Rain Man.
Biola Tak Bedawai
|
Pengasuh - Dewa
|
Tak bisa bicara atau mendengar
|
Beautiful Mind
|
Istri – John Nash
|
Schizophrenia
|
I am Sam
|
Pengacara – Sam
|
‘Retarded’
|
Forest Gump
|
Forest Gump sendiri
|
‘Keterlambatan Mental’
|
Radio
|
Radio –Pelatih
|
‘Retarded’
|
Rain Man
|
Adik – Raymond
|
Autis
|
Ah. Akhirnya dapat juga. Imam bilang Ubed punya film Rain
Man, dan kemudian ia bawakan filmnya ke kos. Sebelumnya aku sudah cari di
rental film Universal yang reputasi kelengkapannya cukup diakui di JOgja, tapi
tidak ada.
Rain Man. Satu lagi film tentang sisi lain kehidupan.
Melengkapi koleksi film yang setema seperti dalam table di atas. Maaf, tulisan
ini kubuat pagi hari, karena tidak sempat tadi malam segera setelah film usai
seperti biasanya. Tapi tidak masalah. Tadi malam pun sebenarnya aku sudah sharing
comment sama lien soal film-film sejenis ini.
“Aku suka film-film seperti ini. Tema tentang abnormalitas
mental. Aku seolah belajar banyak sekali dengan menontonnya. Bagaimana kita
mesti bersikap terhadap mereka? Bahwa yang sangat mereka butuhkan adalah cinta
yang tulus, dan kasih sayang. Kita juga bisa lihat apa dan bagaimana jalan
pikir, emosi, serta mimpi mereka. Aku merasa semakin yakin bahwa manusia dan
hidupnya itu adalah sesuatu yang sangat layak dihormati dan dirawat penuh kasih
sayang. Kehidupan itu suci.”, kataku pada lien.
Standar hidup modernitas hari ini adalah sesuatu yang aneh.
Sebuah Roh Zaman yang menggiring manusia di dalamnya untuk terus
mengejar popularitas, menjadi superstar, public figure, dan dipuja
banyak orang. Suatu kebudayaan narsistik konyol yang aneh tapi nyatanya aku
sendiri juga tersihir mengikutinya. Kesempurnaan menjadi dambaan setiap orang,
bahkan kalau bisa jangan ada satupun jerawat yang nongkrong diwajah. Pantatpun
harus diasuransikan.
Jika sudah demikian, ketika massa contagious abad ini
berlari mengejar itu semua, bagaimana dengan sisi kehidupan yang sama sekali
minor bahkan tak pernah muncul di telivisi, koran, atau majalah? Mereka yang
oleh standar modern dikatakan ‘terbelakang’ atau tidak normal? Siapa yang
peduli kepada mereka? Siapa yang bersedia menemani mereka? Siapa yang akan
memanusiakan mereka? Bukankah manusia modern sangat jijik dengan ketidak
sempurnaan? Karena sedemikian lama dibiasakan mengejar kesempurnaan (ala manusia
modern itu sendiri), dan diajari bahwa yang cacat mesti dibuang agar tidak
memalukan. Jangan-jangan mereka menganggap manusia-manusia ‘tidak normal’itu
seperti jerawat di kulit wajah artis cantik yang mulus?
Dalam konteks seperti inilah film Rain Man memiliki posisi
pentingnya, yakni menyuguhkan sisi kehidupan yang luput ada dalam kosa kata
manusia modern. Film Rain Man memotret cukup bagus kehidupan seorang autis
dalam kedirian seorang Raymond (sebuah nama yang pengucapannya terdengar
seperti RainMan oleh Bobbit, sang adik). Dengan keterbukaan selubung sisi lain
kehidupan dalam Film RainMan seolah ada pesan tak tertulis seperti dalam lirik
Slank. ….kita hidup bersama mereka, kita hidup di antara mereka…
31 Oktober 2009
Ayiko Musashi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar