Sekilas Hermeneutika Filosofis
Gadamer
(Lingkaran Hermeneutika dan Peleburan
Cakrawala)
Oleh:
Abul Haris Akbar
Hermeneutika Citarasa Jerman
Pada awalnya, Hermeneutika diperkenalkan oleh Plato dan
Aristoteles, yang mereka maksudkan sebagai “various types of understanding”;
kemudian disebut-sebut juga oleh Thomas Aquinas dan Giambattisto Vico yang
merujuknya sebagai “meaning theories about how texts should be interpreted
in order to best understand their meaning”;[1] berikutnya
oleh Baruch Spinoza (atau Benedict de Spinoza); dan selanjutnya bergilir secara
estafet menuju para hermeunitakawan babon asal Jerman yang sering
dicatat dalam sejarah Hermeneutika. Setiap mereka membawa tawaran, modifikasi
serta perombakan terhadap disiplin yang bernama Hermeneutika ini.
Hermeneutika di tangan Fredrich
Schleirmacher adalah seperangkat alat untuk mendapatkan kebenaran penafsiran
yang obyektif. Seorang penafsir dikondisikan untuk menjadi pasif. Menahan
subyektifitasnya, dan mengosongkan kepalanya dari prasangka-prasangka; meneliti
struktur gramatika teks (analisis filologis) lantas menelaah kondisi psikis
sang pengarang untuk mendekatkan nuansa di mana teks tersebut dituangkan
(analisis psikologis). Dalam serangkaian praktik demikianlah, Schleirmacher
mengandaikan bahwa hasil sebuah penafsiran adalah tindak reproduksi makna yang
memiliki derajat obyektif-ilmiah.[2]
Wilhem Dilthey yang datang kemudian
mengkritik metodologi penafsiran yang ditawarkan oleh Schleirmacher.
Menurutnya, metode yang dirancang sangat terpengaruh oleh dominasi metodologi
ilmu kealaman yang menekankan obyektifitas dengan menanggalkan subyektifitas
sang penafsir sama sekali. Dilthey mulai menyadari bahwa antara ilmu kealaman
dengan ilmu kemanusiaan memiliki perbedaan metodologi. Jika yang pertama
bekerjanya erklaren (menjelaskan), maka kerja jenis ilmu yang kedua adalah verstehen (memahami).
Dengan demikian, menjadi tidak tepat jika metodologi ilmu kealaman diterapkan
untuk ilmu kemanusiaan. Seorang penafsir tidak pernah bisa melepaskan
subyektifitasnya secara sempurna, karena manusia selalu sudah berada dan
tersituasikan dalam historisitasnya masing-masing; terikat oleh dimensi waktu
dan kesejarahannya (critique of historical reason). Maka Dilthey
menawarkan hermeneutika sebagai metodologi yang tepat untuk ilmu-ilmu
kemanusiaan.[3]
Martin Heidegger yang datang setelah
Dilthey malah meradikalkan gagasan Dilthey, sekaligus membaliknya. Hermeneutika
atau verstehen tadi bukan lagi sebagai metode untuk mendapatkan
kebenaran dalam satu jenis keilmuan, melainkan sebagai mode of being. “Memahami”
adalah strutur mengada bagi manusia. Hermeneutika adalah karakter ontologism dasein
(manusia). Menjadi manusia dan menafsirkan adalah satu—meminjam
istilah Donny Gahral Ardian. Disini, perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan
dengan tindak “memahami” oleh Heidegger memiliki penekanan khusus. “Memahami” merupakan
memahami dalam pengertian praktis, dan yang dipahami bukan teks tapi aktifitas.
Untuk lebih jelasnya, dapat diikuti kutipan berikut ini.
Indeed, Heidegger's paradigmatic cases of
understanding are not texts, but activities, such as opening doors and
hammering. In these activities, we do not first see the door or a hammer and
then discover its properties. Instead, understanding is, first of all, knowing
how--whether knowing how to hammer, knowing how to do what I am doing, or
knowing how to be. For Heidegger, we make this sort of knowing how explicit in
an interpretation by understanding something as something in the context of our
ongoing projects and purposes, as part of a set of functional
interrelationships. We see the thing as something, a hammer, a door, and so on.[4]
Dalam bahasa Donny Gahral Ardian, manusia
tidak terlempar ke dalam dunia teoretisasi melainkan maknawi. Kerja pertama
manusia bukanlah menjejerkan benda-benda untuk diobservasi satu demi satu. Malainkan,
menafsirkannya dalam konteks pemaknaan yang diwarisinya. Menafsirkan lebih
dahulu daripada mengetahui. Hermeneutika Heidegger ini sering juga disebut
sebagai Hermeneutika-Fenomenologis. Tesis utamanya adalah, kenyataan bukanlah
kenyataan dalam dirinya sendiri, melainkan teks bermakna yang menyembul akibat
kodrat dasein (manusia) sebagai sang penyingkapnya.[5] Istilah
“fenomenologi” yang digunakan tentu saja bukan fenomenologi seperti yang
digagas oleh Edmund Husler, melainkan lebih dekat dengan istilah “fenomena” ala
Immanuel Kant dalam melawankannya dengan istilah “noumena” atau das ding
ansich, sesuatu di dalam dirinya sendiri. Eric Lemay dan Jennifer A. Pitts menggambarkannya
dalam kalimat yang sederhana:
Setiap pengalaman, bagi Kant, pertama-tama dan terutama
adalah pengalaman manusiawi. Kita tidak dapat menyangkal itu bila kita lihat,
misalnya sekuntum bunga. Kita melihatnya dengan cara khas manusia. Kita tidak
dapat mengerti bunga itu terlepas dari pengalaman kita mengenai bunga itu.[6]
Tesis penting milik Heidegger inilah
yang kemudian dipegang oleh Hans Georg Gadamer, bahwa hermeneutika bukanlah metode
lagi, karena yang dipandang sebagai metode berarti hermeneutika yang masih
terbelit lingkar Cartesian yang selalu berupaya mencari sesuatu yang pasti dan
mutlak.[7] Yang
perlu diperhatikan, maksud dari peralihan hermeneutika tidak lagi sebagai
metode bukanlah sebagai sebuah penolakan atas pentingnya masalah metodologis,
tetapi ingin menekankan keterbatasan peranan metode dan prioritas memahami
sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, praktis, dan aktifitas yang
tersituasikan.[8]
Aneka Lingkaran Hermeneutika
Konsep lingkaran hermeneutika (hermeneutic
Circle) adalah konsep yang digunakan oleh banyak filosof dengan penekanan
yang berbeda-beda satu sama lain, yang pada intinya bermuara pada proses
menafsirkan teks. Untuk mengetahui yang “keseluruhan” (the whole) ditempuh
melalui pemahaman akan “bagian” (the part), demikian sebaliknya. Untuk
memahami “bagian” dicapai dengan cara memahami yang “keseluruhan”. Karakter
melingkar (circular) ini menekankan bahwa makna teks dapat ditemukan dalam konteks kultural,
historis dan literernya.[9]
Lingkaran Obyektifis
Spinoza menjelaskan bahwa untuk
memahami Bibel, pembaca perlu melihat bagian-bagian teks dengan
mempertimbangkan kesesuaian keseluruhannya. Untuk mendapatkan pemahaman yang
tepat, seseorang perlu melihat makna ayat per ayat, dan mempertimbangkan
bagaimana makna tersebut diinformasikan oleh struktur keseluruhannya. Dengan
melakukan ini, gerak maju-mundur antara keseluruhan dan bagian, maka penafsiran
yang benar dan obyektif dapat diraih. Dalam dunia penafsiran teks, lingkaran
ini juga dipahami sebagai proses menafsirkan keseluruhan teks (sebagai
“bagian”) dengan konteksnya di dalam tradisi historisnya (“keseluruhan”).[10]
Tesis lingkaran hermeneutika Spinoza
yang hanya berkutat pada bidang tekstual semata ini dilengkapi oleh
Schleiermacher. Menurutnya, untuk mendapatkan kebenaran yang obyektif dalam
penafsiran, seseorang tidak hanya sekedar mempertimbangkan struktur teks semata,
tetapi juga perlu melibatkan pengetahuan konteks dimana teks tersebut lahir dan
psikologi sang pengarangnya.[11]
Lingkaran Peralihan
Ambisi obyektivitas yang digagas oleh
Schleiermacher adalah obyektivitas yang ilusif menurut Dilthey. Setiap manusia
memiliki karakter historisitas. Ia
terjalin di dalamnya, sehingga kerja menafsirkan teks bukanlah dengan menenggelamkan
diri di dalam teks, tetapi berusaha menemukan cara berinteraksi yang
memungkinkan dengan teks.[12] Metode
yang ditawarkan adalah verstehen, memahami—seperti yang telah disinggung
di muka. Untuk memahami secara konkret letak penting verstehen sebagai
metode keilmuan kemanusiaan, menarik untuk menyambungkannya dengan keterangan Jean
Grondin mengenai istilah “inner word” atau “kata-batin”. Menurut Grondin,
ada interioritas makna, yakni sesuatu yang diacu sekaligus disembunyikan oleh
kata-kata, sementara yang disembunyikan lebih banyak daripada yang dihadirkan
kepada kita. Tidak ada metode yang sampai kepada yang-tak-dikatakan ini selain
pemahaman.[13]
Lingkaran Heidegger
Lingkaran Hermeneutika Heidegger bergerak
pada proses mehamami kenyataan (whole) melalui eksistensi keseharian
personal (part). Jadi, aktifitas memahami berjalan di atas pra-pemahaman
(“fore-structure” of understanding), yang memungkinkan fenomena
eksternal dapat ditafsirkan oleh seseorang.[14] Lingkaran
hermeneutika Heidegger ini sebenarnya bukanlah gerakan dari teks menuju
konteks, melainkan lebih merujuk kepada gerak dari kehidupan perseorang individual
(part) menuju dunianya (whole).[15] Ensiklopedi
Filsafat Stanford, menulisnya dengan:
….The ‘hermeneutic circle’ that had been a central
idea in previous hermeneutic thinking, and that had been viewed in terms of the
interpretative interdependence, within any meaningful structure, between the
parts of that structure and the whole, was transformed by Heidegger, so that it
was now seen as expressing the way in which all understanding was ‘always
already’ given over to that which is to be understood (to ‘the things
themselves’—‘die Sachen selbst’). Thus, to take a simple example, if we wish to
understand some particular artwork, we already need to have some prior
understanding of that work (even if only as a set of paint marks on canvas),
otherwise it cannot even be seen as something to be understood.[16]
Kehidupan perseorangan dapat dipahami
dalam konteks dunia yang didiaminya.[17] Dalam
istilah yang lain, konsep lingkaran hermeneutika Heidegger ini adalah gerak
saling mempengaruhi (interplay) antara seorang penafsir dengan sebuah
tradisi dalam sebuah dialektika terbuka. Inilah yang diikuti Gadamer dari
pemikiran Heidegger: bahwa seorang penafsir dekat sekali terhubung dengan
tradisi. Sehingga, jika suatu kali, tradisi berubah, maka hasil penafsiran pun
akan menjadi berbeda.[18]
Hal perlu diperjelas di sini adalah, hubungan
presuposisi dengan perkembangan lingkaran hermeneutika. Kutipan Paul Tseng berikut
ini sangat bagus menjelaskan kaitan tersebut.
…Moreover, Heidegger’s notion of ‘the prestructure’
also contributes significantly to the
development of ‘the hermeneutic circle.’
He raises this notion with the
belief that interpretation is never a presuppositonless grasping of something
given in advance. Therefore it is almost
impossible to understand anything without prejudice and presupposition. For historicity and temporality may affect the formation of the
prestructure of understanding. And since historicity and temporality are deeply
related to personal lived experience,
understanding has something to do with human existence.[19]
Lingkaran Gadamer
Gadamer mengembangkan konsep ini dengan
mengkonsep ulang lingkaran hermeneutika sebagai proses iterative dimana pemahaman
akan realitas keseluruhan dikembangkan melalui eksplorasi detil eksistensi. Gadamer
melihat bahwa pemahaman selalu melalui bahasa, yang denganya percakapan atau
dialog dengan orang lain, dimana kenyataan dieksplorasi dan persetujuan dicapai,
menghasilkan pemahaman baru. Sentralitas percakapan (conversation) dikarakterkan
oleh Donald Schon sebagai "a conversation with the situation",
percakapan dengan situasi.[20] Dalam keterangan
lain, Gadamer memahami lingkaran hermeneutika sebagai gerakan interplay (pengaruh-mempengaruhi)
antara pembaca dengan teks, interaksi antara si penafsir dengan tradisi
penafsiran.[21]
Interaksi adalah kata kunci, karena menurut Gadamer, kita tidak dapat
melenyapkan tradisi penafsiran. Tradisi yang sarat dengan presuposisi bukanlah
halangan dalam menafsirkan, tetapi justru menjadi jembatan bagi pemahaman yang
lebih kaya tentang obyek penafsiran.[22]
Bagi pemikir-pemikir lain, fakta cara
kita menjelaskan beberapa kata, sangat jelas menunjukkan bukti bahwa ada sebuah
sharing pengalaman di antara sesama manusia. Semisal, setiap orang bisa
menunjuk pada matahari, sebagai sesuatu yang ada (exist), dan kemudian
menamainya dengan suara-suara, symbol,atau kata yang mewakili atau secara lahir
menunjukkan pada keberadaan sang matahari tersebut. Pasti ada beberapa ketidaksepakatan
mengenai apakah ‘matahari’ itu sesungguhnya, tetapi jelas ada kesepakatan bahwa
‘matahari’ tadi ada, eksis. Maka, berangkat dari gambaran ini kemudian ditarik kesimpulan,
bahwa beberapa konsep dan ide bersifat universal.[23]
Titik Divergensi dan Konvergensi
Hal yang bisa dipadatkan dari
periodesasi di atas adalah, bahwa ada titik tekan yang berbeda antara kubu yang
diwakili oleh Schleiermacher dengan kubu Heidegger dan Gadamer. Lingkaran
Hermeneutika Schleiermacher menekankan pada relasi antara “bagian” (constituent
parts) dengan dengan “keseluruhan” teks; sedangkan Lingkaran hermeneutika Heidegger
dan Gadamer lebih menekankan pada interplay antara seorang penafsir
dengan sebuah tradisi.[24] Yang
pertama adalah bentuk penafsiran yang ingin obyektif, sedangkan yang kedua,
mengadopsi pandangan historisitas teks, dengan meletakkan seorang penafsir
sekaligus teks yang ditafsirkannya di dalam tradisi. Meskipun keduanya berbeda,
tetapi oleh Paul Tseng didudukkan sebagai pandangan yang saling melengkapi satu
sama lain; karena yang pertama bertujuan mengeksplorasi ‘makna’ (meaning),
sedangkan yang selanjutnya menyibak ‘signifikansi’ tekstualnya (significance).[25]
Meskipun ada banyak kesamaan antara
Heidegger dengan Gadamer, ada beberapa perbedaan penting antara keterangan Lingkaran
Hermeneutika keduanya.
(1) Heidegger tidak
berbicara lingkaran “keseluruhan” dan “bagian”-nya, tetapi lingkaran antara
memahami dan cara membukanya dalam proses penafsiran.sedangkan Gadamer jelas
menghubungkan ide sirkularitas ini dengan ide “Koherensi (antara) keseluruhan
dan bagian-bagiannya”. Lingkaran ini bagi Gadamer menjelaskan proses konstan yang
berisi revisi antisipasi (pengetahuan dasar) memahami agar menjadi lebih baik
dan meyakinkan. Gadamer melihat, bahwa dalam koherensi antara keseluruhan dan
bagian-bagian ini sebagai kiteria pemahaman yang benar. Koherensi antara
keseluruhan dan bagian-bagian ini adalah pejabaran dari istilah yang disebutnya
sebagai “anticipation of perfection”.
(2) Heidegger sangat
konsern dengan antisipasi eksistensi yang selalu terlibat dalam setiap pemahaman,
sedangkan Gadamer lebih mengonsentrasikannya pada masalah batasan penafsiran
teks dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
(3) Heidegger bersikeras
pada fakta bahwa memahami ditujukan ke masa depan (future), sedangkan
Gadamer lebih memilih bersikeras pada masa lalu (past) sebagai batasan sebuah
pemahaman.[26]
Keterangan yang lain menambahkan
bahwa titik perbedaan mendasar Gadamer dengan Heidegger adalah pada beberapa
hal: (1) Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia
secara keseluruhan, sementara obyek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literature;
(2) Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme, sementara Gadamer lebih
berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta
kompleksitas yang ada di dalamnya; (3) Bagi Heidegger, proses menafsirkan untuk
memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta dalam
proses penafsiran tersebut. Artinya, untuk memahami, orang perlu untuk memiliki
pemahaman dasar terlebih dahulu, sementara bagi Gadamer, konsep lingkaran
hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan
sebaliknya; (4) Fokus hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang
otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia,
sementara bagi Gadamer, fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok
permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Kesamaannya terletak pada satu
hal, bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan
pemahaman manusia. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari
Heidegger, namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang
lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan
filsafat.[27]
Kebenaran adalah Cakrawala
Heidegger dan Gadamer melihat dan
menggambarkan kebenaran sebagai cakrawala (horizon). Jangkauan seberapa
luas dan jauh wilayah yang bisa dicapai bergantung pada kapasitas kemampuan
mata untuk mengindera. Demikian juga dengan jangkauan kebanaran yang mampu
dicapai seseorang bergantung pada kapasitas pengetahuan dan pemahamannya. Dengan
memahami kebenaran sebagai cakrawala, maka proses menemui kebenaran
diistilahkan Heidegger sebagai “ketersingkapan”. Jadi, kebenaran tidak pernah
diringkus. Ini adalah hermeneutika faktisitas (keterbatasan). Seseorang hanya
mampu menyingkap kebenaran dalam batas cakrawala. Disini Heidegger menekankan
pada dimensi temporalitas kesadaran atau kebenaran. Karena kebenaran dapat saja
meluas seiring dengan bertambahnya kapasitas pengetahuan dalam menyibak
cakrawala.
Setiap kali memahami kebenaran,
seseorang akan selalu sudah memahami dalam struktur presuposisi (fore-structure),
yang oleh Heidegger bagi menjadi “Tiga V”, yakni: Vorhabe, pra-pemahaman
(fore-having); Vorsich, pra-penglihatan (fore-sight); dan
Vorgriff, pra-konsepsi (fore-conception). Inilah yang membuat
setiap pemahaman perseorangan adalah sesuatu yang unik. Penulis meminjam cara
menjelaskan yang ditempuh oleh Donny Gahral Ardian.
Memahami suatu obyek (martil, misalnya) dalam dunia
eksistensial-pertukangan berarti memiliki struktur presuposisi sebagai berikut:
peratama, pra-pemahaman: memahami martil berarti telah memiliki
pemahaman sejak awal tentang peralatan sebagai satu keseluruhan. Dasein memiliki
pemahaman sejak awal bahwa martil bersama dengan paku, gergaji, tang merupakan
benda-benda siap pakai untuk pekerjaan pertukangan. Kedua, pra-penglihatan:
memahami martil berarti memiliki penglihatan sejak awal wujud sebuah rumah. Dasein
memahami martil sebagai alat untuk mewujudkan rumah. Ketiga, pra-konsepsi:
memahami martil berarti mengkonsepsikan sedari awal bahwa maksud pemakaian
martil dalam membangun rumah adalah demi keberadaan dasein sebagai
tukang bangunan.[28]
Ini adalah proses yang terjadi ketika
seseorang memahami dunia benda-benda atau dirinya sendiri. Sedangkan ketika
seseorang memahami orang lain, maka memahami—dalam istilah Gadamer—adalah
sebuah dialog. Karena setiap orang memiliki cakrawalanya sendiri-sendiri, maka
ketika seseorang memahami orang lain, proses tersebut sesungguhnya adalah
proses dialog antar cakrawala.
Istilah lainnya yang biasa digunakan
adalah ‘percakapan’, “a conversation and mutual transformation between text
and interpreter which Gadamer calls a fusion of horizons”.[29] Dalam
dialog tersebut, tidak ada yang mengeliminir satu sama lain, dan memang tidak
bisa. Struktur pra-pemahaman (yang berisi “Tiga V”) tadilah yang membuatnya
tidak mungkin terjadi eliminasi satu sama lain.
Yang terjadi dalam dialog tersebut justru
peleburan cakrawala (fusion of horizons). Masing-masing saling
mempengaruhi (interplay), baik disadari atau tidak. Sehingga, yang
dimaksud dengan dialog dalam konteks ini adalah dialog aktif; dan sifat kerjanya
bukan reproduksi makna—seperti yang dimaksudkan oleh Schleiermacher—melainkan
produksi makna. Peleburan ini adalah suatu cara pengayaan pemahaman atau
presuposisi. Hal yang perlu ingat adalah, peleburan cakrawala tersebut tidak
pernah terjadi secara utuh, melainkan hanya beberapa saja. Jadi, fusi horizon
ini tidak seperti dialektika Hegel: antara “tesis” dan “anti-tesis” bertemu,
lalu melebur menjadi satu sebagai “sintesis”.
Gadamer menjelaskan konsep peleburan
cakrawala sebagai berikut.
Every finite present has its limitations. We define
the concept of “situation” by saying that it represents a standpoint that
limits the possibility of vision. Hence essential part of the concept of
situation is the concept of “horizon.” The horizon is the range of vision that
includes everything that can be seen from a particular vantage point... A
person who has no horizon is a man who does not see far enough and hence
overvalues what is nearest to him. On the other hand, "to have an
horizon" means not being limited to what is nearby, but to being able to
see beyond it...[W]orking out of the hermeneutical situation means the
achievement of the right horizon of inquiry for the questions evoked by the
encounter with tradition.[30]
Setiap masa kini yang terbatas mempunyai
batasan-batasannya. Kita merumuskan konsep tentang ‘situasi’ dengan mengatakan
bahwa ia merepresentasikan sebuah sudut pandang yang membatasi kemungkinan
sebuah visi. Oleh karena itu, sebuah bagian esensial dari konsep situasi adalah
konsep tentang ‘horizon’ (cakrawala). Horizon adalah bentangan visi yang
meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari sebuah titik tolak khusus… seseorang
yang tidak mempunyai horizon adalah orang yang tidak melihat cukup jauh dan
oleh karena itu menilai secara berlebihan sesuatu yang paling dekat dengannya. Sebaliknya,
seseorang yang mempunyai sebuah horizon mengetahui makna relatif segala sesuatu
di dalam horizon ini, baik dekat atau jauh, besar atau kecil. Dengan cara demikian,
pendekatan terhadap situasi hermeneutic berarti capaian horizon tepat dari
penelitian untuk persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh pertemuan dengan
tradisi.[31]
Proses memahami seperti yang digagas
oleh Heidegger maupun Gadamer menekankan bahwa aktifitas memahami adalah
aktifitas yang unik, milik khas perseorangan. Tidak pernah seragam seperti yang
dibayangkan oleh para obyektifis dengan kebenaran obyektif-universalnya, atau tidak
pula bersifat murni subyektif-relativistik. Inilah yang memang diinginkan oleh
Heidegger, bahwa kita perlu berpikir melampaui kategori obyektif dan subyektif.
Dalam beberapa catatan menyebutkan bahwa Gadamer sebenarnya ingin menghargai
subyektifitas tanpa harus terjebak pada subjektivisme.
Sebuah artikel menggaris-bawahi bahwa
fusi horizon Gadamer memang dimaksudkan sebagai konsep dialektis yang ditujukan
untuk menolak dua alternative antara obyektifisme dan pengetahuan yang absolut.
"Fusion of horizons" is a dialectical
concept which results from the rejection of two alternatives: objectivism,
whereby the objectification of the other is premised on the forgetting of
oneself; and absolute knowledge, according to which universal history can be
articulated within a single horizon. Therefore, it argues that we exist neither
in closed horizons, nor within a horizon that is unique. People come from
different backgrounds and it is not possible to totally remove oneself from
one's background, history, culture, gender, language, education, etc. to an
entirely different system of attitudes, beliefs and ways of thinking.[32]
Pertanyaan yang ingin diajukan dalam hermeneutika
Heidegger dan Gadamer bukanlah “Apakah sesuatu itu benar atau salah?” tetapi “Bagaimana
prosesnya seseorang bisa memahami sesuatu dengan pemahaman ini dan itu?”. Jadi,
hermeneutikanya adalah untuk memahami bagaimana seseorang memahami sesuatu. Jika
harus menyebutkan jenis kebenaran yang sedang ingin diperjuangkan Gadamer, maka
kebenaran tersebut bernama “Kebenaran Kontekstual”, kebenaran di dalam
konteksnya, atau “Benar-menurut”.
[1] LIhat artikel “The Hermeneutic Circle” dalam situs http://www.buzzle.com/articles/the-hermeneutic-circle.htm
(Akses tanggal.20 April 2012)
[2] Lihat Roy J. Howard, Hermeneutika, Pengantar
teori-Teori Pemahaman Kontemporer, Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis,
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2000).
[3] Lihat artikel “Hans-Georg Gadamer” dalam Stanford
Encyclopedia of Philosophy, dalam situs http://plato.stanford.edu/entries/gadamer/
(akses tanggal 22 April 2012). “Wilhelm Dilthey broadened hermeneutics still
further, taking it as the methodology for the recovery of meaning that is
essential to understanding within the ‘human’ or ‘historical’ sciences (the Geisteswissenschaften)”
[4] Dikutip dari artikel “Hermeneutic Circle Versus Dialogue”,
dalam situs http://www.thefreelibrary.com/The+hermeneutic+circle+versus+dialogue....
(akses tanggal 24 April 2012)
[5] Donny Gahral Ardian, Martin Heidegger, (Jakarta
Selatan: Teraju, 2003), hlm. 52-55.
[6] Eric Lemay & Jennifer A. Pitts, Heidegger Untuk
Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 18.
[7] Inyiak Ridwan Mudzir, Hermeneutika Filosofis Hans-Georg
Gadamer, (Yogayakarta: Ar-Ruzz Media, 2008) hlm. 24.
[8] Seperti yang tertera dalam Ensiklopedi Filsafat
Stanford, dalam artikel berjudul “Hans-George Gadamer”, di dalamnya ketika
menjelaskan bahwa hermeneutika tidak lagi sebagai metode, diikuti dengan
keterangan: “This is not a rejection
of theimportance of methodological concerns, but rather an insistence on the
limited role of method and the priority of understanding as a dialogic,
practical, situated activity.”.
[9] Lihat artikel “Hermeneutic Circle” dalam situs http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutic_circle
(akses tanggal 20 April 2012). Beberapa tulisan ilmiah mengarahkan bahwa pemberi
nama “lingkaran hermeneutika” adalah Wilhem Dilthey, lihat artikel yang ditulis
oleh Paul Tseng, “Hermeneutics: An Introduction into the Origin, the
Hermeneutical Circle, the Application, and Metacriticism”, dalam jurnal J.L.A.
1021-2116(2005)14PP.115-129 空大人文學報第 14期(民國 94年12月)
[10] Artikel “The Hermeneutic Circle”, dalam situs http://www.buzzle.com/articles/the-hermeneutic-circle.html
(Akses tanggal 20 April 2012)
[11] Artikel “Hermeneutic Circle”, dalam situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutic
_circle (akses tanggal 19 April 2012)
[12] Poespropodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), hlm. 53-55.
[13] Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik Dari Plato Sampai
Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 10-11. Grondin
menambahkan, “Fakta bahwa yang-tak-dikatakan selalu melampaui apa yang bisa
dikatakan inilah yang mengukuhkan kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang terbatas.”
[14] Artikel “Hermeneutic Circle”, dalam situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutic
_circle (akses tanggal 19 April 2012)
[15] Artikel “The
Hermeneutic Circle”, dalam situs http://www.buzzle.com/articles/the-hermeneutic-circle.html
(Akses tanggal 20 April 2012)
[16] Lihat artikel “Hans-Georg Gadamer” dalam Stanford
Encyclopedia of Philosophy, dalam situs http://plato.stanford.edu/entries/gadamer/
(akses tanggal 22 April 2012).
[17] Artikel “The
Hermeneutic Circle”, dalam situs http://www.buzzle.com/articles/the-hermeneutic-circle.html
(Akses tanggal 20 April 2012)
[18] Paul Tseng, “Hermeneutics: An Introduction into the
Origin, the Hermeneutical Circle, the Application, and Metacriticism”, dalam
jurnal J.L.A. 1021-2116(2005)14PP.115-129 空大人文學報第 14期(民國 94年12月)diunduh dari internet tanggal 23 April 2012.
[19] Ibid.
[20] Artikel “Hermeneutic Circle”, dalam situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutic
_circle (akses tanggal 19 April 2012)
[21] Artikel “The Hermeneutic Circle”, dalam situs http://www.buzzle.com/articles/the-hermeneutic-circle.html
(Akses tanggal 20 April 2012)
[22] Donny Gahral Ardian, Martin Heidegger, (Jakarta
Selatan: Teraju, 2003), hlm. 58.
[23] Artikel “Hermeneutic Circle”, dalam situs Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutic
_circle (akses tanggal 19 April 2012)
[24] Pemahaman akan “tardisi” ini mungkin sedikit lebih jelas
jika dilihat sebagai bagian dari urutan berpikir ala Gadamer sebagai berikut:
“Being in Time” >> “Being in Tradition” >> “Vorurteil, Prejudice,
dan Pre-Undertanding” (yang kemudian lebih dekat dengan pengertian ‘diri dalam
budaya tertentu’ atau dipahami tiga hal tersebut sebagai ‘akal budaya’ untuk
menafsirkan sesuatu) >> “Human Finitude” atau “keterbatasan manusia”.
[25] Paul Tseng, “Hermeneutics: An Introduction into the
Origin, the Hermeneutical Circle, the Application, and Metacriticism”, dalam
jurnal J.L.A. 1021-2116(2005)14PP.115-129 空大人文學報第 14期(民國 94年12月)
[26] Ibid.
[27] Artikel yang ditulis oleh Fachruddin, “Hans-George
Gadamer: Hermeneutik” dalam situs http://fachruddin54.blogspot.com/2011/01/hans-georg-gadamer.htm
(akses tanggal 23 April 2012)
[28] Donny Gahral Ardian, Martin Heidegger, (Jakarta
Selatan: Teraju, 2003), hlm. 36-37.
[29] Dalam artikel “Hans-Georg Gadamer – The Hermeneutic
Circle”, dalam situs http://despairingself.
wordpress.com/2011/05/18/hans-georg-gadamer-the-hermeneutic-circle (akses
tanggal 24 April 2012)
[30] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method. (New York:
Continuum, 1997), hlm. 302
[31] Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode Pengantar
Filsafat Hermeneutika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 263-164.
[32] Artikel “Fusion of Horizons” dalam situs http://en.wikipedia.org/wiki/Fusion_of_horizons
(akses tanggal 24 April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar