Kemarin malam saya punya obrolan yang menarik dengan seorang
teman. Tentang tahu-beraksi-ikhlas. Ternyata tiga hal tersebut adalah
sebuah proses berkesinambungan yang berundak. Seperti tangga, yang jika
digambar, maka di anak tangga terbawah ada manusia, kemudian naik satu tingkat
ke atas ada level yang bernama tahu. Naik satu anak tangga lagi sampai
di level beraksi. Dan kemudian anak tangga tertinggi adalah level ikhlas.
Undakan tersebut menyiratkan bahwa antara tahu, beraksi, dan
ikhlas bukanlah sesuatu yang bersifat otomatis, melainkan sesuatu yang
membutuhkan perjuangan gradual pada tiap levelnya. Maksud saya, ketika orang tahu
akan sesuatu, itu tidak lantas membuatnya beraksi melakukan apa yang
diketahui. Maka pengetahuan itu satu hal, dan aksi melakukan apa yang diketahui
itu adalah hal yang lain.
Saya terhenyak menyadari bahwa tahu dan beraksi itu
adalah level yang berbeda. Ini yang pertama kali saya tangkap dari ide filsuf
Denmark bernama Søren Aabye Kierkegaard. Hmm. Kemudian saya kroscek diri saya
sendiri. Apa yang saya tahu? Saya tahu pentingnya disiplin waktu, mulai dari
filosofi atau manajemennya; saya juga tahu bahwa tubuh saya butuh olah raga;
saya tahu solat subuh mesti sesuai waktu subuh, bukan dluha, dan saya tahu
hal-hal lain yang banyak lagi. Oke. Tapi, dari yang banyak yang saya tahu tadi
ternyata baru sedikit sekali yang sudah saya amalkan (aksi). Alamak!
***
Beraksi adalah wilayah after knowledge, apa yang
terjadi setelah tahu. Ini penting dibicarakan. Karena orientasi
pendidikan kita saat ini menurut saya masih asyik berkutat di wilayah knowledge
saja sebagai capaian finalnya. Berarti, di antara tiga ranah
pendidikan—kognisi, psikomotorik, dan afeksi—praktis hanya kognisi saja yang
baru diurus.
Sehingga, misal, dulu ketika belajar PMP (Pendidikan Moral
Pancasila) semua murid di kelas fasih mengulang barisan kalimat tentang
tolong-menolong, gotong royong, membantu ibu, toleransi, tenggang rasa,
menghormati aturan, tidak mencuri, tidak berbohong, dan segala macam. Semua
kita seolah menjadi anak-anak manis yang baik, bermoral, saleh, dan “tidak
berbahaya”, di lembar jawaban ujian. Tapi, mengapa lain kemudian tindak yang
berlaku di nyata kehidupan?
Seolah ada gap. Ada jurang antara pengetahuan yang
sudah kita simpan di otak dengan laku hidup riil yang terjadi
sehari-hari.
Permasalahan seperti ini mungkin bukan hanya soal pendidikan
saja, tapi, seperti yang pernah Kierkegaard sampaikan, juga soal momen-momen
otentik hidup yang sifatnya sangat pribadi. Setiap kita, setelah tahu,
akan selalu masih mempunyai pekerjaan dan keharusan untuk memutuskan: sikap dan
tindakan seperti apa yang akan kita pilih dalam menghadapi beragam kenyataan
hidup ini. Jika untuk tahu, kita mendayagunakan akal, maka pada
momen memilih sikap dan tindakan seperti ini, hati dan nurani kitalah yang
kemudian bekerja menentukan.
Jadi, setelah tahu itu ada undakan beraksi. Dan
ternyata belum selesai di situ. Satu undakan terakhir juga mesti didaki, yakni
ikhlas. Nah, sampai di sini pembicaraan menjadi semakin abstrak. Karena kita
memasuki bilik yang semakin dalam dari wilayah hati. Ranah yang logikanya masih
samar bagi saya. Maka dari itu saya mohon maaf, karena tidak bisa bicara apapun
tentang level bernama ikhlas ini. Meski jelas inilah stage final yang harus
dicapai untuk menyempurnakan semua tahu dan aksi kita.
Dengan alur demikian, proses belajar (dalam hal apapun)
menjadi sebuah proses yang tidak dangkal. Karena pertama, orang harus belajar
untuk tahu. Kemudian belajar untuk beraksi. Dan dipungkasi dengan
belajar untuk ikhlas. Fa idza faraghta fanshab, begitu kira-kira
semangatnya. Persis seperti sebuah pernyataan—entah hadis atau ucapan
para sufi—yang berbunyi: semua orang akan binasa kecuali orang-orang yang
berilmu (alimun). Dan semua orang yang berilmu akan binasa kecuali
orang-orang yang mengamalkan ilmunya (amilun). Dan kemudian semua orang
yang mengamalkan ilmunyapun akan binasa kecuali orang-orang yang ikhlas (mukhlisun).
Bah! Mantap sekali itu!
Ayiko Musashi,
Sapen, 13 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar