The Hurt Locker. Sebuah cerita tentang Irak yang kacau-penuh
teror bom pasca invasi Amerika dan seorang penjinak bom bernama James. Ia
mempunyai sisa masa tugas 36 hari
sebelum rotasi. Deskripsi hari James adalah menjinakkan bom. Seringkali ia
berhasil, meski juga ada yang tetap meledak. Setidaknya, dari sekian ratus bom
yang telah didatanginya belum membuat James kehilangan nyawa.
Ada banyak korban, baik rekan se-tim atau penduduk sipil. Mayat
yang terpencar, darah, dan kematian. Sebuah kondisi sehari-hari yang tentu saja
bisa membuat orang menjadi gila. Tapi tidak bagi James. Bukan soal ia tak punya
perasaan, tapi hanya itulah yang James bisa lakukan dalam hidupnya. Sesuatu
yang ia sukai, yakni menjinakkan bom.
Rekan James selalu heran melihat aksi kenekatannya. Betapa ia
tidak terlihat khawatir kehilangan nyawanya. Setiap saat, kesalahan kecil, atau
sesuatu yang terselip sedikit saja tentu akan fatal akibatnya. James selalu hanya
berjarak se-inci saja dari kematian setiap kali bertugas. Itulah yang
dipikirkan oleh rekan-rekannya. Tapi mengapa James terlihat sedemikian tenang? Jawabannya
adalah karena James hanya melakukannya saja. Tidak berpikir tentangnya.
Bagian lain yang menarik dari film ini adalah saat seorang
sipil yang tubuhnya diikat dengan tatanan bom memeluk tubuhnya. Semua personil
berjaga, mengamankan keadaan dari radius yang aman. James datang, dan ia pun
mulai bertugas. Tapi ia gagal menjinakkannya. Bom terlalu banyak, gembok tidak
bisa dibuka untuk melepaskan ikatan bom, dan waktu penghitung mundur hanya
tinggal dua menit lagi.
Praktis James harus bertindak realistis. Ia meminta maaf
karena tidak bisa menyelamatkan nyawa sipil tersebut, dan kemudian sebuah kamera
close-up menangkap seraut wajah yang hanya bisa berpasrah pada takdir
dan kematian. Dengan sebuah kepsrahan yang total ia mengucap syahadat dengan
sedemikian khusyuk.
Ah! Alangkah puitisnya momen tersebut. Apa lagi yang dimiliki
seseorang untuk diucapkan ketika ia tahu kematian hanya tinggal lima detik
mendekapnya? Maka menurutku, momen seperti tadi adalah momen yang sangat
eksistensial, puitis, dan sebuah kesadaran akan kepulangan yang hakiki.
Ayiko Musashi,
23 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar