  1. Sanadnya Mutawatir
  2. Sesuai dengan tulisan pada salah satu Mushaf Usmani
  3. Sesuai dengan salah stau kaidah tata bahasa Arab[4]

Anatomi Sanad Qira’ah dan Beberapa Istilah

Setiap Qira’ah ditransfer antar generasi dalam sistem riwayat selayaknya hadis. Dalam satu qira’ah, ada seorang Imam, kemudian disusul di bawahnya (muridnya Imam), yang disebut Rawi, dan murid dari seorang Rawi disebut Thariq. Maka sebagai contoh, suatu bacaan al-Qur’an akan diidentifikasi sebagai: “Ini qira’ah Ashim, yang diriwayatkan oleh Hafsh, melalui thariqah Ubaid”—seperti yang terilustrasikan dalam bagan di bawah. Yang pertama qira’ah, kemudian riwayah, dan selanjutnya thariqah.  Setiap Rawi nantinya memiliki Manhaj atau semacam tata cara baca kata-kata tertentu dalam al-Qur’an yang umumnya bersifat shautiyyah dalam satu qira’ah.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Skema yang demikianlah yang juga berjalan dalam sistem sanad qira’ah yang lainnya. Catatan yang menarik yang penulis temukan adalah, setiap Imam Qira’ah itu juga dikenal sebagai Ulama Perawi Rasm Usmani, atau pakar di dalam hal Rasm Usmani. Ini merujuk pendapat yang mengatakan bahwa rasm al-Qur’an itu bersifat tauqifiy, sehingga perlu ada ketersambungan dalam cara menulis al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, yang dijaga dalam sistem sanad pula.[6]

 

Sistem Sanad Qira’ah Hamzah

 

 

 

 

 

 

Sistem Sanad Qira’ah Abu Amr

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Sistem Sanad Qira’ah Ibnu Katsir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sistem Sanad Qira’ah Nafi’

 















Sistem Sanad Qira’ah Ibnu Amir















Sistem Sanad Qira’ah Al-Kisa’i
















Kaitan Qira’at dan Rasm Usmani

Ada kaitan yang sangat erat di antara keduanya. Yang paling menonjol adalah bagaimana penerimaan sebuah bacaan atau qira’at bisa diterima sebagai shahih jika—salah satunya—memenuhi syarat “kesesuaian dengan rasm usmani”. Terkait dengan kaitan qira’at dan rasm, penulis merasa akan menarik jika mencantumkan penafsiran Ibnu Qutaibah mengenai “Sab’atu Ahruf” yang dalam bagian ini penulis gunakan sebagai salah satu alternatif dalam memolakan hubungan antara qira’at dengan mushaf.

Perbedaan qira’at bisa berlangsung dalam 7 pola:[7]
1.       Perbedaan dalam i'rab kalimat, dalam harokat, tetapi tidak membuat bentuk penulisan dan maknanya berubah.

هؤُلاَءِ بَنَاتِى هُنَّ أَطْهَرُ لَكُم
Qira’at lain: أَطْهَرَ

2.       I’rab dan harokatnya berbeda, maknanya berubah, tetapi bentuk tulisan tidak berubah.

اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ
Qira’at lain: تَلِقُوْنَهُ

3.       Huruf dalam satu kalimatnya berubah, tapi i’rabnya masih tetap, maknanya berubah, tapi bentuk tulisan masih tetap.

حَتَّى اِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ
Qira’at lain: فُزِّغَ

4.       Kalimatnya berbeda, bentuk tulisan berubah, tapi maknanya tidak.

كاَلعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Qira’at lain: كاَلصَّوْفِ

5.       Perbedaan yang dalam hal kalimat, bentuk tulisan, dan maknanya berubah semua.

طَلْحٍ مَنْضُوْدٍ
Qira’at lain: طَلْعٍٍ

6.       Perbedaan dalam taqdim dan ta’khir.

وَ جَائتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ باِلحَقِّ
Qira’at lain: وَ جَائتْ سَكْرَةُ اِلحَقّ باِلمَوْتِِ

7.       Perbedaan yang muncul karena ziyadah dan nuqshan.

وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيْهِمْ
Qira’at lain: وَمَا عَمِلَتْ أَيْدِيْهِمْ
Pola Perbedaan Qira’ah di dalam Al-Qur’an
Hasanuddin AF menjelaskan di dalam buku Anatomi al-Qur’an, bahwa perbedaan qiraat dalam qiraah sab’ah[8] itu terjadi dalam 107 surat dari 114 urat al-Qur’an. Itupun hanya menyangkut lafal-lafal tertentu, dari ayat-ayat tertentu. Sementara dalam 7 surat lainnya tidak terdapat perbedaan qira’ah, yaitu dalam surat al-Adiyat, at-Tin, al-Insyirah, al-Kautsar, al-Ma’un, al-Fiil, dan an-Nashr.[9]

Sedangkan untuk mengetahui pola perbedaan qira’ah, berikut ini adalah tabulasi untuk mengilustrasikannya. Tabulasi ini masih berdasar pada penjelasan Hasanuddin AF. Wajah Qira’at: dicetak dalam format bold, dan Ayat yang dicantumkan paling atas selalu Bacaan Hafsh an Ashim (bacaan yang lazim digunakan di Indonesia)

Tipe 1: Satu ayat, 6 Imam memiliki versi yang sama, dan satu Imam memiliki versi lain

Al-An’am ayat 137
šÏ9ºxŸ2ur šú¨ïy 9ŽÏWx6Ï9 šÆÏiB šúüÅ2ÎŽô³ßJø9$# Ÿ@÷Fs% öNÏdÏ»s9÷rr& öNèdät!$Ÿ2tä© ö
Nafi’
Ashim
Abu Amr
Ibnu Katsir
Hamzah
Al-Kisa’i
Ibnu Amir
---
---
---
---
---
---
Beda
Bacaan Ibnu Amir
وَ كَذَالِكَ زُيِّنَ لِكَثِيْرٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ قَتْلُ أَوْلاَدَهُمْ شُرَكاَئِهِمْ

Tipe 2: Satu ayat, 5 Imam memiliki versi yang sama, dan 2 Imam memiliki qira’ah yang sama dalam versi lain

Al-An’am ayat 140
ôs% uŽÅ£yz tûïÏ%©!$# (#þqè=tGs% öNèdy»s9÷rr&
Nafi’
Ashim
Abu Amr
Ibnu Katsir
Hamzah
Al-Kisa’i
Ibnu Amir
---
---
---
Beda
---
---
Beda
Bacaan Ibnu Katsir dan
Ibnu Amir
قَدْ خَسِرَ الَّذِيْنَ قَتَّلُوْا اَوْلاَدَهُمْ

Tipe 3: Satu ayat, 4 Imam memiliki versi yang sama, dan 3 Imam memiliki qira’ah yang sama dalam versi lain

Al-An’am ayat 141
ô(#qè=à2 `ÏB ÿ¾Ín̍yJrO !#sŒÎ) tyJøOr& (#qè?#uäur ¼çm¤)ym uQöqtƒ ¾ÍnÏŠ$|Áym (
Nafi’
Ashim
Abu Amr
Ibnu Katsir
Hamzah
Al-Kisa’i
Ibnu Amir
Beda
---
---
Beda
Beda
Beda
---
Bacaan Nafi’, Ibnu Katsir, Hamzah, dan Al-Kisa’i
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَاتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حِصَادِهِ



Tipe 4:  Satu ayat, 5 Imam memiliki versi yang sama, dan 2 Imam memiliki qira’ah yang berbeda dalam versi lain juga

Al-An’am ayat 125
`tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߨè¢Átƒ Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4
Nafi’
Ashim ( Hafsh)
Abu Amr
Ibnu Katsir
Hamzah
Al-Kisa’i
Ibnu Amir
Beda 1

Beda 1
Beda 2
Beda 1
Beda 1
Beda 1
Bacaan Nafi’, Abu Amr, Hamzah, dan Al-Kisa’i
`tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ߨè¢Átƒ Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 4
Bacaan Ibnu Katsir
`tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ßيَصْعَدُ  Îû Ïä!$yJ¡¡9$# 
Bacaan Ashim Riwayat Syu’bah
`tBur ÷ŠÌãƒ br& ¼ã&©#ÅÒムö@yèøgs ¼çnuô|¹ $¸)Íh|Ê %[`tym $yJ¯Rr'Ÿ2 ßيَصّعَدُ  Îû Ïä!$yJ¡¡9$#


Tipe 5:  Satu ayat, 4 Imam memiliki versi yang sama, dan 3 Imam memiliki qira’ah yang berbeda dalam versi lain pula

Al-An’am ayat 139
وَاِنْ يَكُنْ مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ  
Nafi’
Ashim
Abu Amr
Ibnu Katsir
Hamzah
Al-Kisa’i
Ibnu Amir
Sama

Sama

Sama
Sama

Bacaan Nafi’, Abu Amr, Hamzah, dan al-Kisa’i
وَاِنْ يَكُنْ مَيْتَةًً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
Bacaan Ibnu Katsir
وَاِنْ يَكُنْ مَيْتَةٌ فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
Ibnu Amir
وَاِنْ تَكُنْ مَيْتَةٌ فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
Ashim riwayat Hafsh
وَاِنْ تَكُنْ مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ
Ashim riwayat Syu’bah
وَاِنْ يَكُنْ مَيْتَةً فَهُمْ فِيْهِ شُرَكاَءُ




PENGARUH PERBEDAAN QIRA’AH DALAM PENAFSIRAN


KLASIFIKASI HASANUDDIN
Penulis dalam makalah ini akan mencoba menyajikan secara sepintas mengenai pengaruh perbedaan qira’at di dalam penafsiran. Teknisnya, ada dua model yang penulis gunakan. Yang pertama adalah model keterpengaruhan yang ditulis oleh Hasanuddin AF, dan yang kedua, model keterpengaruhan serta klasifikasinya yang ditulis oleh Muhammad bin Umar bin Salim. Untuk model yang pertama, lebih menyoroti pengaruh qira’at yang dihubungkan dengan variabel tafsir yang khusus untuk memproduksi hukum (istinbath al-hukm), sehingga kriteriumnya sederhana, yakni ada perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath al-hukm dan ada yang tidak berpengaruh. Dua kriterium ini kemudian di-breakdown lagi dalam jenis qira’ah: sab’ah dan syadzdzah. Berikut ini adalah bagan ilustrasinya.



Untuk memberikan detail kriterium tersebut, berikut ini adalah contoh untuk masing-masingnya yang penulis kutip dari buku Anatomi Al-Qur’an.
1.       Jenis perbedaan Qira’at yang berpengaruh terhadap istinbath al-hukm.
  1. Dalam qira’ah sab’ah, seperti pada surat al-Baqarah ayat 222.
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$#

Ayat di atas berisi larangan bagi seorang suami untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang sedang haid. Para ulama sepakat mengenai pelarangan tersebut; juga sepakat bahwa yang diperbolehkan pada masa seperti itu hanyalah istimta’ saja, tanpa bersetubuh. Hal yang diperdebatkan adalah: sampai kapan larangan tersebut berlaku? Disinilah perbedaan qira’at ikut mempengaruhi penarikan suatu hukum. Ayat di atas adalah ayat dengan riwayat qira’ah Hafsh dari Ashim. Sementara itu, ada qira’ah yang dalam membaca kalimat (يطهرن) berbeda dari riwayat Hafsh an Ashim.
(1) Ashim (riwayat Hafsh), Ibnu Katsir, Nafi’, Abu Amr, Ibnu Amir membaca
يَطْهُرْنَ
(2) Ashim (riwayat Syu’bah), Hamzah, al-Kisa’i
يَطَّهَّرْنَ

Perbedaan syakl tersebut melahirkan pengertian hukum yang berbeda:

Qira’ah (1)
وَلاَ تَقْرَبُوْاهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
Janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka suci—berhenti mengeluarkan darah haid
Qira’ah (2)
وَلاَ تَقْرَبُوْاهُنَّ حَتَّى يَطَّهَّرْنَ
Janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka bersuci—berhenti mengeluarkan darah haid dan mandi besar

Qira’ah pertama beserta makna penafsiran hukumnya dipegangi oleh Imam Abu Hanifah, batas larangan menyetubuhi adalah sampai sang istri telah selesai masa haidnya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih condong untuk membatasi larangan bersetubuh hingga sang istri telah selesai haid dan telah bersuci (mandi besar), seperti yang terkandung dalam qira’ah yang kedua beserta makna penafsirannya.[10]
  1. Dalam qira’ah syadzdzah, seperti dalam surat al-Maidah ayat 89
Ÿw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@

Ayat di atas antara lain menjelaskan tentang apabila seseorang bersumpah, lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia diwajibkan membayar kafarat (denda). Salah satu alternatif denda tersebut adalah dengan berpuasa tiga hari. Semua ulama sepakat mengenai hal ini, tapi berbeda pendapat mengenai teknis pelaksanaannya: apakah tiga hari puasa tersebut dilakukan berturut-turut atau tidak harus demikian? Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa pelaksanaan puasa selama tiga hari sebagai kafarat sumpah, tidak disyariatkan untuk dilakukan secara berturut-turut, sehingga boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah. Ini berdasar pada zhahir ayat yang berbunyi “فَصيَام ثلاثة أيام”. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pelaksanaan puasa tiga hari itu harus berturut-turut. Jika dilakukan secara terpisah, maka kafarat itu dihukumi tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad didasarkan pada qira’ah Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud yang membaca “فصيام ثلاثة أيام متتبِعَاتٍ”. Menurut mereka berdua, meskipun qira’ah tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, namun menempati status ahad, bahkan masyhur, yang dapat dijadikan sebagai hujjah.[11]

2.       Jenis perbedaan Qira’at yang tidak berpengaruh terhadap istinbath al-hukm.
a.       Dalam qira’ah sab’ah, seperti dalam surat al-Baqarah ayat184.
$YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4 n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜム×ptƒôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #ZŽöyz uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ׎öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ

Ayat di atas menjelaskan soal orang yang berat melakukan puasa Ramadan, dan tidak mungkin untuk men-qadha’ (seperti orang yang sudah tua renta), maka ia diwajibkan untuk memberi makan (fidyah) seorang miskin untuk setiap kali tidak berpuasa. Di dalam ayat ini ada perbedaan qira’ah dalam membaca kalimat “فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ” seperti yang terbaca dalam qira’ah Imam Ashim, Ibnu Katsir, Abu Amr, HAmzah, dan Al-Kisa’I; dan cara membaca “فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِيْنَ” seperti yang terbaca dalam qira’ah Imam Nafi dan Ibnu Amir, yang perbedaan qira’ah ini tidak menimbulkan perbedaan penarikan produk hukum. Imam Razi memberikan komentar yang sangat menarik mengenai hal ini:

“Dalam qira’ah “فِدْيَةُ طَعَامِ مَسَاكِيْنَ”, lafal “مَسكِيْنَ” disebutkan dalam bentuk plural (jama’), karena yang berkewajiban membayar fidyah juga orangnya banyak “الذين يطيقونه”, jadi, setiap orang dari mereka wajib memberi makan seorang misikin. Adapun versi qira’ah “فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ” merupakan penjelasan terhadap lafal “فدية”, sementara itu, lafal “مِسكِين” dibaca singular (mufrad) karena maknanya adalah, setiap orang dari mereka diwajibkan memberi makan seorang miskin (untuk setiap hari)”[12]   

b.       Dalam qira’ah syadzdzah, seperti dalam surat al-Jumu’ah ayat 9
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ

Ayat di atas menjelaskan, bahwa apabila khatib telah naik mimbar, dan muadzdzin telah mengumandangkan suara azan pada hari Jum’at, maka kaum muslim wajib memenuhi panggilan tersebut serta meninggalkan segala aktivitas atau kegiatan lainnya. Perbedaan qira’ah terjadi dalam membaca kalimat “فَاسْعَوْا” (seperti yang dibaca oleh para Imam Qira’ah Sab’ah) dan cara membaca dengan “فَامْضُوْا” (seperti yang terbaca dalam qira’ah syadzdzah oleh Umar bin Khaththab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud). Kedua qira’ah tersebut sama-sama bermakna bersegera pergi melakukan shalat Jum’ah.[13]

KLASIFIKASI UMAR BIN SALIM
Demikian model keterpengaruhan yang berhasil dikelompokkan oleh Hasanuddin. Wilayahnya dibatasi pada ayat-ayat hukum, dan kaitannya dengan implikasi yang bersifat hukum. Pertanyaannya, bagaimanakah dengan ayat-ayat yang non-hukum? Atau bagaimanakah keadaannya dengan ayat-ayat yang dalam kategorisasi di atas tergolong pada perbedaan qira’ah yang tidak mempengaruhi istinbath al-hukm, adakah klasifikasi lain yang bisa menampungnya? Di sinilah, penulis merasa sangat butuh kepada model klasifikasi yang digagas oleh Muhammad bin Umar bin Salim. Beliau menulis sebuah desertasi berjudul Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir wa al-Ahkam yang memang berkonsentrasi mengkaji pengaruh qira’ah terhadap tafsir dan hukum. Yang istimewa dari disertasi ini adalah metode yang ditempuh oleh Umar bin Salim. Beliau melakukan pembacaan keterpengaruhan tersebut di dalam al-Qur’an secara keseluruhan (30 Juz). Perbedaan qira’ah yang digunakan dalam kajian tersebut mencakup Qira’ah Arba’ Asyrah (qiraah yang berjumlah 14)—kecuali dalam beberapa bab, Umar bin Salim tidak menganilisis keseluruhan al-Qur’an dan keseluruhan 14 qira’ah. Ini adalah sesuatu yang jarang dilakukan di dalam tradisi ke-Ulumul Qur’an-an sampai saat ini. Dari hasil “scanning itu, setiap keterpengaruhan kemudian dimasukkan di dalam tiga kategori besar yang kemudian diklasifikasi lagi dalam sub-sub (fushul) dan al-mabhats tertentu dengan sistem pengelompokan yang lebih terperinci. Berikut ini adalah bagan ilustratif untuk melihat kategori-kategori keterpengaruhan di atas dalam disertasi Umar bin Salim.[14]

القراءات التى بينت المعنى أو وسعته أو أزالت الإشكال

(1) القراءات التى بينت المعنى الأية
(2) القراءات التى وسعت المعنى الأية
(3) القراءات التى أزالت الإشكال عن معنى الأية


القراءات المتعلقة بالعموم والإطلاق والإجمال

 (1) القراءات المتعلقة بالعموم
(2) القراءات المتعلقة بالإطلاق
(3) القراءات المتعلقة بالإجمال


القراءات المتعلقة بتنوع الأساليب

(1) فى البناء للفاعل والمفعول والالتفات
(2) فى الاستئناف والمفاعله والتكثير وغيره





Klasifikasi Pengaruh Qira’at Menurut Muhammad bin Umar bin Salim



Kategorisasi yang Berkaitan dengan Makna Ayat
Untuk melihat sedikit cuplikan penjelasan Umar bin Salim, berikut ini adalah gambaran sub-sub yang terkumpul dalam jenis kategorisasi pada kotak pertama, yakni Qira’at yang dikaitkan dengan variabel makna ayat:
1.       Perbedaan Qira’at yang Berfungsi Memperjelas Makna Ayat.
Teknisnya, ada perbedaan-perbedaan dalam cara membaca satu kalimat tertentu, akan tetapi semua perbedaan tersebut bermuara pada pada satu makna yang jami’ tanpa ada kontradiktif, sehingga keadaan ini berfaedah semakin memperjelas makna ayat (mimma yazidu al-ma’na wudhuhan wa bayanan). Berdasarkan penyisiran Umar bin Salim terhadap seluruh ayat al-Qur’an secara tartib mushafi, pola pertama ini ada pada 22 tempat. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada surat al-Fatihah ayat 4: “مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ”. Ada perbedaan qira’ah dalam ayat ini sebagaimana yang tertulis dalam tabele berikut.
Imam Ashim, Al-Kisa’i, Ya’qub, dan Khalaf
مَالِكِ (dengan alif mad)
Sepuluh Imam selainnya
مَلِكِ (tanpa alif mad)

Makna dua qira’ah tersebut adalah:
Bacaan “مَلِكِ
Terambil dari kata “المُلْكُ
المتصرف بالأمر والنهي فى المأمورين
Bacaan “مَالِكِ
Terambil dari kata “المِلْكُ
المتصرف فى الأعيان المملوكة كيف شاء

Dua qira’ah di atas mengandung makna bahwa: Allah-lah yang menjadi satu-satunya pemilik segala sesuatu di hari akhir nanti, sehingga tiada yang memiliki hak tasharruf dan hukum apa saja kecuali Allah (مالك يوم الدين); dan Allah satu-satunya raja yang berkuasa memerintah dan memberikan larangan, sehingga raja-raja yang pernah ada di dunia menjadi remeh dan hina (ملك يوم الدين).

2.       Perbedaan Qira’at yang Berfungsi Meluaskan Makna Ayat. Jumlah yang termasuk pola yang kedua ini cukup banyak, yakni 98 tempat. Salah satunya adalah seperti yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 10.
Îû NÎgÎ/qè=è% ÖÚz£D ãNèdyŠ#tsù ª!$# $ZÊttB ( óOßgs9ur ë>#xtã 7OŠÏ9r& $yJÎ/ (#qçR%x. tbqç/Éõ3tƒ ÇÊÉÈ
Ada dua qira’ah yang berbeda dalam membaca “يَكْذِبُوْنَ”.
(1)    Qira’ah kelompok Satu:
Imam Abu Ja’far, Nafi’, Abu Amr, Ibnu Katsir, Ibnu Amir, dan Ya’qub
يُكَذِّبُوْنَ
(2)    Qira’ah kelompok dua:
Imam Ashim, Hamzah, Kisa’i, dan Hamzah
يَكْذِبُوْنَ

Pada qira’ah yang pertama, yang ber-tasydid, maka maknanya adalah: “Mereka (para munafik) berhak mendapatkan siksa yang pedih karena pendustaan mereka (bi sababi takdzibihim) atas Rasul saw. Sedangkan qira’ah yang takhfif, maknanya adalah “Mereka (para munafik) berhak mendapatkan siksa yang pedih karena tampilan luar mereka yang (seakan-akan) islam dan beriman, tapi kufur dalam hati, maka mereka menjadi “pembohong” (kaadzibun) terhadap kata-kata mereka sendiri: امَنَّا باِللهِ وَباِلْيَوْمِ الأخِرِ.

Hasil pembacaan terhadap perbedaan qira’at di atas adalah: para munafik akan disisksa dengan siksaan yang pedih karena kebohongan (كَذْبِهِمْ) dan pendustaan mereka (تَكْذِيْبِهِمْ). Kedua qira’ah di atas berbeda dalam makna, tapi justru melengkapi keterangan keadaan mereka: kebohongan dan pendustaan mereka.

Abu Muhammad Makiy bin Abi Thalib memberikan komentar: “Dua qira’ah yang saling berjalin satu sama lain di atas kembali pada satu makna; karena siapa yang mendustakan risalah nabi Muhammad dan kehujjahan nubuwahnya, maka dia adalah pembohong (كاذبون) yang berbohong kepada Allah, dan siapa yang berbohong kepada Allah dan menentang apa yang Ia turunkan, dia adalah pendusta (مكذبون) atas apa yang Allah turunkan.

Ibnu Taymiyah juga ikut menjelaskan: mereka (para munafik) itu berbohong dengan kata-kata mereka sendiri: “امنا بالله واليوم الأخر” dan mendustai Rasulullah di dalam batin mereka, walaupun secara zhahir, mereka membenarkannya.[15]

3.      Perbedaan Qira’at yang berfungsi menghilangkan kemusykilan makna ayat (raf’ isykal mutawahhim di ma’na al-ayah). Jumlah pola ini di dalam al-Qur’an ada pada 6 tempat. Salah satunya adalah apa yang ada di dalam surat Thaha ayat 97.
tA$s% ó=ydøŒ$$sù  cÎ*sù y7s9 Îû Ío4quŠysø9$# br& tAqà)s? Ÿw }¨$|¡ÏB ( ¨bÎ)ur y7s9 #YÏãöqtB `©9 ¼çmxÿn=øƒéB ( öÝàR$#ur #n<Î) y7Îg»s9Î) Ï%©!$# |Mù=sß Ïmøn=tã $ZÿÏ.%tæ ( ¼çm¨Ys%ÌhysãZ©9 ¢OèO ¼çm¨YxÿÅ¡YuZs9 Îû ÉdOuŠø9$# $¸ÿó¡nS ÇÒÐÈ

Ada empat cara membaca dalam kalimat “لنحرقنه”.
(1) Abu Ja’far
لَنَحْرِقَنَّهُ
(2) Dua perawi Abu Ja’far,
لَنَحْرُقَنَّهُ
(3) Ibnu Jammaz
لَنَحْرِقَنَّهُ
(4) Imam Sepuluh lainnya
لَنُحَرِّقَنَّهُ

Untuk qira’ah yang (1) dan (3), maknanya adalah membakar dengan api; dan makna bacaan yang (4) mengandung makna tikrar, sehingga maknanya adalah dibakar berkali-kali: نحرقه مرة بعد مرة . Berbeda dengan qira’ah yang ra’-nya didhammah (2), maknanya adalah “Anda membakar besi, lalu ketika anda mendinginkannya, (besi itu) mlethek dan rontok” (حرقت الحديد إذا بردته فتحات وتساقط). Maka ayat tersebut bermakna demikian: لنبردنه ولنحتنه حتا ثم لننسفنه فى اليم نسفا .

Di dalam ayat ini, dengan qira’ah jumhur (imam qira’ah), ada kemusykilan atau keganjilan: bagaimana sapi (العجل) yang terbuat dari emas itu dibakar, lalu (dikatakan) ditebar di lautan?! Sesuatu yang ditebar mestinya adalah berbentuk debu atau seperti pasir, sedangkan ketika emas yang dibakar, ia meleleh, menjadi benda cair. Mana bisa kita menyebutnya “ditebar”?!

Untuk menyelesaikan kemusykilan ini, maka kesemua qira’at di atas dapat digabung untuk mendapatkan pemahaman bahwa: Musa as. Mengancam sapi emas (Musa Samiri) itu akan dibakar dengan api yang ultra panas, lalu dibekukan sebegitu rupa sampai mlethek dan rontok menjadi serpihan kecil, lantas dilenyapkan dalam lautan. Jadi, tidak hanya dibakar saja, tapi juga ada proses dibekukan dengan tingkat beku yang ultra ekstrim sampai rontoklah komposisi sapi emas tersebut.

Solusi yang lain datang dari Abu Hayyan berpendapat bahwa: di dalam mushaf Ubay dan Abdullah bin Mas’ud tertulis: "لنذبحنه ثم لنحرقنه ثم لننسفنه". Dengan qira’ah ini, yang memiliki tambahan “لنذبحنه” maka “العجل atau sapi emas tadi dijadikan hewan yang berdaging terlebih dahulu oleh Allah, memiliki darah serta ruh. Nah, dalam keadaan inilah, sapi tersebut kemudian dibakar dengan api; maka tidak lagi musykil jika debu hasil pembakaran sapi yang biologis tadi ditebar (sebagai abu atau remah) ke lautan.

Demikianlah pemaparan mengenai keberadaan dua qira’ah terakhir di atas yang telah berfungsi menghilangkan kemusykilan dalam makna ayat yang terkandung dalam qira’ah jumhur (sab’ah?).[16]



Kategori yang Berkaitan dengan Kaidah Ushul Fiqh: Umum, Ithlaq, Ijmal
Untuk poin ini, penulis masih belum bisa menyajikannya pada makalah ini.

Kategori yang Berkaitan dengan Gaya (Uslub) Al-Qur’an
Kategori ini memiliki sub pembahasan yang lebih beragam. Berikut ini adalah di antaranya:
1.       Qira’at yang berhubungan dengan Bina’ Fa’il atau Bina’ Maf’ul. Umar bin Salim memberikan prolog panjang lebar untuk bagian ini, yang intinya adalah ketika ada qira’ah al-Qur’an yang mabni maf’ul atau format kalimat dengan tidak menyebutkan fa’il-nya, itu bukan berarti pelakunya tidak diketahui, melainkan untuk menekankan pada “ذكر وقوع الفعل بالمفعول”, tidak masalah apakah pelakunya diketahui atau tidak, seperti yang terjadi dalam tiga ayat berikut:
Surat Yusuf: 109
!$tBur $uZù=yör& `ÏB šÎ=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR NÍköŽs9Î) ô`ÏiB È@÷dr& #tà)ø9$# 3
Surat an-Nahl: 43
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?
Surat al-Anbiya’: 7
!$tBur $uZù=yör& ÆÏB y7Î=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) 4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès?

Hafsh membaca membacanya dengan “نُوْحِي” (mabni fa’il) dalam tiga ayat di atas, sedangkan sepuluh imam lainnya membaca “يُوْحَى”. Dalam qira’ah mabni maf’ul  ini mengisyaratkan bahwa yang ingin ditekankan adalah wuqu’ al-fi’l, yakni peristiwa pewahyuannya.[17]

2.       Qira’at yang berhubungan dengan iltifat. Ada banyak ragam di dalam gaya ini, yang salah satunya adalah pada surat al-Baqarah ayat 74.
§NèO ôM|¡s% Nä3ç/qè=è% .`ÏiB Ï÷èt/ šÏ9ºsŒ }Îgsù Íou$yÚÏtø:$$x. ÷rr& x©r& Zouqó¡s% 4 ¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ㍤fxÿtFtƒ çm÷ZÏB ㍻yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷uŠsù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB ÏpuŠô±yz «!$# 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès?
Pada kalimat yang dicetak tebal, Imam Ibnu Katsir membacanya dengan “عما يعملون”, sedangkan Imam Sepuluh lainnya membaca “عما تعملون”. Ini adalah contoh iltifat dari khithab menjadi ghaib. Kedua qira’ah ini masih berada dalam satu makna. Hal yang menarik adalah iltifat yang terjadi dalam qira’ah Ibnu Katsir. Struktur pembicaraan ayat di atas awalnya adalah mukhathab, akan tetapi di ungkapan yang terakhir berubah menjadi ghaib (يعملون). Iltifat ini memiliki sebuah hikmah. Ada semacam nuansa makna, bahwa Allah benci dengan yang diajak bicara, sehingga mengubahnya menjadi seakan-akan tidak ada atau ghaib. Karena biasanya, diajaknya seseorang berbicara dan ber-muwajjahah adalah tanda bahwa kehadirannya diterima oleh yang mengajak bicara, dan yang mengajak bicara juga suka kepadanya. Nuansa muwajjahah inilah yang dipotong oleh Allah dalam narasi ayat di atas.[18]

3.       Qira’at yang berhubungan dengan isti’naf. Terkadang, perbedaan qira’ah terkait dengan masalah penentuan jumlah isti’nafiyah atau ghairu isti’nafiyyah. Seperti surat Ali Imran ayat 171.
* tbrçŽÅ³ö;tGó¡o 7pyJ÷èÏZÎ/ z`ÏiB «!$# 9@ôÒsùur ¨br&ur ©!$# Ÿw ßìŠÅÒムtô_r& tûüÏZÏB÷sßJø9$#
Al-Kisa’i—dan hanya ia—membaca “وَإِنَّ اللهَ لاَ يُضِيْعُ أجْرَ المؤمنين”, sementara Sepuluh Imam yang lain membaca “وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيْعُ أجْرَ المؤمنين”. Makna qira’ah Kisa’i yang meng-kasrah hamzah karena menjadikannya jumlah isti’naf, yakni: Allah tidak akan menelantarkan balasan bagi orang-orang mukmin. Ini adalah kalimat baru (jumlah isti’naf) sehingga secara I’rab, tidak berhubungan dengan jumlah kalimat sebelumnya. Sedangkan qira’ah jumhur, yang men-fathah hamzah, bermakna: يستبشرون بنعمة من الله وفضل و يستبشرون بأن الله لا يضيع أجر المؤمنين .[19]
4.       Qira’at yang berhubungan dengan shighat fi’il “fa>’alaatau tafa>’ala. Seperti surat al-Baqarah: 236
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ
Imam Hamzah, Al-Kisa’i, dan Khalaf pada kalimat “تمسوهن” dengan “تماسوهن”yang ikut wazan mufa’alah, sehingga maknanya adalah “saling menyentuh” antara suami dan istri, sesuatu yang biasa terjadi ketika bersetubuh. Sementara itu, Sepuluh Imam yang lain membacanya “تمسواهن” dari mashdar “اللمس” yang maknanya adalah jima’. Sama juga dengan makna pertama yang juga merujuk pada makna jima’ atau persetubuhan.[20]
5.       Qira’at yang berhubungan dengan ifadat at-taktsir. Jenis ini untuk melihat pola perbedaan qira’ah yang kemudian berpengaruh terhadap jumlah sebuah kejadian terjadi: terjadi hanya sekali “مجرد حدوث الفعل” atau terjadi berulang kali dan sering “تكراره و كثرة وقوعه”; seperti pada surat al-Baqarah ayat 245 dan al-Hadid ayat 11.
  • `¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè?
  • ƨB #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟Òãsù ¼çms9 ÿ¼ã&s!ur ֍ô_r& ÒOƒÌx.
Beberapa perbedaan qira’ah terjadi pada kalimat “فيضاعفه”.
(1) Imam Nafi’, Abu Amr, Hamzah, Kisa’i, dan Khalaf
فَيُضاعِفُهُ
Dijadikan jumlah isti’naf
(2) Imam Ibnu Katsir dan Abu Ja’far
فَيُضَعِّفُهُ
di-taf’il-kan, dan isti’naf
(3) Imam Ibnu Amir dan Ya’qub
فَيُضَعِّفَهُ
di-taf’il-kan saja
(4) Imam Ashim
فَيُضاعِفَهُ


Untuk bacaan qira’ah nomor (2) atau (3) memiliki makna bahwa pemberian tasydid itu bermakna taktsir dan tikrar. Sehingga maknanya adalah “dilipat-lipatkan dalam jumlah yang banyak”.

6.       Qira’at yang berhubungan dengan Kalam Khabar dan Kalam Insya’, seperti pada surat al-Baqarah ayat 119.
!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur ( Ÿwur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOŠÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ
Imam Nafi’ dan Ya’qub membaca kalimat “ولا تسأل” dengan “وَلاَ تَسأَلْ” menggunakan uslub an-nahy dalam bentuk kalam insya’iy; sedangkan Sepuluh Imam yang lain membaca “وَلاَ تُسْأَلُ”  dalam bentuk kalam khabariyah.[21]
7.       Qira’at yang berhubungan dengan keragaman lahjah (ta’addud al-lughah). Jenis perbedaan ini adalah bentuk keringanan dan agar menjadi mudah dalam membaca al-Qur’an bagi suku-suku Arab saat al-Qur’an diturunkan. Bentuk jenis ini bisa dilihat contohnya kalimat “السلم” dalam tiga ayat berikut: al-Baqarah: 208, al-Anfal: 61, Muhammad: 35.
·        $ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B
·        bÎ)ur (#qßsuZy_ ÄNù=¡¡=Ï9 ôxuZô_$$sù $olm; ö@©.uqs?ur n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìŠÏJ¡¡9$# ãLìÎ=yèø9$#
·        Ÿxsù (#qãZÎgs? (#þqããôs?ur n<Î) ÉOù=¡¡9$# ÞOçFRr&ur tböqn=ôãF{$# ª!$#ur öNä3yètB `s9ur óOä.uŽÏItƒ öNä3n=»uHùår&                                            

Imam Abu Ja’far, Nafi’, Ibnu Katsir, Al-Kisa’i
Membacanya dengan man-fathah-kan sin di semua ayat tersebut
السَّلْمِ, للسَّلْمِ
Imam Abu Amr, Ibnu Amir, Ashim riwayat Hafsh, dan Ya’qub
Meng-kasrah huruf sin dalam ayat pertama
فى السِّلْمِ
Men-fathah huruf sin dalam ayat kedua
للسّلْمِ
Pada tempat lainnya, huruf sin di-kasrah-kan

Imam Ashim riwayat Abu Bakr
Meng-kasrah huruf sin pada ayat kedua dan ketiga
للسِّلْمِ, السِّلْمِ

Perbedaan tersebut adalah dua bahasa (lahjah) dengan satu makna, yakni kedamaian (الصلح) atau keselamatan (الإسلام)

PENUTUP
“Qira’ah adalah sebuah kekayaan intelektual kitab suci al-Qur’an!” pernyataan Profesor Nasarudin Umar ini[22] paling tidak telah terbuktikan melalui pembahasan sederhana Atsar al-Qira’at fi at-Tafsir dalam makalah ini. Upaya selanjutnya adalah bagaimana usaha setiap muslim untuk melakukan konservasi keragaman intelektual di dalam ilmu qira’ah ini agar tidak punah, karena faktanya, tersisa hanya tiga qira’ah saja yang masih aktif digunakan oleh umat Islam—seperti yang tertera dalam tabel di halaman 2 dan 3 di atas. Bagaimana dengan nasib kelanjutan qira’ah selainnya?! How to make them survive?!


[1] Lihat Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at di Nusantara, (Jakarta Pusat: Pustaka STAINU, 2008), hlm. 5

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Qira%27at (Akses tanggal 17 Oktober 2011)

[3] Pembuatan gambar pohon periwayatan qira’ah didasarkan pada buku yang ditulis oleh Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 146-149.

[4] Untuk keterangan lebih detail silahkan merujuk pada tulisan Sya’ban Muhammad Ismail, Mengenal Qira’at Al-Qur’an, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hlm. 87-94. Lihat juga Labib as-Said, Jam’ as-Shautiy al-Awwal li al-Qur’an al-Karim aw al-Mushaf al-Murattal Bawa’itsuhu wa Mukhaththatuhu, (Kairo: Dar al-Katib al-Arabiy li at-Thaba’ah wa an-Nasyr, tt), hlm.159-280

[5] Untuk lebih detail, silahkan merujuk pada buku karangan Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur’an dan Qiroat, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 139-174.
[6] Lihat Ahmad Fathoni, “Mengenal Rasm Utsmani” dalam buku Muhaimin Zen (ed.), Bunga Rampai Mutiara Al-Qur’an Pembinaan Qari’ Qari’ah dan Hafizh Hafizhah, (Jakarta Selatan: PP. Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffazh, 2006), hlm. 159-186.
[7] Sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Khatib, Al-Furqan Jam’ al-Qur’an wa Tadwinuhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hlm. 125-129. Lihat juga dalam Ibrahim al-Ibyariy, Pengenalan Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993) hlm. 108-111.
[8] Beberapa pengkaji tergelitik untuk bertanya mengenai jumlah tujuh di dalam qira’ah jumhur. Coriousity ini bisa dilihat dalam artikel Frederik Leemhuis, “Readings of the Qur’an” dalam Jane Dammen McAuliffe, Encyclopedia of The Qur’an IV, (Leiden: Brill, 2004), hlm. 353-362; atau dalam buku Abu Muhammad Makiy bin Abi Thalib al-Qisiy, Kitab al-Ibanah an Ma’ani al-Qira’at, (Damaskus: Dar al-Ma’mn li at-Turats, tt), bab “Illat Tasbi’ al-Qurra’” hlm. 66-67.

[9] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 160-161.
[10] Lihat Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 202-205
[11] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 223-225.
[12] Hasanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 220-222.

[13] Ibid, hlm. 239-241.

[14] Lihat desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir wa al-Ahkam” (Saudi Arabia: Jami’ah Umm al-Qura, 1412-1413 H). Tidak diterbitkan (?). Diunduh dari situs http://ia600302.us. archive.org/7/items/alkeraat/alkeraat.pdf
[15] Lihat desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm. 374.
[16] Lihat desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm. 580.
[17] Lihat desertasi Mummad Umar bin Salim, “Al-Qira’at wa Atsaruha fi at-Tafsir..”, hlm. 730-731.

[18] Ibid, hlm. 750.

[19] Ibid, hlm. 784.

[20] Ibid, hlm. 790.
[21] Ibid, hlm, 803.

[22] Lihat kata pengantar Profesor Nasarudin Umar dalam buku Wawan Djunaedi, Sejarah Qira’at al-Qur’an di Nusantara, (Jakarta: PustakaSTAINU, 2008)

1 komentar:

Text Widget

Text Widget