Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah pernah menyatakan sebuah maqolah mengenai tiga model orang
beribadah. Yang pertama,
إن قوما
عبدوا الله رغبة, فتلك عبادة التجار.
Kelompok orang yang menyembah Allah karena mengharap balasan,
maka ini disebut ibadah model pedagang.
Yang kedua,
و إن قوما
عبدوا الله رهبة, فتلك عبادة العبيد
Kelompok yang menyembah Allah
karena takut akan siksa-Nya. Ini model ibadah hamba sahaya atau budak.
Dan yang ketiga, yang paling
disukai, adalah
و إن قوما
عبدوا الله شكرا, فتلك عبادة الأحرار
Yang menyembah Allah atas
dasar syukur, beribadah sebagai ungkapan terimakasih kepada Allah atas segala
nikmat dan rahmat yang diberikan Allah padanya. Model ibadah demikian ini
adalah ibadahnya orang yang merdeka, bebas.
***
Yang mana saja di antara tiga
model di atas, tidak masalah. Semuanya sah, dan diterima oleh Allah. Hanya
tingkatan kualitasnya saja yang berbeda. Terkait dengan ibadah model pertama, ibadah
ala pedagang, itu wajar-wajar saja. Bahkan agama Islam adalah agama
bisnis. Karena sedemikian eratnya kaitan agama Islam dengan dunia perniagaan,
atau dunia perdagangan.
Kita bisa mengamati
fakta-fakta sejarah. Nabi Muhammad saw sebelum menjadi Nabi, pernah menjadi
saudagar yang luar biasa sukses. Beliau berdagang lintas Negara. Bisnis beliau
adalah ekspor-impor, di perusahaan Siti Khadijah Coorporation. Fakta lainnya, para
penyebar agama Islam di tanah Nusantara-Indonesia ini juga adalah kelompok
pedagang. Datang dari tanah Gujarat, India. Mereka berdagang sekaligus
menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara.
Pada masa kemerdekaan, banyak
organisasi-organisai besar dengan dasar agama Islam, yang juga menjalankan kegiatan
dagang. Sebut saja semisal Serikat Dagang Islam, atau SI, dan Nahdhatut Tujjar,
kebangkitan para pedagang—yang di kemudian hari menjadi Nahdhatul Ulama. Ini ya
organisasi dagang, juga punya kepedulian terhadap agama Islam.
Dengan melihat fakta di atas,
tampaknya sungguh padu antara urusan dunia dan urusan akhirat tergayuh
keduanya. Sama-sama berjalan seimbang. Bahkan saling melengkapi satu sama lain.
Ini adalah cita-cita kita semua, sukses berniaga dunia dan akhirat.
Jika diteruskan lebih jauh, kita
akan menemukan bahwa banyak hubungan muamalah antara manusia dengan Allah
diungkapkan dalam istilah-istilah bisnis. Sebut saja semisal istilah “isytara-yasytari”
yang berarti membeli. Ketika shahabat Nabi turun berperang membela agama Allah,
Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an dengan pernyataan:
إن الله اشترى
من المؤمنين أنفسهم و أموالهم بأن لهم الجنة
Sesungguhnya Allah membeli
jiwa dan harta-benda mereka dengan “tiket” surga.
Istilah lain yang juga sering
digunakan adalah “أجر” yang dalam makna asalnya berarti “upah”. Jadi, saya bekerja
pada seseorang, lalu saya mendapatkan upah atas pekerjaan yang saya lakukan. Istilah
ini kemudian digunakan oleh al-Qur’an untuk menamai pahala dari amal perbuatan
baik kita. فلهم أجرهم عند ربهم.
Ada lagi istilah kredit (قرض حسنا),
ada istilah jual-beli (بيع), atau juga istilah perniagaan yang bahasa Arabnya تجارة. Salah
satu ayat yang menyebutkan istilah ini adalah:
إن الذين
يتلون كتاب الله و أقاموا الصلاة وأنفقوا مما رزقنهم سرا وعلانية يرجون تجارة
لن تبور
Sesungguhnya orang-orang yang
membaca kitab Allah, senantiasa mendirikan shalat, menginfakkan sebagian hartanya,
baik dengan sembunyi-sembunyi atau terang-terangan,—mereka semua—mengharapkan sebuah
perniagaan yang tidak akan ada ruginya.
Inilah istilah yang juga
mewakili karakter bisnis dengan Allah, tijarah lan tabuur. Perniagaan,
bisnis yang tidak kenal istilah rugi. Karena Allah kalau membeli sesuatu dari
hamba-Nya selalu dengan harga yang berlipat-lipat ganda.
Misalnya, anda mengaji satu
ayat: الم.
Alif-Lam-Mim. Ini saja Allah membeli tiap huruf yang anda baca dengan
sepuluh kebaikan. Alif, sepuluh. Lam, sepuluh. Mim, sepuluh.
Dengan demikian, cukup membaca ini, anda mendapat 30 kebaikan. Artinya, jualan
yang cuma satu dibeli Allah dengan harga berlipat sepuluh.
Dalam kasus yang lain, kelipatannya
justru lebih besar lagi. Simak semisal ayat yang berbunyi:
مثل الذين
ينفقون أموالهم فى سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابيل فى كل سنبلة مائة حبة
Perumpamaan orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah itu seperti sebuah biji. Kemudian dari
biji tumbuh berkembang tujuh cabang, yang di setiap cabangnya tumbuh seratus biji-biji
lainnya. Jadi, infak satu dibeli Allah dengan harga tujuh ratus kali lipat.
Luar biasa! Inilah kenapa
berbisnis dengan Allah itu bisnis yang tidak kenal rugi. Karena Allah Maha Kaya
sungguh. Tidak ada bisnis manapun di dunia ini yang seperti bisnisnya Allah. Belinya
tidak nawar, malah berlipat-lipat tidak terkira.
***
Ada satu pihak yang dalam
bisnis kita dengan Allah selalu ingin menggagalkan. Tentu ia adalah setan. Apapun
asosiasi dan pemahaman anda mengenai entitas ini, yang jelas ia selalu ingin agar
bisnis ini tidak berhasil.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani
dalam kitab Al-Ghunyah, menjelaskan bahwa setan akan menempuh tiga
strategi untuk ini. Pertama, bagaimana caranya agar bisnis-ibadah tadi tidak
jadi. Ada orang mau shalat, setan menggoda dengan datangnya kesibukan-kesibukan,
supaya orang ini tidak jadi shalat. Kalau ternyata, masih juga shalat, setan
menempuh strategi kedua, bagaimana agar ia tetap shalat tapi tidak dapat pahala.
Agar rugi. Digodalah manusia dengan riya’, beribadah niatnya bukan untuk
Allah. Nah, kalau nyatanya orang ini tetap shalat, niatnya pun sudah betul, maka
strategi yang terakhir dijalankan: bagaimana agar pahalanya tidak full seratus
persen. Maka ia menjelma sebagai pikiran-pikiran, sehingga orang tadi shalatnya
tidak khusyu’ dalam beberapa detiknya. Jadi, setan sedemikian kerasnya berusaha
bagaimana agar bisnis manusia ini rugi.
***
Demikianlah. Semoga
bermanfaat. Semoga Allah memberikan kita semua limpahan taufiq, hidayah dan
inayah-Nya untuk senantiasa istiqamah dalam bisnis-Nya. Allohumma Amin.
Wallahu a’lam bis showab.
Ayiko Musashi,
Klaten, 16 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar