Sebuah proses pendidikan saya temukan indahnya melalui satu
penuturan seseorang.. Ia mengatakan bahwa kita melakukan pendidikan karena
ingin mengurusi 4 hal. Yang pertama adalah “Intellectual Coriousity”. Kemudian “Creative
Imagination”. Lalu “Art of Discovery”, dan bermuara pada pencapaian “Noble of
Attitude”. Walah! Menarik sekali konsep ini.
Saya sangat setuju. Kita menyelenggarakan pendidikan, tujuannya
adalah untuk menumbuhkan keingintahuan (intellectual coriousity). Jadi, sebenarnya,
setiap manusia sudah dibekali Tuhan bahan bakar untuk menjadi pandai. Takdirnya
adalah untuk menjadi tahu. Setiap manusia adalah generator pengetahuan. Nah,
bensin-solar penggeraknya itu tadi adalah rasa ingin tahu.
Orangtua, guru, atau siapapun kita, tidak perlu ngotot
mendoktrin mereka ini dan itu. Tidak usah susah-susah mendiktekan mereka ilmu
ini dan itu. Biarlah mereka yang akan menemukan. Tugas seorang pendidik adalah
menyalakan tombol “on” pada rasa ingin tahu anak didik. Dan generator
pengetahuan itu yang akan mencari sendiri dimana titik pusat keilmuan yang
mereka hajati bisa disambangi.
Kemudian Creative Imagination. Ini adalah cita-cita
yang menarik. Menumbuhkan imajinasi kreatif pada murid. Einstein yang jago
fisika itu pernah bilang: imajinasi itu lebih penting daripada ilmu pasti. Itu
jelas! Karena imajinasi adalah sumur ide. Imajinasi itu sendiri adalah penerawangan
untuk menghadirkan sesuatu yang belum ada di dunia nyata. Dan “ilmu pasti”-lah
yang nantinya menjadi pelayan dalam mewujudkan imajinasi tadi. Manusia berimajinasi terbang, lahir pesawat
terbang. Manusia berimajinasi ke bulan, muncul teknologi antariksa.
Jika pendidikan tidak mengurusi soal penumbuhan imajinasi,
dan justru asyik masyuk berkutat dalam dunia ilmu pasti, maka itu akan seperti seseorang
yang punya palu, gergaji, tang, obeng, meteran, dan mesin bor, tapi tidak tahu
akan membuat apa dengan semua bekal peralatan tersebut. Idelah yang pertama
kali harus ada. Visi yang mesti pertama diurusi. Perlu ada konsep atau tujuan
untuk berlabuh. Baru kemudian mencari alat-alat pendukungnya.
Art of Discovery, seni untuk menemukan sesuatu. Dengan
demikian, berpendidikan sama dengan menjadi makhluk yang produktif dan aktif. Karena
kerjanya adalah mencari, mencari, dan mencari. Selalu ada hasrat untuk
menemukan sesuatu yang bermanfaat. Gairah seni. Jadi, benar-benar sebuah aktifitas
yang luwes, menyenangkan, dan semuanya diukur dengan hati. Karena demikianlah
seni. Ia bertahta dalam kepekaan rasa, semangat menjelajah, coba-coba, dan kembali
sebagai persoalan kepuasan hati. Bagaimanapun caranya, kita akan berpikir
bersama untuk menemukan formula agar proses pendidikan bisa membuat peserta
didik kerasukan “Seni Menemukan Sesuatu”.
Dan kemudian, dipungkasi dengan “Noble of Attitude”. Dalam
kosa kata Islam yang familiar, kita menyebutnya “Akhlaqul Karimah”. Jadi, segala
yang tadi, ibarat kuda yang tangguh, gesit, dan ulung berlari, dan kita butuh
kendali kemudi yang disebut etika dan moral yang baik.
Syekh Abdul Qadir Jilani, dalam satu kitabnya, pernah mengutip
perkataan Abdullah ibnu al-Mubarak yang kira-kira begini: Jika ada seseorang yang memiliki ilmu klasik
sekaligus modern, tapi tidak beretika, maka aku tidak akan menyesal kehilangan
kesempatan bertemu dengannya. Tapi jika ada seseorang yang memiliki tatakrama
diri, maka aku sangat berharap bertemu dengannya dan akan menyesal jika kehilangan
kesempatan untuk itu.
Mungkin itulah kenapa Nabi mengatakan: innama bu’its-tu
li-utammima makaarimal akhlaq, Aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan keutamaan akhlak; dan
bukan li-utammima makaarimal ilmi (ilmu), apalagi makarimal
maal (harta). Cablek!
Ayiko Musashi,
KamarUngu, 2 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar