Suatukali saya mendapatkan surat dari seorang teman akrab
tapi jarang ketemu. Namanya unik tapi kacau, Mpu Gandrung Segawon Kelangkung.
Surat itu cukup mengagetkan karena langsung marah-marah tanpa intro apapun.
Beginilah bunyi surat itu.
Sekolah itu candu, bung! Warisan feodal!! Barang mewah yang
sebenarnya tak adapun tak masalah! Sekolah cuma gengsi! Dead School Society
sajalah!! Masyarakat tanpa sekolah!!! Break in The Wall….!! Lha, bagaimana
lagi?! Itulah kenyataannya. Orang berangkat sekolah untuk menjadi tidak tahu
apa-apa. Uang habis dibanting beli segala asesoris yang kerap dilabeli ilmiah,
untuk kemajuan belajar, dan macam-macam; tapi nyatanya kreatifitas, daya
inisiatif terus dikebiri.
Siapa bilang sekolah itu mengajarkan semua yang baik?! Mempersiapkan
manusia yang siap hidup?! Ah, jangan muluk-muluk kalau berharap. Sekolah tidak
semulia itu kok. Tidak sesuci dan seheroik yang kita bayangkan. Lihatlah
sekarang betapa banyak sekolah berubah menjadi pasar, yang kegiatannya lebih
asyik dengan jualan ini dan itu. Uang, men!! Uang….!! Jualan buku, jualan,
seragam, jualan kursus, jualan gelar, dan macem-macem.
Hm. Mana ada yang bisa kita bilang “murid” hari ini?! Tidak
ada, bung!! Yang ada hanyalah robot yang selalu siap mengulang apa yang sudah
diprogramkan oleh programmernya. Yang ada hanyalah tape recorder yang selalu
siap merekam persis dengan apa yang didengarnya. Asyik tenggelam dalam
keseragaman yang dangkal. Yang ada hanyalah kerumunan massa contagious penyembah
nilai dan gelar. Mabuk mencumbui status dan jabatan.
Terbitkanlah buku, cetaklah majalah, selenggarakanlah
seminar-seminar, teriakkanlah dirimu sebagai garda depan pengusung perubahan Lantang
dan seringlah menyebut dirimu apa saja sebagai pemerhati semangat ilmiah dan
pejuang pendidikan, raihlah gelar-gelar kehormatan dan puja-puji itu ribuan kali.
Lakukanlahlah.
Asal kau tahu, orang disebut murid itu karena dia
tahu apa yang dia inginkan. Murid itu berasal dari bahasa Arab. Araada-yuriidu-iraadatan-fahuwa
muriidun. Artinya adalah orang yang menghendaki. Jadi, kata ini diserap
karena mengandaikan bahwa dalam proses belajar, seorang siswa tahu apa yang
ingin diketahuinya, mengerti mengapa ia belajar sesuatu, dan sadar bahwa ia
sedang menjalani sebuah proses pembelajaran. Dan tugas sang guru adalah
menyulut api keingintahuan sang murid saja yang paling penting. Jadi, nuansa
yang terkandung di dalam kata murid tadi lebih kental dengan nuansa kerja
yang aktif, partisipatif, berkesadaran, dan sebuah gairah. Bukan terlantar diam
dan pasif, yang tahunya cuma copy-paste!!
Maka dari itu, dulu, para ulama atau sesepuh-sesepuh kita,
kalau belajar, ya mereka sendiri yang menentukan materi pelajaran yang ingin
mereka pelajari. Jadi, tidak heran kalau dulu ada satu tokoh yang multi-talenta:
ya filsafat, seni, fikih, tauhid, tasawuf, dan ilmu bahasa secara bersamaan. Mereka
tidak teracuni pengotak-kotakan ilmu. Ya mereka itulah manusia pembelajar yang
bebas.
Ada kepercayaan dan penghargaan kepada murid, sehingga lahir
kemandirian. Yang memilih guru ya si murid sendiri. Masa belajar tidak dibatasi
oleh seremonial semester atau semacamnya. Yah, kalau ilmunya sudah dikuasai, ya
sudah, pindah belajar ilmu lain. Tidak perlu nunggu ada UAN, atau upacara
wisuda-wisudaan segala. Belajar itu masih substansi, bukan sekadar upacara dan neurotik
ritual sosial. Yang menonjol pada saat belajar justru kesadaran niat, kesadaran
kebutuhan, dan kecintaan. Sedangkan aku dan kamu ini kan seringnya, masuk
sekolah ya karena memang musimnya begitu, atau demi alasan daripada
nganggur. Ya, tho?!
Kalau memang sekolah itu satu-satunya pintu menuju sukses,
kamu punya penjelasan apa soal Bill Gate yang sukses tanpa sekolah? Caknun yang
drop out itu? Buddha?! Isa?! Muhammad, dan wali-wali itu mana ada yang sekolah
pake seragam-seragaman?! Pake wisuda-wisuda-an?! Sekolah mereka ya hidup itu
sendiri. Bukan menyembah tembok gedung!!
Belajar kok dipersempit cuma di sekolah! Sekolah itu cuma
alat. Ia hanya institusi. Jadi, lebih penting bicara soal bagaimana menumbuhkan
dan terus merawat naluri belajar daripada harus mati-matian menyembah berhala
bernama (institusi) sekolah!! Belajarlah ilmu hidup di fakultas kehidupan!!
Jadilah manusia. Jangan jadi robot. Jangan jadi tape recorder!!
Ayiko Musashi,
Malangan Klaten, 04 November’ 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar