Blues
Bagaimana jika seandainya hidupku ini kubuat menjadi seperti
musik blues?, katamu.
Ah, sore itu hamper menjelang senja. Intensitas cahayanya
redup tertutup awan setelah sekian siang panas mendera bukan kepalang. Dedaunan
kecil di depan pintu kamar melambai dibelai angin. Kau juga tahu kamarku saat
itu sangat rock n roll. Hahaha! Buku berserakan. Sampah. Lembar kertas
bekas yang dibaliknya kutulisi apapun yang ingin kutulis. Kabel tape, charger
handphone, heater, menjulur kesana kemari. Asbak menggunung, bungkus rokok,
korek api, dan secangkir gelas kopi tadi pagi. Koran bekas, bantal rombeng,
baju bertekuk di pintu lemari, laptop, sorban, helm, dan dinding penuh tempelan
gambar yang di beberapa bagiannya mengelupas lepas tak sempurna. Alamak.
Tiba-tiba kau bertanya “Bagaimana jika seandainya hidupku ini
kubuat menjadi seperti musik blues?”. Ah, indahnya.
Blues itu berarti menari dengan sepenuh hati. Menjadi jujur
tentang perasaanmu. Sebuah perasaan yang hanya perasaan saja. Tanpa
embel-embel apapun. Allah, abstrak sekali. Seolah, jika kau mau nge-blues
maka meliuklah. Nikmati perasaan murni yang kau rasa. O o o, jangan. Jangan
libatkan pikiranmu. Sudah, istirahatkan saja prejudice dan segala
kesejarahanmu. Ini saatnya memenuhi panggilan hati. Hati, emosi, dan dirimu
se-diri-diri-mu. Nah!
Terlibat dan menyelamlah ke dalam nuansa ritmis blues, dan
kenali dirimu. Peluklah ia dalam segala luka dan lupanya. Membaurlah dalam
suara tawanya. Teriakan bangga dan pekik pedihnya. Ow…
“Ya Tuhan…Jika ada yang bias kumuntahkan, kristalisasi
kekaguman dan kenyataan diriku yang bangga menjadi bagian keindahan ini serta.
Jikalau ada..” Demikian bisikku dalam hati. Entah. Apakah kau mendengar bisik
itu?
Kemudian…
Sudah begini. Jika kau memang bermaksud demikian, lafalkan saja
ini: nawaitu nge-blues lillahi ta’ala.
231009
Ayiko Musashi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar