Silahkan bayangkan bagaimana
jadinya tubuh ini, andaikata setiap dosa yang kita lakukan langsung diganjar
seketika dengan, luka, borok, cacat, atau bahkan kematian. Jadi misalnya
setelah mencuri, tangan langsung prothol; begitu berzina, kelamin
langsung terbakar; atau begitu telat shalat, langsung kena panu?! Pasti saya
tidak akan kemlinthi, berani-berani melakukan dosa. Paling tidak,
pikir-pikir dulu-lah.
Pola demikianlah kira-kira yang
diterapkan Tuhan kepada umat-umat terdahulu. Begitu mereka ingkar, membangkang,
atau mungkir dari perintah Tuhan, langsung dihukum. Seperti kaum Tsamud (umat
nabi Sholeh), yang diguncang gempa; kaum Aad (umat nabi Hud) dihempas angin
topan; kaum Madyan (nabi Syuaib) digulingkan gempa; umat nabi Nuh ditelan
banjir besar; umat nabi Luth remuk dihujani batu; Qarun ditenggelamkan ke perut
bumi; Fir’aun lenyap di tengah laut; Abrahah leleh terhujani batu panas; atau
kaum lainnya yang terkutuk menjadi kera. Tidak main-main, bukan?!
Berbeda dengan mereka, umat nabi
Muhammad ini reward & punishment-nya ditangguhkan nanti di hari
akhirat. Jadi, semuanya ‘hanya’ dicatat oleh malaikat Raqib-Atid, diakumulasi,
dan baru nanti diperhitungkan masing-masingnya. Lumayan santai sepertinya menjadi
umat nabi Muhammad ini.
***
Kata kunci yang menjadi penekanan
disini ialah tentang penangguhan. Masalahnya kemudian, manusia itu
mahluk yang tidak sabaran. Mahluk yang tidak bisa berteman akrab dengan sesuatu
yang berjarak, sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang ‘jauh’ disana, dan
‘nanti’. Manusia cenderung kepada sesuatu yang ‘kini-disini-dan-kasatmata’.
Lihat saja misalnya obsesi nabi
Musa yang ngotot ingin melihat Tuhan, hingga ia akhirnya pingsan sendiri karena
tidak kuat. Atau nabi Ibrahim yang sungguh-sungguh melakukan observasi-kritis untuk
menemukan Tuhan. Fase yang beliau jalani bermula dari sesuatu yang materi dulu,
yakni pada bintang, bulan, matahari, baru kemudian menemukan Tuhan yang
immateri, Allah.
Dalam keseharian, saya sendiri lebih
termotivasi dengan model reward & punishment yang langsung. Misalnya,
saya takut telat masuk kerja, karena jelas, bos bisa marah, gaji saya dipotong,
atau takut nanti dipecat. Contoh yang lain, ketika masih kuliah, saya selalu
tepat mengerjakan tugas membuat makalah. Karena saya tahu sanksi jika tidak
melakukannya: dimarahi dosen, tidak dapat nilai, atau mengulang pelajaran tahun
depan.
Ini adalah beberapa contoh dari pola
reward & punishment yang langsung dan konkrit. Berbeda misalnya dengan
ketika terlambat shalat, kok ternyata tidak terlalu banyak kekhawatiran ya?! Rasanya
biasa-biasa saja. Rasanya tidak terjadi apa-apa. Welah! Tiba-tiba
masalah kerja (hubungan saya dengan bos), atau soal tugas kuliah (hubungan saya
dengan dosen) menjadi lebih nyata daripada hubungan saya dengan Tuhan. Ini sangat
lancang sekali! Bagaiamana tidak? Jika dipecat bos, saya mungkin hanya
kehilangan kerja saja. Tapi kalau Tuhan yang memecat saya?! Kan, berabe
betul ini urusannya!!
Lantas, apa makna penangguhan Tuhan
itu tadi ya, kalau nyatanya malah sering menggelincirkan kita menyembah
tuhan-tuhan materi (bos, dosen, orang tua, polisi, atasan, istri, dan
lain-lain)? Atau apakah justru sebaliknya. Kita harus ber-positive thinking bahwa
sebenarnya Tuhan sangat memercayai potensi generasi kita untuk mampu melampaui segala
sifat ke-materian hidup ini? Seperti halnya Ibrahim yang telah lulus hijrah
dari segala tuhan wadag. Atau jangan-jangan, ini adalah ujian untuk naik
kelas, dari level islam (ibadah formal-materi-kasat mata) menuju level iman
(laku hati - sikap percaya), hingga puncaknya, ihsan (penghayatan,
merasakan kehadiran Tuhan, seolah-olah kita melihat Tuhan atau Tuhan sedang
melihat kita)?
Ayiko Musashi,
08 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar