Selama mengaji Ramadan ini, ada beberapa catatan menarik
yang saya tulis. Pertama, setiap selesai shalat Subuh kita biasa membaca
surat ar-Rahman, surat yang diniatkan supaya dengan membacanya kita tertulari
sifat Rahman-nya Gusti Allah. Dan kebetulan sekali, empat hari sebelumnya, ada
ngaji tentang Asma’ul Husna. Nama-nama Allah yang kaya mutiara hikmah dan
rahasia.
Salah satu rahasia yang terbongkar adalah soal dua sifat
cinta Allah, yakni Rahman dan Rahim. Secara terjemah Indonesia, artinya hampir
mirip, Maha Pengasih – Maha Penyayang. Tapi setelah ditelusuri, Rahim
itu ternyata cinta pribadi Allah yang hanya dialamatkan kepada hamba yang taat
kepada-Nya saja. Cinta ini kemudian mewujud rahmat, inayah, taufik, hidayah,
sampai surga. Perlambangan cinta ini diberikan khusus untuk mereka yang taat
saja.
Sedangkan Rahman adalah cinta-Nya yang bersifat umum.
Allah menurunkan rahmat kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Tidak peduli taat
atau membangkang, bersyukur atau berlaku kufur, semuanya mendapatkan jatah
cinta Allah. Manusia tetap gratis bernafas, hidungnya tidak terbalik, jari-jarinya
tetap utuh sepuluh, jantungnya tidak mogok, dan banyak nikmat lainnya. Semuanya
terus dilimpahkan Allah walaupun toh Si Manusia ini banyak melakukan maksiat.
Allah tetap sayang kepada makhluk-Nya. Dan nuansa seperti
inilah yang terekam sangat gamblang dalam surat ar-Rahman. Suratnya dinamai ar-Rahman,
bukan ar-Rahim. Di dalamnya terdapat pengulangan frasa “Fa
bi ayyi aalaa’i rabbikumaa tukadzdziban? (Maka nikmat-nikmat Tuhanmu yang mana
lagi yang akan kamu dustakan?)” setelah ayat-ayat yang menjelaskan tentang
nikmat. Ini diulang sebanyak + 31 kali. Pengulangan tersebut menyiratkan
betapa dustanya manusia terhadap nikmat-nikmat Allah. Pun begitu, Allah yang
Rahman senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya. Itulah kira-kira latar
belakang kenapa surat ini dinamai ar-Rahman, bukan ar-Rahim.
Sungguh penamaan yang sangat top markotop!
Catatan kedua yang saya tulis adalah mengenai Tafsir Harokat.
Dalam tulisan yang lalu, sudah pernah dicicil tafsiran mengapa harakat fathah,
dhammah, dan sukun berposisi di atas, sedangkan kasrah di
bawah. Itu karena tiga harakat yang awal menyiratkan sikap hidup yang positif.
Fathah artinya membuka, maka siapa saja yang mau membuka diri, jujur,
apa adanya, maka dia mulia, berposisi di atas. Begitu juga dengan dhammah
yang artinya berkumpul, kompak, solid. Maka pasti perserikatannya jaya,
berposisi di atas. Sukun juga demikian. Ia aman dan selamat karena sukun
itu berarti tenang, tidak grusa-grusu. Maka pekerjaannya
pasti selamat. Sedangkan kasrah jatuh berposisi di bawah karena kasrah
itu artinya pecah, bercerai-berai, maka jelas kacau dan rapuh,
sehingga mudah jatuh dan menempati posisi bawah.
Nah, ternyata harakat itu ada yang bersaudara, dan ada yang
tunggal. Fathah punya saudara Fathatain. Dhammah punya adik Dhammatain.
Kasrah juga punya saudara Kasratain. Sedangkan yang anak tunggal hanya
Sukun, dan ia tidak punya saudara bernama sukuntain. Artinya, diam-diam,
harakatpun ber-KB rupanya. Hehehe.
Catatan yang ketiga, adalah tentang lafal wal-yatalaththaf
dalam surat al-Kahfi ayat 19. Dalam mushaf cetakan lama, hampir selalu dicetak
dalam warna merah, dan berlaku khusus untuk lafal itu saja. Ada apa gerangan? Ternyata,
menurut beberapa riwayat yang saya tahu, diwarnainya lafal itu dengan warna
merah adalah untuk mengenang Sayyidina Ali yang terbunuh oleh pemberontak ketika
sedang membaca al-Qur’an. Pedang ditebaskan, dan beberapa percikan darah Sayyidina
Ali tepat mengenai lafal tersebut. Ini sebuah ‘kebetulan’ yang luar biasa. Tindak
pembunuhan itu adalah perbuatan yang sangat kasar dan biadab. Luar biasanya, darah
sebagai saksi kebiadaban tadi justru muncrat mengenai lafal wal-yatalaththaf
yang artinya justru “hendaklah ia bersikap lemah-lembut”. Darah itu
seakan menstabilo, dan hendak menegur si pembunuh itu langsung setelah
perbuatan kasar itu terjadi. Mahasuci Allah yang menciptakan skenario-skenario luar
biasa ini!
Ayiko Musashi,
Klaten, 11 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar