American Beauty. “Whuh! Keren film ini, dud.
Deskripsi betapa berantakan hidup keluarga americanya ngena dan nyampe.
Setiap tokoh dengan setiap kelam masing-masing. Aku punya pertanyaan, apa tho
yang menjebak mereka dalam situasi itu? Anyway, aku salut sama
perjuangan ayahnya Jane untuk menghidupi hidupnya sendiri. Hahaha. Go watch
it, dud!”, begitulah sms yang kukirim setelah nonton film American
Beauty.
Beberapa scene yang kusukai adalah ketika pacarnya
Jane, tetangga sebelah rumahnya, merekam kantung plastik yang berputar-putar
terseret angin. Dalam rekaman itu, kantung plastiknya terkesan seolah
menari-nari asyik. Meliuk-liuk ke kanan kiri, berputar, dan melompat terbang
sambil berputar, dan turun lagi berlari ke kanan dan kiri. Video ini pasti
sangat berharga, karena tidak direkayasa. Maksudku, tidak semua orang punya
kesempatan berharga untuk menfilmkan momen seperti itu.
Kemudian scene ketika ayah Jane merayu Angela, gadis
SMA yang selalu dibayang-bayangkan olehnya. Sampai ketika sang ayah hampir
berhasil, justru ia mengurungkan niatnya dan ‘menyelamatkan’ Angela dari
perasaan yang selama di awal film tidak terekspos (obsesi untuk tidak menjadi
biasa-biasa saja).
Nah, scene yang terakhir adalah, di akhir segala
usaha ayah jane untuk sekali lagi menjadi benar-benar hidup, sang istri
kemudian menembaknya dari belakang tanpa sepengetahuan ayah Jane. Kejadiannya berjalan
begitu cepat. Sang istri sendiri hampir tidak mengerti kenapa ia begitu kalap
menembak kepala suaminya sendiri yang sedang memandangi kagum foto keluarga,
foto saat mereka bahagia dan tertawa bersama.
Kemudian sang ayah meninggal, dengan posisi duduk di kursi,
kepalanya menempel di meja depannya, menghadap ke kiri dengan rona wajah
tersenyum tenang. Darah kental meluber di meja dengan halus, dan menetes ke
lantai. Momen ini adalah momen berharga, persis seperti momen ketika kantung plastik
tadi menari. Sekali lagi, pacarnya Jane mengamati momen itu. Kepekaannya akan
keindahan selalu mendorongnya untuk menfilmkan apa saja yang menurutnya bisa mengingatkannya
bahwa hidup ini indah. Dan pose serta jalinan cerita yang dikandung momen
ketika ayahnya Jane meninggal adalah salah satunya.
Aku pun berpikir sama dengan pacarnya Jane. Aku merasa
kematian yang indah itu sangat pas. Sebuah kematian yang puas, bahagia, dan tenang.
Seolah ayahnya Jane meninggal tepat setelah ia tahu bagaimana ia harus
menghidupi dirinya sendiri. Kebenaran yang selama ini terus dicari dan diperjuangkannya.
Indah, bukan?! Setelah segala keruwetan dan rasa ketidak-bergunaan selama
sekian puluh tahun. Hahaha. Kita, muslim, menyebutnya husnul khatimah.
Ohya, karakterisasi tokohnya juga dibangun dengan sangat
konsisten dan punya kejutan. Seperti ketika dari awal film ayah dari pacarnya
Jane yang sok disiplin ala militer itu selalu memaki-maki para homo dan
selalu mengingatkan anaknya dengan nada mengancam untuk jangan sekali-kali
menjadi homo, ternyata ia sendiri memiliki dorongan kea rah itu. Lha?! Jadi
dalam salah satu scene ketika ia sudah menghajar anaknya dan mengusirnya
keluar rumah, ia amat menyesal. Ia mendatangi ayah Jane yang sedang fitness
di garasi. Ia menangis, berhujan-hujan, kemudian tanpa kata-kata apapun
langsung memeluk ayah Jane dengan mesra, kemudian mencium ayah Jane begitu
saja. Tentu saja ini mengagetkan ayah Jane. Juga aku. Lho?! Ada apa dengan
psikologi orang yang selama di awal film hingga menjelang akhir digambarkan
begitu disiplin dan sangat membenci praktik homo, justru ia sendiri yang
sebenarnya perlu ia khawatirkan. Bukan anaknya yang jelas-jelas bukan homo.
Jadi, aku melihat ada orang yang mengingkapkan kebenciannya dengan begitu
sangat tentang sesuatu kepada orang lain, yang sebenarnya tanpa disadari yang
dibenci bukanlah siapa-siapa melainkan dirinya sendiri. Ia memaki dirinya sendiri.
Kok bisa, ya?! Aneh memang, tapi masalahnya aku juga kadang punya fakta yang
seperti ini dengan diriku sendiri. Ini menarik untuk ditekuni sepertinya.
Kemudian kejutan karakter yang kedua adalah pada tokoh
Angela. Ia adalah gadis seksi yang mencitrakan dirinya sendiri sebagai cewek sangat
diinginkan oleh para lelaki. Angela mengatakan kepada Jane bahwa ia tidak
keberatan dipandang, diamati, dan dijadikan fantasi para lelaki untuk hal yang
itu. Angela bahkan bilang ke Jane itu adalah hal yang sudah biasa, karena ini
sudah Angela rasakan sejak umur 12 tahun. Pokoknya Angela selalu mengesankan
dirinya sebagai cewek seksi yang jalang. Dan Angela sepertinya bangga dengan
citra ini. Setiap kali bersama Jane, Angela selalu mengajaknya bicara dan bercerita
tentang seks dan rekornya dalam hal tersebut.
Tapi coba tebak, apa sebenarnya yang terjadi? Menjelang film
usai, baru ketahuan kalau itu semua omong kosong. Angela belum pernah melakukan
seks. Angela mengarang-ngarang semua cerita tadi. Angela sedang membuat citra
tentang dirinya dengan cerita-cerita dan tingkah lakunya itu. Tujuan Angela
dengan pencitraan itu adalah agar ia merasa bahwa ia istimewa, bukan biasa.
Jane benci menjadi cewek biasa-biasa saja. Nah, inilah yang selama sekian tahun
Jane kerjakan dalam hidupnya. Ia mulai memahami kenyataan ini ketika ia akan
melakukan hubungan seks dengan ayah Jane, yang ternyata urung karena rasa
kebapakan ayah Jane—dengan menyelimuti Angela yang tadi sudah ia telanjangi
sendiri, memeluknya sayang, dan menenangkan Angela dengan beberapa kata dan
obrolan ringan.
That’s it. Asta La Vista. Saluto!
Ayiko Musashi, 081109
yang menembak Lester bukannya bapaknya Ricky ya? Dalam satu scene ditampakkan bapaknya Ricky pakaiannya berdarah-darah
BalasHapus