Tempo hari Kiya, teman saya, selesai membaca novel serial Serat
Centhini-nya Elizabeth Inandiak. Sebenarnya agak telat juga, tapi mud sedang
bagus, maka hajar saja. Kebetulan, dia ini sedang ingin tahu tema seputar seks
dan spiritualitas.
Maka pertama-tama, ia merujuk artikel dari Mbah Gugel, tapi kurang
memuaskan. Lalu buku pengantar Kamasutra dibaca. Di buku ini ia
baru dong bahwa dalam agama Hindu, seksualitas memiliki perhatian yang
lumayan. Ada konsep yang mirip Yin-Yang bernama Lingga-Yoni. Penjelasannya
agak kabur, tapi konsep itu cukup menjelaskan kenapa sampai ada candi di
Surakarta (?) yang isinya hanya simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan
saja. Ia juga sedikit nggeh bahwa kamasutra.ternyata tidak melulu
ngobrol soal pose, tapi juga pendasaran kesadaran, beda kualitas gradual antara
nafsu, cinta, dan kasih. Selain itu, ia ikut menimba ilmu meditasi Yoga, serta
pengenalan anatomi tubuh.
Setelah merasa cukup, dia pindah sudut pandang. Tapi kalau
ala Barat, sudah bosan. Terlalu komersil, katanya. Sesuatu yang di Timur diatur
tata-kramanya, di Barat malah jlab-jleb saja. Semua dibuat dan dijual sebagai
komoditas, karena laris manis memang. Bahkan dalam sebuah analisis, bisnis
kedua tertinggi setelah narkoba adalah ya film porno itu.
***
Ah, Serat Centhini…! Bukankah ini kamasutra versi Jawa?! Maka
cepat saja ia penasaran: apa tho yang ditinggalkan nenek moyang dahulu tentang
seks dan spiritualitas. Ia mulai membaca dengan harapan yang sedikit cabul. Ia
tunda dulu membaca naskah Arab yang setema, seperti Qurratul Uyun atau Uqudul
Lijain.
Buru-buru ia buka jilid pertama, judulnya Empat Puluh
Malam Satunya Hujan. Isinya bukan tentang tips dan trik bercinta, tapi malah
diskusi sufistik. Cerita tentang pengantin baru bernama Amongrogo dan
Tambangraras yang mengisi 40 malam pengantinnya dengan hanya bercengkrama soal-soal
ketuhanan dan filsafat jawa. Sampai kemudian pada malam ke 41 baru mereka
bergumul.
Masuk kemudian ke jilid kedua, Minggatnya Cebolang. Barulah
ia terjengkang-jengkang melihat bagaimana edannya cerita orang yang terjebak
dalam kubangan nafsu. Orang Jawa benar-benar liar! Mulai dari kumpul kebo, homo,
lesbong, atau dengan hewan semuanya sudah pernah ada di Jawa! Di bagian ini
pula dia dapati versi bahwa reog itu adalah sebentuk seni olok-olok atau pemberontakan
yang dilakukan penyair kerajaan Majapahit bernama Surya Bumi karena kecewa dengan
keputusan Raja Brawijaya untuk masuk Islam. Maka tarian reog dirancang sangat
kasar, dan gaya jogednya pun kekanak-kanakan untuk mengejek Raja Brawijaya. Selain
data sejarah, bagian ini juga sempat menyinggung alam pikiran Gatoloco atau Zakar
Kelana.
Jilid ketiga, Ia yang Memikul Raganya kembali ke gaya
sufistik. Disini lebih mengupas soal ide moksa. Lepas dari ketubuhan atau raga.
Juga saling-silang sejarah yang kreatif, seperti pertemuan Yudhistira (saudara
tertua dari Pandawa Lima) dengan Sunan Kalijaga soal Jimat Kalimasodo, penyebutan
Ajisaka sebagai murid langsung nabi Muhammad, hingga sejarah aksara Jawa yang ternyata
mengandung cerita unik. Terjemahan kasarnya kira-kira seperti ini: Hanacaraka,
ada dua utusan. Datasawala, yang sama-sama tidak mau mengalah. Padajayanya,
sama-sama sakti keduanya (bertarung). Magabatanga, (hingga akhirnya) mereka
berdua mati.
Bagian terakhir berjudul Nafsu Terakhir lagi-lagi bertutur
tentang pesan filosufistik bahwa keterbebasan diri dari raga bisa teraih hanya jika
diri sudah mampu melupakan Sang Aku. Inilah patokan yang ternyata tanpa
disadari sudah dilakukan oleh seorang abdi bernama Centhini. Ia begitu sibuk
melayani tuannya sampai-sampai lupa dengan dirinya sendiri. Berbeda dengan tokoh
Amongrogo yang sedari awal mendapat sorotan paling banyak. Ia begitu berambisi moksa.
Keinginannya begitu menonjol, sehingga tata lakunya, tapanya, olah pikir, kendali
rasa, hingga petikan pencerahan-pencerahannya malah berakhir berantakan, karena
Amongrogo gagal menaklukkan nafsu terakhir yakni nafsu ke-Aku-an.
Secara keseluruhan, Serat Centhini ini benar-benar
menarik. Ini karya yang lugas menyadur antara keliaran rendah nafsu birahi
dengan keluhuran narasi falsafah sufistik. Kontras dan ekstrimisitas yang elegan.
Imajinasi dan asosiasi yang kreatif. Demikianlah kira-kira teman saya
menyebutnya.
Ayiko Musashi,
Jombang, 05 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar