Buku adalah barang yang selalu masuk dalam anggaran bulanan.
Besarannya tidak pasti. Bisa seperempat, Bisa juga lebih dari setengah uang kiriman.
Jika dipikir-pikir, buku sudah cukup membuatku gila. Rela makan sehari dengan
lauk tahu-tempe hanya agar dapat membeli buku lebih banyak. Siap menderita deh
pokoknya. Toh meski sebenarnya pada awal-awal aku bukan orang yang suka baca
buku. Tapi buku memang cukup berguna untuk bahan diskusi.
Semuanya berjalan sebagaimana yang dibayangkan. Buku terus
menumpuk penuh satu rak dalam waktu yang relatif singkat.. Setiap bulan
buku-buku terus bertambah secara konsisten. Faktor terbesar yang memungkinkan
hal ini adalah dulu aku masih tergolong ‘manusia purba’. Belum ada kebutuhan
beli pulsa, beli baju bagus untuk tampil fashionable, parfum, sewa film,
wisata kuliner, dan macem-macem. Otomatis alokasi dana hanya keluar untuk
makan, bayar listrik, dan beli buku. Nah!
Karena hampir dalam banyak hal keseharianku berhubungan
dengan buku maka buku pula yang sering menjadi teman dan tempat untuk menghabiskan
waktu. Aku lebih sering di kamar dari pada main keluar. Membaca buku itu
perbuatan mulia, kupikir. Jadi aku lebih sering mengelak kalau diajak ngobrol ngalor-ngidul
sama teman-teman. Berulang sedemikian sering hingga aku merasa kecanduan buku.
Dan jadilah aku kutu buku. (wah, penurunan derajat nih: dari manusia menjadi
kutu?! Hehehe).
Kesepian? Ah, tidak juga. Karena ada koleksi kaset-kaset
band punk yang sudah cukup untuk memberi suasana ramai dan mengajak terbang
imajinasi sambil teriak-teriak umpat ini dan itu. Prinsip “do it yourself” dan
keberanian untuk men-fuck-off-kan segala hal itulah yang menjadi
penyeimbang kesendirian dan nuansa sepiku. Ini adalah mekanisme psikologis
untuk menaklukkan kenyataan yang berulang kali tak kunjung terpahami.
Duniaku adalah dunia imajiner dari buku. Harapan, ketakutan,
dan segala perasaan yang berkelebat lebih sering diilhami dan terasosiasikan
dengan buku. Juga kosa kataku yang lebih bernuansa bahasa tulis daripada bahasa
lisan. Aku abai dengan tema-tema keseharian yang sedang marak berkembang di
kalangan anak muda seusiaku seperti otomotif, pacar, atau mode. Sekali lagi aku
menjadi ‘manusia purba’ kalau sedang kumpul dengan teman-teman. Lebih sering
diam menjadi pendengar setia karena tidak menguasai tema obrolan. Tapi kalau
sedang di forum diskusi formal kelas bisalah aku angkat bicara tentang menurut
si ini dan menurut si itu. Nah, dengan pola ini pulalah aku kemudian menjadi sangat
bergantung pada keberadaan kelas untuk meneguhkan keberadaanku sendiri. Hehehe.
Aneh.
Awalnya buku yang dibeli masih begitu-begitu saja. Ya
seputar pelajaran dan buku umum yang dianggap menarik. Tapi perlahan kemudian
seleranya mulai mengembang saat membaca bagian akhir dari satu buku filsafat. Aku
jatuh hati dengan aliran eksistensialisme. Jean Paul Sartre yang saat itu
menjadi tokoh favorit. Wah! Kok cocok sekali tema filsafatnya dengan
kegundahanku. Maka mulailah aku baca sumber buku ini dan itu untuk tahu lebih
banyak tentang eksistensialisme.
Poin yang menandai perkembangan selera bukuku adalah frase yang
berbunyi: “Para filosof eksitensialis biasanya menuangkan pemikirannya melalui
novel dan teater”. Aha! Novel. Berlagak seperti seorang eksistensialis aku
langsung pergi ke toko buku. Beli yang mudah dikunyah dulu. Aku pilih cerita
tentang Abu Nawas. Kemudian naik tingkat medium. Aku baca semisal karya Naguib
Mahfouz atau Seno Gumira Ajidarma. Lalu menaik lagi ke bacaan-bacaan yang aku
sebenarnya gak paham tapi terus saja aku baca sampai hatam, seperti karya Milan
Kundera, Maxim Gorky, atau Albert Camus.
Tidak mesti gradual seperti tadi. Bisa juga acak. Tapi yang
bisa ditandai saat membaca buku adalah kecenderungan untuk berlaku tematik. Misal
sedang suka tulisan esai Catatan Pinggir Gunawan Muhammad atau Putu Wijaya,
maka dicarilah buku-buku tadi sebanyak dan sebisa mungkin didapat. Kebetulan
juga aku punya jiwa kolektor. Tak bisa berhenti mengagumi tanpa memiliki. Jadi
mulai dari toko buku Social Agency, Togamas, toko-toko kecil, toko lowakan,
sampai pasar buku Shopping Center pun kujelajahi satu demi satu. Rak demi rak.
Tanya ini-itu, atau pinjam di perpustakaan-perpustakaan jika ada. Hal yang aneh
adalah ketika hasrat itu sudah terpuaskan maka sudah begitu saja. Tidak ada
tindak lanjut apapun atau usaha untuk meng-up-date informasi tentangnya.
Karena sudah kadung berganti dengan tema buruan buku baru yang lain. Ya
begitulah.
Hal konyol yang masih teringat adalah ketika pergi ke pameran
buku. Motto dan misinya adalah, cari buku apapun yang penting tebal dan
harganya lima ribu atau sepuluh ribuan. Jadi, mirip dengan adigiumnya Adam
Smith: dengan modal sekecil-kecilnya raih keuntungan sebesar-besarnya.Hahaha!
Entahlah apa maksud tindakanku tadi. Mungkin agar rak baru cepat segera terisi.
Atau karena aku merasa untung setelah transaksi menukar uang sekian ribu dengan
barang yang lumayan berat (timbangannya). Sama sekali tidak ada kaitan dengan
isi buku yang dibeli. Satu buku yang selalu mengingatkanku tentang periode ini
adalah novel Umberto Eco yang berjudul Name of The Rose yang kubeli sepuluh
ribu rupiah. Aku dulu belum kenal Umberto Eco. Yang menjadi alasan membeli
adalah fisik bukunya yang gagah tebal itu dan harganya yang hanya segitu.
Hehehe. Tapi belakangan aku untung, karena isi dan pengarang buku ini lumayan
keren juga.
Masih soal fisik buku, aku suka ilustrasi cover dari buku-buku
penerbit bentang. Selalu artistik. Maksudku, olah desainnya seringkali menampilkan
lukisan-lukisan dengan warna yang menarik. Jadi, jatuh cinta itu bisa lewat
pesona kecantikan luar, bisa juga lewat yang dalam. Tapi yang jelas, mencintai
buku itu tidak seribet mencintai perempuan. Hahaha! Piss….
Demikianlah beberapa cerita tentang buku dan aku. Apapun
itu, membaca dan membeli buku adalah hal yang masih mewah di Indonesia.
Ayiko Musashi, 20 Desember 2009 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar