Munich. Ini cerita tentang Mossad. Semacam intelejen untuk
israel, seperti CIA di amerika, KGB di rusia, atau BIN di Indonesia. 5 orang
mempunyai misi untuk menghabisi 11 orang yang disebut sebagai teroris arab yang
terlibat dalam kejadian penembakan 2 orang Israel di olimpiade Munich tahun
sekian.
Sutradara film ini adalah Steven Spielberg, sutradara piawai
yang sering mengangkat tema soal Yahudi. Entah bagaimana ending film
ini. Aku baru sampai di tengah, dan sekarang saatnya untuk Pecel Time. Hahaha.
Yang melintas di kepalaku adalah misi, uang berlimpah untuk
membunuh; dengan menembak atau meledakkan bom, dan sekelompok orang yang
bergerak diam-diam dengan identitas yang sudah dihapus tapi kucuran dana
besar-besaran tidak berhenti mengalir. Ah. Hidup di dunia ini sepertinya muter
di masalah nasionalisme, unjuk kekuatan, dendam, fanatisme, uang, pistol, bom,
dan membunuh. Wuih! Dahsyat.
Ini dulu.
Ayiko Musashi –
31102009
To bo continued…
Syip. Aku baru saja menyelesaikan film Munich. Bagus. Steven
Spielberg cukup bagus dalam memberikan deskripsi dan proporsi masalah yang
diangkat. Seperti ketika mendeskripsikan tentang ketegangan Palestina-Israel.
Hal-hal yang berkecamuk di kepala masing-masing dipaparkan secara proporsional,
tanpa penghakiman. Seolah Steve ini ingin membuat jembatan diantara dua konflik
yang selama ini belum kelar. Paling tidak Steve telah memulainya.
Yang kedua adalah sorotan psikologis dan keyakinan seorang Avner,
pemimpin dalam misi pembunuhan 11 orang Palestina yang dianggap teroris oleh
beberapa pejabat Israel. Avner adalah seorang suami yang mempunyai istri dan
seorang anak perempuan yang masih kecil. Motivasi Avner menjadi anggota Mossad
dalam misi ini adalah juga untuk menghidupi keluarganya.
Misi dimulai. Avner dihilangkan identitasnya, menjalankan
misi dengan dana yang berlimpah. Hamper setiap target yang dibunuh menghabiskan
biaya 200 dollar. Puihh, lumayan mahal, bukan?!
Satu-dua-tiga sampai lima target telah Avner habisi. Tiba
pada yang keenam dan selanjutnya Avner mulai kehilangan beberapa temannya.
Mereka terbunuh diam-diam, dan saat itulah Avner mempertanyakan apa sebenarnya yang
telah dan sedang ia lakukan. Ia merasa telah menjadi seorang pembunuh. Bahkan
ia pun mengidap paranoid. Ia merasa takut dengan setiap modus pembunuhan target
yang ia dan teman-temannya pernah lakukan; mulai dari memasang bom, menyergap,
memberondong ketika mereka masih tidur bersama istri, dan lain-lain.
Bagian terbaik dalam film Munich menurutku terletak pada
dialog di akhir film. Avner bertemu dengan seorang pejabat tinggi Mossad, dan
ia utarakan pikirannya bahwa tidak ada kedamaian setelah target-target dalam
misi rahasia tersebut terbunuh. Akan ada orang-orang lain yang lebih kejam yang
akan menggantikan mereka. Secara halus, Avner tidak menyetujui misi yang telah
ia lakukan. Ia sama sekali tidak merasa bangga atas apapun, meski banyak orang
memuji-muji dirinya. Di sisi lain, sang pejabat tadi berkata, jika orang-orang
itu hidup, maka orang Israel mati. Nah! Sampai disini aku melihat semacam
solilukui bangsa Israel. Geremengan, dan unek-unek yang perlu mereka
pikirkan masak-masak. Menarik.
Hal lainnya adalah, aku bias melihat bagaimana seorang Avner
hanyalah skrup dalam sebuah sistem Avner
sebenarnya hanyalah alat. Benar apa yang telah dikatakan ibunya, “Kamu telah
kehilangan banyak hal, Avner”. Karena kenyataannya, Avner tak pernah tahu apa
benar 7 orang yang telah ia bunuh ada keterkaitan dengan peristiwa di Munich.
Ia tidak mempunyai akses untuk menjawab pertanyaan itu. Avner seperti peluru
yang melaju begitu saja ketika seseorang telah menekan picu. Avner seperti
peluru, tapi kemudian ia rindu menjadi seorang suami, menjadi seorang ayah,
menjadi manusia.
Keren!
Ayiko Musashi
011109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar