Al-Qur’an itu kitab suci yang unik. Isinya, ketika berkisah
tentang nabi-nabi, tidak hanya bercerita sisi baiknya saja. Misalnya soal
kesabaran dan ketabahan, kesadaran syukur, kondisi selalu mengingat Allah,
kepandaian atau semisalnya. Tapi juga menyebutkan momen-momen ketika mereka, para
nabi itu, tergelincir melakukan salah.
Kesalahan itu tidak melulu soal dosa kok. Salah, khilaf,
khatha’, itu semacam proses pembelajaran hidup. Maka kita sama-sama
mendengar bagaimana nabi dan mbah dari ras manusia, Adam, melakukan
kesalahan pertama dalam sejarah manusia dengan memakan buah—yang kata setan
adalah—pohon keabadian (khuldi). Konsekuensinya, beliau beserta istri, Siti
Hawa, dilengserkan dari surga ke dunia. Berdua mereka kemudian menyadari salah
seraya mengucap doa:: rabbanaa dzalamnaa anfusanaa wa illam taghfir lanaa wa
tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin.
Nabi Musa juga pernah salah. Beliau ini adalah nabi yang
paling “rock n roll”! Bagaimana tidak? jika beliau ini nekad meminta untuk
bertemu Tuhan face to face. Padahal beliau sudah diperingatkan Allah: “Engkau
tidak akan sanggup menatapku, wahai Musa.” “Ah! Bisa! Pokoknya bisa!” begitu
kira-kira paksa nabi Musa.
Allah pun akhirnya mengiyakan apa yang dimaui Musa. Maka
ditentukanlah tempat ketemuan antara Allah dan Musa di sebuah gunung. Begitu
tiba disana, Allah mulai ber-tajalli. Baru saja Allah mau hadir
(menampakkan sedikit cahayaNya), Musa sudah terkapar pingsan tak berdaya
menahan pesona yang sedemikian tak terdefinisikan. Dasar Musa! Maka setelah
siuman, beliau mengucap doa: subhaanaka tubtu ilaika wa ana awwalul
mu’minin.
Berbeda lagi dengan kisah nabi Daud. Beliau ini nabi sekaligus
raja yang istrinya berjumlah 99 orang. Nah, sudah banyak seperti itu, beliau
ini masih meminta kepada salah seorang rakyatnya menceraikan istrinya untuk
kemudian dinikahi oleh Daud sendiri—supaya genap beristri 100 orang. Hal ini
kemudian ditegur oleh Allah dengan mengirimkan dua malaikat yang menyamar
sebagai rakyat nabi Daud yang sedang bertengkar dan mengadukan persoalan mereka
agar diselesaikan oleh sang nabi.
“Apa masalah kalian?” tanya Daud. “Ini lho, wahai raja. Saudara
saya ini sudah punya kambing 99 ekor, sedang saya cuma punya seekor. Lha kok sekarang dia minta
kambing saya yang cuma seekor itu untuk menggenapi jumlah kambingnya (menjadi 100
ekor)” Daud langsung terhenyak menyadari kesalahannya (serakah), karena Daud
yakin bahwa dua orang itu pasti bukan rakyat biasa. Mereka ini mestinya utusan
yang ditugaskan untuk menegur Daud. Maka beliau langsung beristighfar dan jatuh
tersungkur bersujud seketika itu juga. Fastaghfara rabbahu wa kharra raakian
wa anaab, kenang al-Qur’an.
Ah, nabi Yunus tidak ketinggalan. Beliau ini marah-marah dan
mutung karena merasa sudah cukup lama berdakwah, tapi tidak ada yang mau
mendengar seruannya. Akhirnya, beliau pergi bersama sebuah kapal nelayan. “Prek
dengan umat!”, mungkin begitu ungkap kesal beliau. E, tanpa dinyana,
di tengah perjalanan mengarungi samudera, datang badai hebat. Perahu
terombang-ambing, dan para awak kapal memutuskan untuk mengundi salah seorang yang
harus rela terjun ke laut agar keseimbangan perahu bisa terjaga dan sisa awak
kapal lainnya dapat tetap selamat.
Apesnya nabi Yunus, karena beliau yang kedapatan harus
melompat ke laut. Sudah kesal dengan umat, e.. sekarang malah disuruh terjun ke
laut. Tamatlah sudah. Dan memang demikian. Ketika mengapung di tengah laut,
beliau langsung ditelan ikan besar—mungkin paus. Yunus terperankap di perut
ikan raksasa itu. Di dalam kegelapan Yunus menyadari salahnya (putus asa/ ngambek),
kemudian mengadu kepada Allah dalam doa: laa ilaaha illa anta, subhaanaka
inni kuntu minadz dzaalimiin.
Demikianlah beberapa manusia kaliber nabi yang juga nyatanya
masih manusia biasa. Pernah salah tapi bersedia secepatnya merevisi kesalahan
itu sendiri. Nabi lainnya seperti Ibrahimpun pernah salah. Nabi Nuh. Bahkan juga
nabi junjungan kita Muhammad saw, yang penegurannya diabadikan dalam surat
Abasa.
Pendeknya, dalam hidup, setiap manusia niscaya melakukan
salah. Dan salah itu tidak masalah. Sebab kita akhirnya akan belajar menganalisa,
mengoreksi, dan merevisi. Dengan demikian, salah itu perlu. Dan di hari raya
ini saya berdoa: semoga semua salah yang pernah saya lakukan menjadi salah yang
barokah. Salah yang hasanah. Salah yang mendorong-dorong saya mendekati
cakrawala kebenaran. Amin. Ied Mubarok!
Ayiko Musashi,
Klaten, 13 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar