Freidrich Nietzsche itu sering dikesankan sebagai filosof
Jerman yang angker dan kurang ajar. Bagaimana tidak, jika ternyata dialah yang
mengumumkan “kematian” tuhan. Tapi hidup itu memang sarat ambiguitas dan layar
lebar kemungkinan-kemungkinan. Sehingga kemudian Muhammad Iqbal, pemikir
Pakistan yang pendiam, itu mengaku bahwa guru sufinya adalah justru si edan Nietzsche
itu.
“Got is Tot! God is Dead! Tuhan telah Mati! Dan kitalah para
pembunuhnya!”. Demikian petikan dari novelnya, Thus Spoke Zarathustra,
yang sering dikutip. Celaka! Kalau tuhan meninggal, kira-kira bakal dikubur
dimana ya?! Terus, berarti akan ada acara peringatan 7 hari, 40 puluh hari, dan
seribu hari kematiannya dong?!
Mungkin tidaklah terlalu penting membahas ungkapan
literalnya, tapi justru asik jika menelisik alasannya. Tuhan telah mati, dan
kitalah yang membunuhnya, karena dalam setiap lini kehidupan yang terselenggara
ini tuhan tidak pernah dihadirkan disana. Tuhan telah kita eliminasi. Kita
pinggirkan dan tak pernah diperhitungkan. Seolah hidup ini berjalan semata-mata
karena ada usaha manusia, rutinitas, hukum kausalitas, materi, dan waktu.
Lupa. Itulah titik yang menentukan sesuatu ada dan tiada. Dan
sengaja melupakan, menurut Nietzsche, adalah sebuah pembunuhan. Tapi, bagaimana
kronologinya sehingga kita bisa sampai tega mengalpakan tuhan dengan sengaja?
Hm. Mungkin karena kita over confidence. Keblinger setelah
berhasil menciptakan mesin-mesin yang mampu memproduksi sesuatu secara massal
dalam waktu singkat, menjelajahi penjuru bumi, menyelami lautan, menyambangi
bulan, menyedot minyak dan gas alam di perut bumi, merekayasa genetika, merekonstruksi
tubuh, melipat dunia, menyihir orang banyak melalui iklan, mengalihkan perhatian,
mengarahkan opini publik, menyabdakan wahyu-wahyu mode dan gaya hidup tak
berkesudahan, menggelontorkan hasrat keabadian dan dahaga abadi terhadap
sesuatu yang baru, menata realitas-realitas semu, serba tak utuh, dan baaaanyak
lagi lainnya.
Mungkin kebiasaan berpikir bahwa saya berpikir, maka saya
ada itulah biang keladinya. Maka kemudian lahir adigium-adigium lain yang
serupa seperti: saya belanja maka saya ada, saya kaya maka saya ada, saya
ganteng maka saya ada, saya terkenal maka saya ada. Hingga yang paling seru
adalah ungkapan diam-diam bahwa saya update status facebook, maka saya ada.
J
Saya melihat karena mata saya bekerja. Saya mendengar karena telinga
saya bekerja. Yang begini memang sudah cukup benar. Tapi ada yang lebih benar.
Saya bisa melihat bukan hanya semata karena mata saya bekerja, dan ada obyek yang
bisa saya lihat. Melainkan juga karena ada medium. Ada situasi dan kondisi yang
membuat alat dan obyek tadi bekerja, yakni cahaya. Tanpa cahaya mustahil mata
melihat dan suatu benda terlihat. Demikian halnya dengan telinga beserta yang
didengarnya. Karena diperantarai (gelombang) udaralah proses mendengar bisa
terjadi.
Hal-hal seperti cahaya dan udara tadilah yang sering luput
diperhatikan. Logika kausalitas yang sudah kadung sering saya pakai ternyata
cekak. Karena luput merangkum keberadaan, peran, dan kontribusi aktif Dzat yang
mengizinkan segala piranti hidup saya dan kehidupan ini dapat bekerja.
Jadi, jika disederhanakan, semuanya yang terjadi ini bisa terjadi
juga karena berada dalam kerangka izinNya. Bukan semata-mata murni usaha
manusia. Karena ada sesuatu yang berada di luar pengetahuan, kehendak, dan
rekayasa manusia. Seperti menata situasi, kondisi, atau bahkan seperti contoh
tadi, yakni mencipta cahaya. Manusia itu cuma tinggal numpang melintas di jalur
hukum yang sudah ditatakan olehNya.
Pendeknya, ada pelajaran untuk berlaku proporsional. Mengakui
kerjasama manusia dengan tuhannya. Sandi-Nya adalah kun fayakun. Dan
kita yang makhluk-Nya belajar menghayati budaya sangkan-paraning-dumadi dalam
kredo inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Maka sekarang saya tanyai
diri sendiri: kalau kamu bukan “pembunuh tuhan”, ayo, mana buktinya?
Ayiko Musashi,
12 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar