Membaca
tanpa berpiki, seperti makan tanpa mengunyah…
*
Betappaun
dahsyat badai, tak mampu mengguncang gelombang di relung sumur
*
Orang
yang berniat baik dan keliru, lebih baik
daripada
orang yang berniat buruk dan benar
lebih
baik semalam-malaman aku tidur dan paginya menyesal,
daripada
semalam-malaman aku beribadah dan paginya membanggakan diri
*
Semua
yang baru diinginkan
dan
semua yang sudah dimiliki membosankan
[ini
mirip sekali dengan gejala yang oleh seorang filsuf Perancis bernama Roland
Barthes sebut sebagai gejala neomania. Kecenderungan untuk mengejar sesuatu
yang serba baru. Ada mode pakaian baru, beli. Ada tipe hp baru, beli. Ada gaya
mobil baru, kredit. Dan macam-macam.
Tapi
hidup ini terbatasi oleh begitu banyak keterbatasan. Baik batasan material
maupun waktu, sehingga jika dipikir-pikir sejenak, maka menurutkan untuk menggapai-gapai
semua yang selalu baru adalah sesuatu yang meskipun sekilas mengasyikkan tapi
sungguh melelahkan dan tidak masuk akal. Bayangkan saja bagaimana rasanya
mengejar bayangan diri sendiri. Sebuah pekerjaan yang absurd dan tidak perlu,
sebenarnya.
Kondisi
psikis dari gejala neomania adalah kebalikan dari nuansa tenteram syukur. Yang
terjangkiti neomania pasti tak sempat punya waktu untuk memahami benar apa yang
sudah dimiliki. Belum sempat menghayati kehadiran yang sudah ada, tapi cepat
beranjak memburu sesuatu yang sebenarnya disadari bahwa akan ditelantarkan
juga.
Lalu,
apa motivasi dibalik gejala neomania? Jawabannya bisa beragam. Tapi disini aku
punya dua perspektif setidaknya. Pertama, dari sisi dalam, ini yang perlu kita
ketahui bersama bahwa betapa “hasrat memiliki” (possessiveness) itu begitu
kuat, sampai-sampai membuat seseorang kehilangan kontrol. Semacam hasrat yang menenggelamkan
kedaulatan diri seseorang.
Kemudian,
setelah hasrat tadi, bertemu dengan senyawa lain yang mengobarkannya, yakni
uang. Ada betulnya juga apa yang sudah pernah dikatakan oleh Karl Marx: “…uang
adalah sumber dari keterasingan manusia (alienasi)…. Siapapun saja yang
menggenggam uang di tanganya, pasti berpikir tentang akan dibelanjakan untuk
apa uang ini? Akan dikemanakan? Sederhanya, jika ada uang, orang pasti
terkondisikan untuk berpikir belanja.
Gayungpun
bersambut. Nun jauh diluar diri manusia, pabrik-pabrik terus meraung-raung. Menghamburkan
sejuta produk jualan. Komoditas dimana-mana. Over produksi dimana-mana, dan saat
itulah muncul sekawanan manusia yang berkumpul bermusyawarah bagaimana caranya orang-orang
mau membeli barang-barang yang telah dicetak ini. Bagaimana caranya meyakinkan
orang lain bahwa ia membutuhkan barang-barang ini. Bahwa barang ini berguna
bagi mereka. Bahwa yang sebenarnya tak perlu dan tak penting disihir sedemikian
rupa agar menjadi tampak seperti sesuatu yang penting untuk dimiliki, untuk
dikonsumsi. Maka lahirlah berjuta-juta iklan, propaganda mode, pencitraan, gaya
hidup ini dan itu, dan muacem-macem. Inilah gambaran dari konstruksi konsumsi
yang maha hebat, sehingga tak banyak orang merasakan bahwa dirinya sedang
disihir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar