Ada dua kata yang bisa mewakili konsep “keabadian” di dalam al-Qur’an, yakni al-khuld dan baqa’. Meskipun sama artinya, yakni abadi, tetapi masing-masing memiliki nuansa makna yang berbeda. Kata “khuld” adalah konsep kebadian untuk makhluk, sedangkan kata “baqa’” adalah keabadian yang disandangkan untuk sang Khalik. Maka ayat-ayat surga dan neraka yang nanti akan dihuni manusia, keabadiannya itu disebut, “khalidiina fiiha”. Dan keabadian Allah tidak pernah disebut “khalid”, melainkan “al-baqi”, seperti di dalam Asmaul Husna. Maknanya, keabadian (al-khuld) manusia itu berada dalam kerangka dimensi waktu. Mahluk itu akan abadi (di surga atau di neraka), tapi memiliki permulaan (penciptaan). Ini berbeda dengan keabadian (al-baqi) tuhan yang sifatnya mengatasi dimensi waktu. Bila bidayah wa laa nihayah. Jadi, keabadian tuhan tidak berada dalam kerangka spasial masa lalu (past), masa kini (present), atau masa mendatang (future).
Yang unik adalah artefak kebudayaan manusia dalam mengejar keabadiannya. Manusia berhasrat untuk menjadi abadi. Ingin seperti Tuhannya. Maka, oleh Erich Fromm (psikoanalis Jerman), manusia itu serupa “tuhan-tuhan kecil” dalam hal obsesinya untuk berkuasa, serba tahu, atau menjadi abadi. Nabi Adam jatuh ke dunia tergoda buah keabadian (khuldi) yang kata setan bisa mengekalkannya di surga. Orang mengumpulkan harta, menumpuk-numpuknya di bank-bank, menghitung-hitung, seakan semua harta itu mampu mengekalkannya. Lihatlah kritik ini dalam surat al-Humazah ayat 1-3. Kuat sekali kepercayaan bahwa harta seakan berdaya mengekalkan manusia.
Orang Mesir kuno meyakini ide keabadian, sehingga mereka mengembangkan teknik pengawetan mayat dan membangun kompleks pemakaman yang gigantik seperti Piramida. Para pemikir, arsitek, penguasa, atau para seniman bersungguh-sungguh mencipta karya-karya agung untuk menempuh jalan keabadian mereka. Dan beberapa orang menempuh keabadiaannya dengan cara memperbanyak keturunan. Dengan begitu, gen-nya akan terus hidup di dalam kehidupan anak turunnya. Itulah juga kenapa orang yang sudah tua, setiap bercerita, lebih sering bercerita tentang hidup anak-anaknya. Bukan tentang diri dan hidupnya sendiri. Seakan hidupnya tidak lagi berlangsung di dalam dirinya. Tapi di anak-anaknyalah ia sandarkan kebanggaan dan kekecewaannya.
Dalam bidang sains dan teknologi, ide keabadian (eternity) diterjemahkan dalam teknologi imortalitas, usaha menyelidiki kemampuan manusia untuk hidup abadi, ability to live forever. Ini adalah teknologi bagi manusia untuk menampik kematiannya, agar hidup abadi (di dunia). Disusunlah daftar penyebab kematian manusia untuk diatasi. Ada tiga: aging (penuaan), desease (penyakit), dan trauma. Maka, kulit jangan sampai keriput. Jangan kisut. Diciptakan obat anti-sakit untuk semua penyakit. Dan lebih canggih lagi, muncul teknologi mind uploading. Bagaimana mengamankan memori manusia agar tetap utuh terjaga, sehingga tidak pikun dan kehilangan kesadaran. Caranya, pikiran dan isi data otak manusia di-upload ke komputer. Mungkin teknisnya seperti meng-copy-paste data dari flashdisk ke komputer?! Hehehe. Teknologi ini tentu berada dalam paradigma yang memandang sesuatu secara biner. Mengandaikan segala sesuatu itu terpola menjadi dua hal yang saling berlawanan, dan meyakini salah satunya lebih baik dari yang lain. Logikanya: hidup itu baik, maka harus dipertahankan; dan mati itu buruk, maka harus diantisipasi. Mungkin untuk sofistikasi lebih lanjut, teknologi ini perlu menyempurnakan diri dengan meriset model keabadian ala Iblis, karena ia adalah makhluk yang diciptakan lebih dulu dari Adam dan sampai hari ini, sampai nanti masuk neraka juga akan tetap kekal.
Islam mengajarkan cakrawala yang lebih luas dalam memahami proses berkehidupan. Mati tidak dipahami sebagai lawan dari hidup. Mati adalah penyempurna kehidupan, maka ia dibahasakan oleh al-Qur’an sebagai “wafat”, yang artinya adalah “sempurna”. Kematian itu gerbang menuju kehidupan yang baru. Hidup dan alam kehidupan ini tidak hanya satu dan sekali saja bagi seorang muslim. Ada alam ruh, alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat. Kematian tidak dipahami sebagai keberakhiran, tapi justru keberlanjutan menuju kehidupan yang lebih baik. Meminjam kata Socrates, kita ini hidup untuk mati, dan mati untuk hidup. Dengan begini, seorang muslim diajarkan menempuh keabadian melalui kematian. Umar bin Abdul Aziz pernah berpidato: “Kalian diciptakan untuk keabadian! Dengan kematian, kalian hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.” Yang menarik lagi adalah ucapan Nabi: “Siapa yang suka dipanjangkan umur dan diluaskan rezekinya, maka bersilaturrahimlah”. Nah, ini teknologi tandingan untuk tren life extension yang ditempuh dengan obat-obatan kimiawi, anti-aging atau tetek bengek perawatan medis itu.
Ada satu cerita yang asyik. Suatu ketika, malaikat maut datang mau mencabut ruh Nabi Ibrahim as, yang dikenal dengan nama Khalil Allah (Kekasih Allah), kemudian nabi Ibrahim bertanya: “Adakah Kekasih mencabut ruh kekasih-Nya?” Malaikat—itu diilhami Allah—ganti membalas: “Adakah kekasih enggan menemui Kekasih-Nya?” Nabi Ibrahim tersenyum, dan kemudian dengan senang hati dicabut ruhnya.[1]
Wallahu a’lam
Ayiko Musashi
Klaten, 12 November 2011
.
[1] Diinspirasi oleh surat Al-Humazah, tulian M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian, Surga yang Dijanjikan Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2008), dan artikel di web mengenai isu “eternity” dan “immortality”.
Wah! Selamat ya atas blog barunya... Bagus sekali.. Salut!
BalasHapus