Silk. Yap! Tadi baru saja aku selesai lihat film ini di
Metro TV. Ini film soal hantu. Sepertinya kok horror, tapi pasti ada sisi
menariknya sehingga Metro menayangkan film ini. Hehehe. Pertimbangku sederhana:
Metro TV selalu mencitrakan dirinya sebagai stasiun televise yang mendidik
bangsanya maju. Peduli dengan informasi dan tayangan yang bermutu. Maka pasti
ada nilai yang coba disuguhkan Metro dalam film Silk sehingga ia masuk dalam
program World Cinema.
Tebakan dan harapanku tidak meleset. Film ini cerdas
penggarapan isi ceritanya. Suspense-nya juga bagus. Meski nuansanya tetap
horror tapi ia tidak memanjakan sensasi kejutan-kejutan yang sudah pop dalam
genre film horror biasanya. Jadi, seremnya yang tetap serem. Wong namanya juga
film hantu. Masak nuansanya ceria dan rame?! Hehehe.
Garis penting yang membuat aku ngeh dengan film ini
adalah persinggungannya soal kehidupan. Perspektif yang digunakan adalah dunia
hantu tapi kemudian itu hanya digunakan sebagai komparasi dan setting untuk
menilai kembali kehidupan yang kita jalani. Jadi, ini bukan film bercerita
tentang hantu, tapi film tentang sudut kehidupan yang frame untuk menuju
konklusinya berjalan berputar melewati sebuah fenomena hantu.
Ada dua tokoh disana. Yang satu merasa hidup ini terlalu
menyusahkan. Ia selalu berhasrat untuk mati karena tidak tahan dengan ketidak
sempurnaan hidup yang ia jalani, dan beban yang harus ia tanggung karena tidak
sempurna tadi. Ia memandang bahwa kematian adalah jalan mengakhiri semua itu.
Tapi belum cukup begitu. Ia meneliti hantu yang berujud anak kecil. Sekian lama
ia tekuni, amati, dan kemudian ia merasa iri dengan sang hantu. Ia merasa bahwa
menjadi hantu itu lebih mudah. Mulailah ia merancang kematiannya yang tepat:
mati disertai kebencian yang memuncak. Sebab, dari hasil observasi, ia
menyimpulkan bahwa “enaknya” hidup sang hantu tadi adalah karena ia memendam
kebencian yang sangat kepada ibunya.
Nah, berbeda dengan tokoh yang satunya lagi. Pacarnya
cuakep. Anggun. Bicaranya lembut. Suit-suit! Hehehe. Bukan itu maksudku. Ia bergulat
dengan dunia hantu yang sama dengan tokoh sebelumnya karena ia sendiri memang
rekanan. Tapi konklusinya berbeda dengan rekannya tadi. Ia malah menyimpulkan
bahwa hantu sang anak yang diobservasi tadi bertahan di dunia sekian hari[1] justru
karena cintanya kepada sang ibu. Dari sini sang tokoh paham bahwa ibunya yang
kritis tetapi tidak kunjung meninggal bukanlah sebab ibunya membenci, tapi
justru ibunya masih teramat cinta untuk meninggalkan anaknya. Sehingga ia tidak
kunjung meninggal, dan kemudian disalah artikan sebelumnya oleh sang anak bahwa
ibunya sangat menderita karena koma tersebut, dan sempat terpikir untuk
membunuh ibunya sendiri demi mengakhiri penderitaan sang ibu. Tetapi ini semua
adalah perkiraan dan rasionalisasi yang keliru.
Dua tokoh ini sebenarnya adalah orang yang keliru
menafsirkan sesuatu. Keterbatasan data yang terbaca dan pengolahannya-lah titik
masalahnya. Wah! Ini bisa kita perbncangkan lebih jauh sampai epistemology jika
begini. Hehehe. Masalahnya, mereka berdua menyimpulkan sesuatu hanya dari apa
yang tampak oleh indera mereka. Jadi, nuansa analisa dan corak berpikir kedua
tokoh ini digambarkan sebagai positivistik dan menganut paham empirisme. Bedanya,
tokoh pertama terburu menyimpulkan dan ternyata salah. Sedangkan tokoh kedua
awalnya salah karena sebab yang sama, tapi untung masih punya peluang
menemukan kepingan puzzle lain yang melengkapi analisanya dan kemudian
merubah konklusinya secara ekstrim.
Lantas apa yang mereka lupakan? Apa yang luput mereka
pertimbangkan dalam menganalisa masalah? Jawabannya adalah: keberadaan dan
peranan cinta kasih ibu-anak, dalam kasus ini. Yap! Inilah daya kehidupan.
Inilah yang membuat seseorang mampu bertahan, meskipun hantu sekalipun. Hehehe.
Begitulah. Aku mungkin kurang bisa merunutkan sistematika
dan koneksi satu clue dengan lainnya dalam tulisan ini. It’s ok. Ini
sekedar rekaman dan bentuk apresiasiku untuk menghargai film yang cukup
inspiratif. Kreatif dalam membidik masalah dari ruang, sudut, dan dimensi yang
lain.
NB: hal yang paling menjengkelkan ketika nonton film horor
adalah capek ketika emosi terus diteror dengan bunyi-bunyian sunyi dan kaget
mendadak yang tiba-tiba. Hehehe. Tapi aku punya trik. Aku lihat filmnya sambil
bawa gitar. Nah. Setiap kali mendekati adegan yang tegang, aku selalu mainkan riff
lagu funk yang cenderung ceria dan rame. Hahaha. Aku gak mau dihipnotis.
Aku gak mau dikondisikan oleh backsound filmnya. Jadi aku lawan dengan
suara gitar funk-ku. Hasilnya? Bagus! Aku lebih bisa menakar perasaanku.
Emosiku juga relative tenang. Tidak hanyut tegang, apalagi kaget. Hehehe.
Nakal, ya? Ah enggak juga. Aku kan mau nikmati content dan pesan
filmnya. Aku nonton bukan untuk di-bego-bego-in. Dikaget-kaget-in. hahaha! Enak
aja!
Tapi satu pelajaran yang sangat penting. Suara berperan
lebih besar daripada penglihatan. Buktinya, aku masih bisa tenang melihat
adegan-adegan serem tetapi dengan backsound yang ceria, daripada
mendengar suara-suara serem meskipun tanpa visualisasi. Nah! Apa coba?!
Ini penting! Bukan main-main. Sabrang Noe, vokalis
Letto, juga pernah menulis tentang peranan penting backsound dalam
membangun suasana dan nuansa di film Naruto. Dan lagi, penyebutan telinga
selalu mendahului mata di setiap kali ayat al-Qur’an menyebut keduanya. Urutan
ini tentu punya makna dan mengisyaratkan letak-peran kedua indera tersebut. Aku
hubungkan lagi dengan penelitianku belakangan ini tentang Seni Visual
Al-Qur’an. Dari hasil sementara, aku bisa melihat, dengan membandingkan hasil
riset yang sebelumnya tentang Musikalitas al-Qur’an, fungsi dan letak mukjizat
al-Qur’an masih bersifat divine-given dalam aspek suaranya, tapi dalam
bentuk susunan huruf dan kemasan mushaf (sebagai representasi visualnya) bisa
dikatakan lebih banyak diisi oleh peran olah pikir dan kreatifitas sang
manusianya. Lihat juga uraian dua artikel Cak Nun mengenai hal ini. Suara dan
telinga.
Ah, menarik sekali. Ya Allah, saya mau pelajari ini. The Art
of Listening.
[1]
Menurut film ini, arwah seseorang yang mati tidak akan bertahan lebih dari
semenit di dunia ini. Ini akan menghilang “sebesar apapun engkau mencintai
dunia. Sebesar apapun dunia mencintaimu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar