030310, Sabtu. Halo! Pagi ini aku menemukan batas tipis
antara seorang penggerutu dengan orang yang merubah. Keduanya sama-sama
mengidentifikasi masalah dalam suatu waktu di suatu tempat. Sama-sama melihat
jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik itu dalam koridor ideal atau
realistisnya solusi itu untuk dilaksanakan.
Hanya kemudian menjadi berbeda, karena yang pertama hanya sampai
pada analisis masalah dan kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya pada tataran
wacana saja. Sedangkan yang kedua bergerak lebih jauh—setelah analisis dan
penemuan solusi—yakni, keberlanjutan pada aksi gerakan.
Seringkali nuansa ‘bergerak’ ini yang lebih dominan. Jadi,
tidak perlu menunggu analisa, prediksi, dan tetek bengek rencana-rencana
yang sangat matang sebelumnya. Cukup bergerak saja dulu yang lebih penting.
Soal perencanaan, analisa lebih lanjut, dan penanganan masalahnya dilakukan
sambil berjalan. Singkatnya, bergerak itu lebih penting daripada menunggu sebuah
analisis matang.
Tentu saja corak sikap seperti ini memiliki konteksnya
sendiri. Tidak bisa digeneralisir untuk semua keadaan dan di semua tempat. Al-hukmu
yaduru ma’al illah, demikian kira-kira kaidah berpikir Ushul Fiqh-nya.
Saya ingin menekankan tentang suatu konfigurasi berpikir.
Bahwa ternyata ada lho orang yang setelah menganalisa dan merancang
solusi malah sibuk menggerutu dan mengomelkan tentang ketidaksempurnaan realita
yang dihadapinya dengan bayang dan susunan realitas ideal di benaknya. Dengan
pola demikian, praktis hasil analisa hanyalah kayu bakar untuk menyalakan api
gerutu dan kesal berkobar-kobar. “Ini sih begini, coba kalau begini” “Itu tuh
mestinya seperti ini”. Kalimat-kalimat seperti ini saja yang terus diproduksi.
Alih-alih menyelesaikan masalah di luar diri, malah menambah beban masalah di
dalam diri sendiri dengan perasaan kecewa, penolakan, dan gerutu-gerutu yang
tidak perlu tadi. Nah, ini adalah tipe berpikir yang ‘intelektual-logis-rasional-tapi-hanya-ada-pada-level-wacana’.
Sedikit berbeda dengan yang barusan, model kedua ini
lebih realistis-pragmatis dan tanggap bergerak. Jika dibayangkan bahwa model
pertama mirip dengan gaya berpikir ala Hegel yang selalu mengawang-awang
dan melulu berorientasi pada kegiatan berpikir ansich, maka yang kedua
ini adalah gaya sikap ala Karl Marx. Setelah analisa cukup, gak usah
kakean lambe, ageh ndang dilakoni. Maka setelah analisa, muncullah strategi—bagian
yang tidak terumuskan jelas dalam model bepikir pertama.
Dengan pola seperti ini, praktis seseorang langsung
berhadap-hadapan dengan masalah. Apa yang dianggap tidak atau kurang tepat
langsung ditangani, diolah, dan dimodifikasi sedemikian rupa agar sejalan
dengan cita-cita dan gambar ideal di benaknya. Jikapun toh masalahnya
terlampau berat dan hasilnya masih jauh dari capaian yang dituju, maka tidak
menjadi masalah. Masih ada perasaan positif yang menempel di diri, karena ia
tahu setidaknya ia sudah mencoba. Ia sudah membuktikan pada dirinya sendiri
bahwa ia tidak sebegitu pagi menyerah. Ini adalah harga untuk sebuah diri.
Begitu.
Ayiko Musashi,
03 April 2010
Pagi ini aku merasa berani karena musik. I know now why God
create everything so musical. Hehehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar