Vantage Point. Film action yang lumayan bagus penggarapan
visual dan penyajian ceritanya. Film ini sebenarnya bercerita tentang satu
waktu, satu peristiwa, dan satu tempat yang disuguhkan dengan beragam frame melalui
silang sengkarut keterkaitan dan kepentingan banyak orang yang terlibat di
dalam satu kejadian tadi. Hal yang menarik adalah efek flashback dari
setiap penuturan cerita. Jadi, setiap permulaan ditampilkan melalui frame satu
orang. Dari sini, struktur ceritanya mampu menciptakan pertanyaan dan teka-teki
baik bagi salah satu pemain ataupun bagi penontonnya itu sendiri.
Setiap kali selesai satu frame yang tidak lengkap, jam
digital akan diputar ulang pada jam 12, tapi menyorot kejadian dan peristiwa
yang dialami orang lain. Begitu setersnya yang terjadi. Sehingga perlahan-lahan
teka-teki di awal cerita menjadi terurai sedikit demi sedikit—dengan mulai lengkapnya
kepingan-kepingan frame yang lain.
Nah! Sampai disini film ini sudah cukup kreatif dalam
menciptakan efek tertentu dengan manipulasi struktur cerita. Akan tetapi yang
lebih menarik lagi adalah, cara sang sutradara ketika mengaitkan satu peristiwa
dengan peristiwa yang lain, antara satu orang dengan orang yang lain, antara
satu kepentingan dengan kepentingan yang lain. Bonjorno! Disinilah
kompleksitasnya mulai terasa menggigit, karena semakin lama penonton semakin
mengerti bahwa beberapa sudut yang ditampilkan mulai saling menjelaskan satu
sama lain.
Aku pikir teknik ini juga bisa diresapi sebagai sebuah
renungan filosofis tentang bagaimana sebenarnya cara kerja dan fakta mengenai
kebenaran dan kenyataan. Yah.. tidak jauh seperti yang dialami oleh para tokoh
dalam film tadi. Masing-masing orang ternyata hanya tahu sedikit saja dari apa
yang sebenarnya sedang terjadi. Kita benar-benar tidak menyadari dan menyangka
bahwa begitu ruimitnya jalinan kehidupan satu dengan yang lain. Segala hal di
dunia ini memang terkait. Dengan memahami dan menyelami keterkaitan inilah kita
bisa menemukan jalan untuk tahu dan sadar akan sesuatu secara baik, tidak
sempit.
Terlepas dari segala kelebihan dan kreatifitas tadi, sayang
sekali ending film ini terasa hambar. Ketegangan dan titik kulminasi
teka-teki dan ketegangan yang sudah dibangun sejak dari awal menjadi lumer
karena berhenti begitu saja, dan berakhir happy ending ala sinetron. Padahal,
jika film ini berakhir dengan tetap meninggalkan teka-teki yang baru, hasilnya
pasti akan berkesan. Seperti film Bourne.
Kritikku yang kedua adalah terkait tema terorisme yang masih
lekat dengan idiom Barat, yang masih belum bisa lepas dari steriotipnya
terhadap masyarakat muslim. Jadi, rasanya tetap saja ndak enak. Beda
dengan film Bourne yang berani bicara soal borok sendiri (CIA).
Menurutku ini lebih gentle, karena orientasinya adalah introspektif dan
inspiratif bagi penonton di Timur. Singkatnya, menurutku garapan film-film
yang menempatkan Barat sebagai pahlawan itu tidaklah lebih dari hasrat
narsistik akut yang tidak disadari.
Demikian.
051109 Ayiko Musashi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar