Ini memang soal hati, pikiran, dan jiwa. Beladiri adalah
seni. Ia adalah alat untuk menghidupkan. Cara untuk mengisi hidup dengan
semangat, disiplin, kerja keras, dan kejernihan hati. Beladiri bukan untuk
membunuh. Bukan jalan untuk mengunggulkan dirimu atas orang lain.
Menjadi jagoan hanyalah suatu pikiran dan sikap mental yang
sungguh dangkal. Apakah orang dianggap jagoan karena ia mampu mengalahkan 10
orang? Ternyata tidak. Semua orang akan tua, dan tidak ada orang yang selamanya
tidak terkalahkan. Inilah kesadaran yang sedari awal ditanam oleh Yi Wen (IP
Man) di benak murid-muridnya.
Harmoni, kedamaian, ramah, tenang, jernih jiwa adalah segala
yang lebih penting untuk diperjuangkan. Maka, melalui apapun saja, prinsip ini
layak untuk dihayati. Bahkan hingga dalam seni beladiri—yang di dalam benak
setiap orang selalu berasosiasi pukulan, memar, campur aduk rasa kalah-menang.
Menang bukanlah tujuan. Kebanggan dan harga diri tidak diukur
dari kejayaan di hadapan orang lain yang terkalahkan. Sebaliknya, nilai paling
berharga yang mesti dikejar terus-menerus adalah justru harmoni bersama kehidupan.
Damai bersama orang-orang di sekitar kita. Lingkungan, alam, dan paling intinya
adalah kemenangan menaklukkan diri sendiri. Itulah dasar pikiran ketika YI Wen
mengatakan: “Hal terbaik adalah tidak bertarung sama sekali”
***
Aku jadi teringat Khalid bin Walid, sang pedang Allah, yang
dalam sebuah pertempuran, dalam laga pertarungan satu lawan satu, ia urung
menebaskan pedang ke leher lawannya yang sudah jelas diambang mata, hanya
karena dorongan ‘membunuh’ di pedangnya hanya dialiri oleh hawa nafsu. Khalid
menyarungkan pedangnya, dan jelas itu membuat sang lawan terheran-heran.
“Mengapa tak
kau bunuh aku?”
“Jika aku
membunuhmu, maka itu hanya karena amarahku yang menguasai diriku saat kau
ludahi mukaku. Sedangkan Allah tidak memerintahkan aku membunuh kecuali karena
alasan yang haz.”
Alangkah tegasnya. Begitu mulianya pendekar ini. Hingga taraf
seperti ini capain mereka. Lawan sejatimu yang lebih berhak kau kalahkan adalah
dirimu sendiri. Menguasai nafsumu, dan memperjuangkan kejernihan nurani di dada.
Oh. Sungguh baratayudha sedang bergermuruh di dalam dada, dan
kau mesti berusaha memenanginya. Musuh yang menyatu dalam dirimu. Tidakkah itu
seperti perang saudara? Atau bahkan mungkin lebih dari itu.
***
Miyamoto Musashi, juga dsemikian. Samurai terkenal dari
Jepang ini, pada masa perjalanan akhirnya justru menyimpulkan bahwa kehidupan
lebih berarti daripada kebesaran nama yang dipungut dari jiwa-jiwa kalah orang di
sekitar kita. Kegagahan pada akhirnya lebih baik disarungkan saja dalam bungkus
keindahan. Inilah pencapaian taraf tinggi dari para maestro beladiri yang bisa
dipelajari.
Mungkin hanya para amatir tolol yang masih saja membutuhkan pengakuan
keberadaan dirinya dari orang lain dengan meninggalkan memar di tubuh dan jiwa.
Semakin dalam kesadaran seseorang, semakin tinggi ilmu
seseorang, maka ia akan menemu bahwa keindahan dan cinta adalah hal yang paling
berharga yang layak untuk diperjuangkan. Nabi Muhammad menamainya dengan rahmatan
lil alamin. Atau bisa juga kita pinjam sikap luhur dari Ghandi tentang ahimsa.
Atau cukuplah bagi kita menyelami makna salah satu adigium leluhur kita
tentang konsep menang tanpo ngasorake. Bagaimana?
***
Kembali ke Yi-Wen. Ia hanyalah pria sederhana, yang tetap
saja kalem setelah ‘mengalahkan’ Twister, petinju Inggris, lawannya. Hm. Tidak
ada yang heroik dalam soal pukul-pukulan. Yang heroik adalah kemenangan dalam
merawat semangat, kemanangan merawat sikap saling menghormati, dan kemenangan
memperjuangkan kedamaian. Hanya inilah yang layak dirayakan dengan penuh
sukacita. Seperti yang Yi Wen sampaikan melalui translator untuk publik Inggris
saat berkata:
“Dia bilang, dia datang kemari hari
ini tidak untuk membuktikan mana yang terbaik antara tinju Barat dengan Cina.
Semua orang harus bisa belajar dalam hidup. Dia tidak percaya bahwa seseorang
lebih hebat dari yang lain. Dia berharap kita bisa memulai untuk menghargai
satu sama lain.
Itu saja. Terimakasih.”
(Yip Man, Guru Besar Kung Fu,
seklaigus guru Bruce Lee)
NB: jikalau toh tetap dipaksa untuk menyebutkan apa itu
kemenangan, maka kemenangan adalah kemampuanmu untuk mengutuhkan. Melampaui
dualitas. Melompati logika biner yang kau sudah terbiasa olehnya selama ini. Hehehehe.
Ayiko Musashi
26/10/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar