Carilah hingga ketemu\ Pandanglah dengan seksama\ Telitilah,
jangan sampai salah\ Endapkanlah dalam hati\ Agar benar menanggapi.
Demikianlah bunyi salah satu bait dari suluk Serat Sabda
Jati. Ini adalah salah satu frase yang pernah saya catat di buku harian. Saya
catat karena wasiat ini adalah salah satu prinsip dalam belajar. Ada observasi,
empirisme, kritisisme, dan sebuah watak bijak.
Catatan lainnya datang dari film V For Vendetta. Sebuah
drama teatrikal tentang ‘pahlawan bertopeng’ yang mengingatkan jahatnya pondasi pemerintahan
yang dibentuk atas dasar teror dan ketakutan—seperti yang juga pernah dikabarkan
George Orwell dalan novel 1984. Sehingga muncul frase: …rasa takut
mengambil yang terbaik dari kalian…!
Tentang ketakutan ini, saya jadi tersambung dengan salah satu
puisi yang pernah diapresiasi oleh Caknun. Puisi itu unik, karena hanya terdiri
dari dua suku kata saja. Tapi jelas nendangnya. Bunyinya adalah: Temor/
Temor/ Temor/ Temor/ Temor/ Temor/ MORTE!!!
Hahaha. Asik, bukan?! Permainan kata yang cerdas. Entah
berasal dari bahasa apa. Tapi yang jelas temor itu artinya adalah takut,
dan morte adalah mati. Makanya, orang yang selalu menimbun ketakutan-ketakutan,
maka kematian adalah hasil penjumlahannya. Persis seperti pengulangan temor yang
kemudian berakhir dengan morte di puisi tadi.
The fear that we have to fear is the fear it self.
Nah, mati disini luas. Mencakup mati alami, juga mati sebelum
mati. Hehehe. Ruwet, tho?! Kalau
ada ensiklopedi mati, maka mati sebelum mati itu berarti hidup secara
fisik tapi jiwanya telah mati. Ya seperti mayat hidup, begitulah. Maka ada
benarnya juga apa yang pernah ditulis oleh Wiji Tukhul. Masalah nomor satu hari
ini adalah jangan mati sebelum dimampus takdir!
Di ujung kehidupan ada kepastian\ Kek-tokek kita semua pasti
pada mampus! Begitu tambah Setiawan Djody & Funky Kopral dalam lagu “Tokek”.
Maka ya sudahlah. Tak usah sibuk-sibuk merancang kematian sendiri. Tugas yang
hidup adalah menghidupi kehidupan. Yang pasti itu sudah ada di depan mata. Maka sudahlah-sudah keraguan
yang tak kunjung sirna. Redalah-reda.
Hidup enggan, matipun segan. Wah, repot ini. Tapi gampang
solusinya. Makan sajalah sambal yang banyak. Rasakan sensasi pedasnya. Keringat
mengucur deras. Adrenalin menegang, dan pedas membakar yang mengingini air. Hehehe.
Lha, orang itu cenderung suka melankolis dan mendramatisir keadaan sih. Maka siapa
tahu hal-hal yang sepele bisa sedikit menampar biar sadar?!
Gak usah banyak omong,
Soal pembagian “ada” antara yang faktual dengan yang
imajiner. Saya punya tangan dua, kaki, mata, dan di sana ada matahari. Ini
semua adalah “ada” yang faktual. Sedangkan ada yang imajiner adalah ya ada-nya bangsa
Indonesia ini, atau mudahnya seperti garis katulistiwa. Garis ini tidak pernah
ada di kota Pontianak, misalnya. Tapi kita menganggapnya di sana ada garis edar
matahari.
Dalam sebuah kesempatan usai membaca artikel tentang alam
semesta, saya pernah menulis seperti ini. Kalau melihat gambar galaksi,
kemudian ruang hampa yang begitu luas dan terlihat sangat sepi, semuanya yang
ada di dunia ini menjadi sunguh-sungguh sangat kecil saja.
Ada milyaran galaksi di alam semesta teramati saat ini. Bayangkan.
Milyaran galaksi, rek?! Galaksi Bimasakti kita ini saja diestimasikan
memiliki 200-400 milyar bintang. Dan matahari, salah satu bintang yang menjadi
pusat dalam tata surya kita ini, hanyalah satu di antara ratusan ratusan milyar
tadi. Bussssyet!
Kita coba perdetail lagi. Fakta tentang dunia dan kita.
Seberapa jauh manusia mengembara? Sudah sampaikah ia ke ujung dunia? Ke pelosok
samudera? Habiskah sudah ruang jelajah dalam bentangan luas dan suntuk menyelami
kedalamannya?
Tapi mengapa kosmos alam semesta yang luas ‘tak terbatas’ ini
justru terletak pada setiap individu kita? Lho, kok aneh?!
Untuk setiap yang tak pernah lulus terbahasakan. Semua yang
belum pernah terbayang. Melintas sekilas dalam kedipan. Tembus cahaya dan suara
tak terindera. Segala yang sempat terlupa. Yang meremang ada.
Fatamorgana-fatamorgana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar