Kenapa orang sok serius kalau menulis puisi? Kenapa bahasanya
aneh? Tidak seperti bahasa ngobrol sehari-hari. Kok berpuisi itu seperti orang sedang
bersolek diri, tapi seringkali wagu-kaku-dan lucu. Bicaranya
patah-patah. Gelap dan entah apa maunya. Kenapa begitu ya?
Jangan-jangan, berpuisi itu adalah hasrat untuk tampil (sok)
seniman. Jadi, berpuisi itu kemudian jatuh hanya sebagai simbol-mode-atribut
“seniman”, seperti celana (di)robek atau rambut gondrong?! Benarkah begitu?
Mungkin saya ini yang tidak peka rasa sehingga tidak bisa
menyelami makna berpuisi. Tapi kok banyak orang ngerasa sama dengan saya? Coba
saya raba-raba dulu: kenapa sih orang berpuisi? Mmm.. Mungkin memang ada
momen-momen di mana makna harus ditiupkan ke dalam kata-kata yang tak biasa.
Atau mungkin, biarkan sajalah orang mau berpuisi atas dasar seperti apa saja.
Yang penting enggak nyolong! Gitu saja kok repot?!
Tapi sebentar. Kata para guru, puisi itu adalah salah satu kepingan
karsa-karya estetis manusia. Puisi itu juga yang mampu mewadahi makna dan
perasaan yang tak kuasa diemban kalimat normal dengan sekian aturan gramatika
liniernya. Puisi itu bisa mengasah kepekaan dan naluri titen (mengingat)
manusia akan momen menep e banyu sing buthek. Jadi, puisi itu sebentuk
sublimasi.
It’s ok. Tapi, itu semua adalah puisi di luar diri saya. Konsep yang saya tidak
urun rembug di dalamnya. Maka saya ingin kenal puisi secara terlibat dan
mengalaminya sendiri.
Dulu saya menyangka, kalau puisi itu adalah kesempatan untuk
menyebut keberadaan hal-hal yang sering terlupa (atau sengaja dilupakan) dalam
kehidupan. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, mungkin hidup saya
sudah kadung nyemplung dalam sebuah rutinitas yang lengkap dengan dunianya
yang monoton.
Sehingga, kosa kata hidup saya menjadi sangat-sangat-sangat
sempit, dan amat fakir serta miskin. Sehari-hari saya mungkin hanya tahu kopi,
komputer, hp, musik, novel, ngobrol, mandi, pecel, desain, ngutang, download,
tv, miyabi, nunggu kiriman uang, cewek, atau lainnya.
Lihat, bagaimana saya lupa bahwa hidup dan dunia ini tidak
sesempit itu. Alangkah sungguh menyedihkannya hidup sekali yang sedemikian
tadi!
Saya lupa bahwa setiap
detik di angkasa raya ada bintang yang bersinar sangat terang karena meledakkan
dirinya—yang kemudian kita sebut supernova. Saya lupa bahwa di samudera
Atlantik ada palung Mariana yang begitu dalam; belum terselami dan terungkap
kehidupan macam apa yang ada di sana. Saya juga lupa bahwa saya hidup bersama
ibu-ibu penjual sayur yang sudah bekerja sejak jam dua pagi; masalah pengangguran,
anak jalanan, penggusuran, nasib pendidikan, atau tentang semrawut-nya masalah
di negara ini.
Bahkan, tidak usah yang jauh dan besar-besar seperti itu,
saya ini sering lupa bahwa hidup saya yang seorang ini ternyata ditopang oleh
milyaran sel yang bekerjasama secara terorganisir, ikhlas dan tak peduli soal
publikasi dan citra. Tanpa ba-bi-bu dan a-i-u, mereka tekun
bekerja demi kelangsungan hidup saya
Saya lupa menyebut mata, telinga, lidah, kulit, dan mulut,
yang senantiasa setia menjadi pintu diri untuk terlibat dan hadir ke dunia.
Bahkan jantung yang terus berdegup tanpa lelah ini hanya sekian kali saja melayang
saya sebut sebagai kata.
(ber) Puisi bagi saya kemudian adalah menyebut semua yang
sering terlupa. Puisi adalah alat untuk melawan lupa (diri). Puisi adalah salah
satu cara untuk mengembang, dan merasakan kehadiran semesta. Segalanya. Jagad
angkasa yang luas tak berbatas hingga renik kecil yang belum mampu
terdefinisikan volume klimaksnya.
(ber) Puisi adalah salah satu cara meraih posisi sadar. Bahwa
saya tidak sendiri. Saya ada bersama bermilyar-milyar “ada” lainnya. Saya perlu
menyebutnya dalam kata. Karena bukankah kata juga yang menjadi penanda sesuatu
ada?!
Mungkin pada tingkat kelipatan kerja puisi yang seperti ini,
puisi itu selaku tarekat melawan lupa akan Ia yang menjadikan segala ada.
Dengan begitu, kadang seorang sufi hanya tahu satu kata untuk sebuah puisi yang
terindah dalam hidupnya, yakni “Allah….”
Mungkin (ber) puisi itu seperti acara mendaki gunung yang
dilakukan untuk menyelahi, atau untuk keluar dan nyembul dari
rutinitas-formal-seremonialistik keseharian hidup yang sudah sedemikian monoton
seperti mesin. Maka, (ber) puisi juga yang bisa menyelamatkan saya dari kutukan
mesinisitas hidup dan kembali menjadi manusia.
Semoga demikian. Saya ingin berguru, bagaimana puisi dalam
hidup anda?
Ayiko Musashi, 03 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar