My Hero My Boss. Film Jepang ini asik, keren, dan bagus
pesan yang ingin disampaikannya. Kesanku sangat menarik. Kemasannya lucu, tapi
lucu yang cerdas. Mereka juga sangat ekspresif. Artinya setiap pemeran dalam
film ini memiliki artikulasi karakter yang sangat tegas dan mampu menampilkan
ekspresi yang khas Jepang. Apalagi untuk peranan Makio, sang boss Yakuza yang
sekolah SMA, yang begitu banyak perubahan emosi secara mendadak. Hebatnya
adalah dia mampu memerankan kelokan-kelokan emosi tadi dengan baik. Itu
tergambar dari mimik muka yang dinamis, gesture tubuh, serta olah jiwa yang
sangat menghayati perannya.
Sangat komikal. Yap! Menikmati film ini persis sama dengan
membaca manga. Mulai dari angle yang diambil. Ekspresi muka yang
dinamis. Sekuensial film yang bernuansa panel komik. Dan aktor utama yang
karakter luarnya blo’on tapi anehnya aku sebagai penonton mampu
mengidentifikasinya dengan mudah bahwa justru keblo-on-annya sang Makio itu
malah menegaskan kebijakan, kebaikan, dan kepahlawanan si tokoh. Sisi pemilihan
karakter seperti inilah yang juga muncul di film (kartun) Jepang lainnya
seperti Sailor Moon, Naruto, One Peace, Doraemon, dll.
Oke. Kemasannya sudah sangat menarik. Dinamikanya juga mampu
menjaga penonton tetap duduk mencari tahu apa selanjutnya yang akan terjadi.
Lalu ilustrasi musiknya juga pas. Setip visual ditegaskan lagi melalui musik.
Setiap momen diisi dan dikuatkan oleh ilustrasi musik yang ciamik. Otamatis,
strategi audio-visual ini mampu menciptakan nuansa yang sampai kepada penonton.
Menyeret dan mengikut-sertakan audien untuk terlibat dalam setiap sesi film.
Dari sini, benar juga apa yang sudah ditulis Noe (Vokalis Letto) di majalah
budaya Gong tempo lalu tentang peran dan pengolahan ilustrasi musik
dalam film Jepang.
Form-nya sudah kita apresiasi. Lantas bagaimana content-nya?
Ternyata tidak kalah. Silang sengkarut solilukui, dilema yang dialami oleh
tokoh utamanya, kompleksitas ceritanyanya juga cukup menarik melihat bagaimana
sang sutradara atau penulis skenario menghubungkan setiap satu dan lain hal menjadi
penopang jalannya sebuah cerita utama. Temanya sebanarnya ringan-ringan susah. Soal
belajar. Yap! Belajar. Apa susahnya bicara tentang belajar?! Semua orang sudah
terbiasa mengucap, mendengar, dan menjalani kata ini. Oh ya?! Bisa jadi memang
demikian. Tapi justru karena sudah terlalu umum, kata belajar menjadi kata yang
remeh dan dangkal. Semua orang sudah terbiasa, sehingga menerima begitu saja
kata ‘belajar’ tanpa menghayati makna apakah yang sesungguhnya dikandung oleh
kata ‘belajar’.
Yap! Inilah yang dielaborasi oleh film ini. Sasaki Makio, seorang
calon boss Yakuza, sebuah kelompok mafia yang terorganisir seperti Mafioso
Itali di Jepang, berniat sekolah kembali di SMA agar ia bisa mewarisi kepemimpinan
Yakuza yang saat itu diempu oleh ayahnya sendiri. Ini poin pertama. Seorang
Yakuza sekolah?! Ini saja menarik. Melihat bagaimana perangai, cara berpikir,
dan menimbang bagaimana cara mereka mendapatkan
apa yang mereka inginkan, lalu tiba-tiba sekolah—dengan sekian tata aturan,
tugas-tugas, dan tetek-bengek-nya. Lalu ditambah lagi, saat Makio masuk
sekolah SMA ia sebenarnya sudah berumur 28 tahun. Ini jelas peregesekan sosial-psikis
yang lumayan alot bagi Makio untuk bergumul dengan bocah-bocah berumur
17 tahunan selama satu tahun ia akan menjalani sekolah. Hehehe. Poin keduanya
terletak pada bagaimana Sasaki, sang boss Yakuza dengan segala kosa kata
tentang kekerasan dan citra kriminal, menitahkan perintah pada Makio untuk
sekolah. Lihat bagaimana seorang bos Yakuza masih memandang perlu sekolah.
Lihat bagaimana kepedulian sang bos Yakuza terhadap pendidikan. Kebetulan sang
bos juga adalah ayah dari Makio juga.
Hal lain yang menarik adalah nilai solidaritas masyarakat
Jepang yang tersirat dalam film ini. Setiap tokoh memainkan peranan masing-masing
untuk mendukung jalinan cerita. Dari sini, malah sebenarnya dalam film ini tidak
terkesan adanya penonjolan salah seorang tokoh. Karena yang terjadi adalah
setiap orang bermain untuk cerita. Aku ingat bagaaimana sang guru, teman-teman
kelas, para Yakuza bermain.
Lalu, perhatikan aksi dan reaksi setiap tokoh dalam film
ini. Bandingkan dengan wajah kebanyak sinetron di televisi kita. Tidak ada
eksploitasi emosi yang berlebihan di film ini. Tidak melankolis. Tidak
melodrama lantas menurutkan onani satu emosi berlarut-larut. Tidak cengeng. Tapi
ketenangan dan kedewasaan yang sangat tegas. Ini penting, menurutku. Karena
film adalah media yang cukup besar peranannya dalam menciptakan nalar asosiatif,
logika dan cara pandang dari penontonnnya. Setiap film yang sudah kita tonton
akan menjadi semacam proto-type terbayang dan mengendap di kepala
sebagai memory dan pilihan untuk bertindak. Bukankah kita lebih sering
belajar dengan meniru?! Jika memang demikian, maka carilah tiruan yang benar.
Sesuatu yang benar untuk ditiru—kalau belum bisa mandiri, tentunya, hehehe. Jangan
seperti yang selalu diucapkan oleh Cak Nun, “Wong Indonesia iki piye…?! Senengane
kok nyembah berhala. Wes ngunu salah meneh berhalane?!..”. Tragis dan
ironis. Menyembah berhala saja itu sudah lambang kebodohan. Malah ditambah
salah mengambil berhala itu artinya adalah kebodohan kuadrat. Hehehe.
At least, manusia Jepang dalam film ini adalah
manusia pembelajar, riang, dan bersemangat.
Ayiko Musashi, 29 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar