Setiap elemen al-Qur’an
berasal dari Allah. Ia tidak tunduk pada aturan-aturan manusia. Ia bukan syair.
Bukan pula mantra-mantra dukun. Tidak ada definisi yang tepat, jika itu datang
dari manusia. Al-Qur’an sendirilah yang pada akhirnya menjelaskan siapa dirinya
kepada manusia. Ia adalah kalam suci Allah; wahyu untuk nabi Muhammad saw.
Deviasi (penyimpangan gaya) adalah
satu karakter yang khas al-Qur’an; baik dalam komposisi estetika, ide-gagasan,
atau juga sistematikanya. Yang terakhir inilah, obrolan kali ini. Al-Qur’an
tidak disusun seperti susunan penyajian buku-buku yang selama ini akrab dikenal
dalam budaya manusia manapun, dan memang tidak selayaknya demikian. Ia tidak
disusun tema pertema atau bab per-bab—seperti yang biasa terlihat dalam daftar
isi buku. Maka akan anda temukan bahwa dalam satu surat, ayat-ayatnya berjalin-kelindan
antara ayat tauhid, ayat hukum, ayat kisah, dan lain sebagainya.
Dari sisi sejarah, ia juga
tidak disusun secara kronologis berdasarkan urutan turunya wahyu. Tidak tartib
nuzuli. Maka surat yang pertama justru al-Fatihah, bukan al-Alaq yang
isinya terkandung ayat-ayat pertama turun untuk Nabi. Dari sisi kuantitas, ia
tidak disusun urut berdasarkan dari surat yang ayatnya paling banyak menuju
surat yang ayatnya paling sedikit, atau sebaliknya. Sistematika yang digunakan
justru tartib mushafi, sistematika seperti yang terlihat dalam mushaf
(Usmani). Ketetapan ini bersifat tauqifiy, kebijakan langsung dari
Allah. Tidak ada campur tangan malaikat Jibril, Nabi, sahabat, atau siapapun
saja. Allah menghendaki firman-Nya disusun dengan gaya terakhir ini, rupanya.
Dengan demikian, dalam studi ilmu
al-Qur’an, segala klasifikasi jenis ayat al-Qur’an dapat bercampur dalam satu
surat; baik itu antara ayat berjenis Makkiyah dengan Madaniyyah, antara ayat
yang Hadhari dan Safary; yang Nahari dan Laily; yang Shaify dan Syita’i; yang
Farasyi dan Naumy, atau juga yang Ardhy dengan Sama’i. Demikian juga dengan isi
kandungan ayatnya; baik ayat tentang hukum, tauhid, atau ayat kisah bisa
bercampur dalam satu surat.
Beberapa akademisi merasa
bingung atau mungkin shock-culture (?) dengan sistematika gaya
al-Qur’an. Hal ini dapat dimengerti. Kita memang sudah-sedang-dan akan hidup
dalam budaya berpikir dan gaya sistematika yang runtut dan tematis. Tidak
terbiasa dengan ke-acak-an. Respon terhadap fakta ini bisa berpola. Ada yang
(1) bisa biasa-biasa saja, karena merasa sudah cukup menerima al-Qur’an begitu
saja atau bisa jadi karena abai; (2) bisa juga menjurus pada sikap menuduh,
bahwa al-Qur’an itu semrawut. Alurnya tidak jelas. Meloncat-loncat. Diulang-ulang.
Sikap ini seakan memaksa, mestinya Tuhan menyusun kitab-Nya seperti manusia
menyusun buku; sikap lainnya (3) bisa juga malah menumbuhkan couriousity. Rasa
ingin tahu untuk menguak misteri di balik keunikan sistematika ini. Sikap ini
mengandaikan adanya “dialog budaya” antara manusia dengan Tuhannya dalam hal
tradisi menyusun ide. Tidak berusaha memaksa, tapi mencari hikmah, sehingga
lahirlah kajian Munasabah al-Qur’an. Pola dialogis ini tampaknya yang lebih
produktif dan kreatif dibanding lainnya. Ilmu ini berfungsi sebagai jembatan untuk
memahami hikmah “ke-acakan” sistematika al-Qur’an. Menemukan rahasia-rahasia
kenapa “diacak”, dan tidak diurut-kumpulkan tema pertema.
Kinerja ilmu ini seperti kajian
astronomi dalam memahami tata galaksi. Ada matahari dikitari planet-planet. Kenapa
bumi ditempatkan di urutan ketiga, setelah Merkurius dan Venus? Kenapa juga
Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus di urutan setelahnya? Beberapa sudah terjawab. Posisi
ketiga adalah jarak yang paling pas untuk kehidupan. Jika terlalu dekat dengan
matahari, makhluk di bumi bisa mati terbakar. Jika terlalu jauh, mereka beku. Maka
logika munasabah ini juga bisa diterapkan untuk meneliti semisal, kenapa Tatasurya
Matahari ditempatkan dalam galaksi Bimasakti? Demikian juga seperti ilmu
fisiologi dalam memahami hikmah di balik peletakan setiap organ tubuh manusia. Kenapa
mata di atas hidung, telinganya dua diletakkan di samping, hidungnya mengarah
ke bawah, tidak ke atas. Ada tujuan di balik setiap penempatan.
Inilah paradigma teleologis. Ada
kepercayaan aksiomatik bahwa setiap penciptaan dan penataan memiliki maksud dan
tujuan. Di balik penciptaan dan penataan tadi, ada sang Creator yang Supergenius.
Segitiga kontak antara manusia, fakta penciptaan, dan Yang Supergenius melahirkan
prasangka intelektual yang positif. Mewujud dalam penemuan hikmah, sebagai titik
temu ketiga hal di atas. Maka, paradigma ini mengawali langkah pikirnya dengan menerima
rancang-bangun penciptaan dan penataan, kemudian manusia berdialog-memahami rancang-bangun
tadi secara kreatif. Sistematika galaksi, sistematika lapisan bumi, sistematika
tubuh manusia, sistematika ozon, sistematika periode kenabian, sistematika sejarah
kehidupan, dan lain sebagainya. Ini semua yang ingin dicari hikmah-hikmahnya dalam
ilmu munasabah. Maka, dari Ulumul Qur’an, ilmu ini bisa dipinjam untuk mempelajari
sistematika-sistematika lain dalam konteks kehidupan yang lebih luas. Sebab
tidak ada yang muncul kebetulan, tanpa sebab dan tujuan yang sudah terbayangkan
oleh-Nya untuk dipelajari dan dikembangkan manusia sebagai ilmu dan hikmah.
Ayiko Musashi,
Klaten, 11 Maret 2012 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar