Name of The Rose. Satu lagi cerita tentang pembunuhan
berantai. Kali ini tidak seperti film Seven atau Bone Collector, motifnya
adalah karena teologi keagamaan. Yang menjadi sang detektif bernama William
dari Baskerville. Ia diundang ke suatu biara tua terpencil milik ordo Kristen
entah apa namanya.
Telah terjadi pembunuhan yang aneh. Dalam beberapa hari
William langsung bekerja dan mencoba mengenali tempat, kejadian, dan
orang-orang tempat dia bertugas. Dengan kepekaan dan kejeliannya ia mulai
mendapatkan pola di setiap pembunuhan. Mereka yang mati hamper selalu dengan
salah satu jari dan lidah yang menghitam.
William mulai mengerti kemana ia harus memulai pengusutannya.
Ia mencurigai sesuatu di perpustakaan biara itu—dan biara tua ini memang
disegani, salah satunya, karena kelengkapan koleksi buku diperpustakaannya. Perkiraan
William semakin menjadi ketika ia tidak diperbolehkan memasuki salah satu
ruangan di dalam perpustakaan tersebut.
Setelah melalui beberapa halangan, William mulai menemukan
tanda-tanda (simbol) yang menuntunnya kedalam rahasia di balik setiap
pembunuhan itu. Ternyata ada lorong tersembunyi yang mengarah kepada ruang
khusus menyimpan buku-buku ‘terlarang’. Di sinilah William tahu ada satu buku yang
sangat-sangat dirahasiakan.
William benar. Dan ia bertemu dengan sang pembunuh berantai
yang ternyata adalah salah satu pembesar biara itu sendiri. Ia mengatakan
kepada William bahwa buku itu terlalu berbahaya. “Komedi adalah sesuatu yang
berbahaya karena ia akan membuat kita tertawa. Dan jika tertawa kita tidak lagi
merasakan takut. Dan iman tidak akan ada maknanya tanpa rasa takut”, demikian
tuturnya. Jadi ia melumuri setiap halaman buku tersebut sehingga semua yang
menyentuhnya akan mati teracuni.
William mencoba mengajaknya berdiskusi tapi tak bisa. Sang
pembunuh itu langsung berlari membawa buku terlarang tersebut dan memakan
setiap halamannya. Ia mengorbankan dirinya untuk buku itu. Dan beberapa saat
kemudian ia membakar seluruh buku di ruangan rahasia tersebut hingga dirinya
sendiri akhirnya terbakar.William menyuruh Adso, muridnya keluar. William masih
berada di ruangan dalam kepungan api, dan mencoba sebisanya menyelamatkan buku
agar tak terbakar.
Ada dua perbedaan dalam kejadian itu. Satu orang berhasrat
memusnahkan buku karena keyakinannya, dan yang lain mencoba sebisanya
menyelamatkan buku karena alas an penghargaan intelektual.
Apapun itu, di setiap kasus pembunuhan berantai selalu saja
ada pikiran ‘matang’ yang melandasinya sehingga dapat terjadi sedemikian
sistematis. Tapi justru karena ini pula, bagi seorang detektif ulung,
pembunuhan itu menunjukkan sebuah pola yang semakin lama semakin jelas siapa
perancangnya. Nah, yang bisa dipelajari adalah, mari kita menjadi orang yang
pandai dan peka agar tak mudah merasa bodoh atau dibodohi. Hahaha.
27 Oktober 2009 │ Ayiko Musashi
NB: Filmyang digarap atas inspirasi novel Name Of The Rose
milik Umberto Eco ini digarap dengan nuansa suspensi yang cukup tegang. Hamper
dalam banyak kesempatan scene pencahayaannya selalu gelap dan malam.
Ditambah tanpa ada banyak ilustrasi musik yang berarti, atau jeda tema dalam
jalinan cerita. Catatan yang kedua adalah aku suka dengan karakter tokoh
William yang selalu tenang dan bijaksana dalam menanggapi banyak hal. Ketenangan,
kebijaksanaan, dan kepekaan detektif inilah yang membuat seorang William menjadi
citra yang menarik dicontoh bagi diriku. Nah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar