Film di LIP. Ada dua, Sonnenalle dan Goodbye Lenin.
Keduanya berbicara tentang kehidupan masyarakat Jerman Timur semasa berdirinya
tembok pemisah Berlin. Film yang pertama pembawaannya lebih santai dan luwes
karena berbicara tentang kehidupan sehari-hari seorang pemuda Jerman Timur.
Tentang harapan, musik, cinta, dan mimpi-mimpi mereka. Sedangkan yang kedua
juga asik tapi nuansanya humornya tidak terlalu dominant karena memang temanya
menghendaki demikian; menceritakan seorang pemuda Jerman Timur yang berjuang
mengembalikan segala asesoris kehidupan JErman Timur. Sang pemuda tersebut
sengaja menyembunyikan kenyataan bahwa Jerman sudah bersatu mengingat ibunya yang
baru saja sembuh dari pingsan selama 8 bulan karena serangan jantung. Ini juga
menarik.
Secara umum, film-film tersebut hanya bercerita masa
pembagian Jerman dan momen saat tembok Berlin dijebol. Tidak ada cerita paska
itu. Memang, runtuhnya temok Berlin sangat emosional dan bersejarah, namun
menurutku sendiri sebagai penonton, muncul pertanyaan: “njur piye bar tembok
e jebol?! Tambah enak opo sek pancet soro?!”.
Pertanyaan ini menurutku penting, karena seperti dalam
penggambaran di film, warga Jerman Timur kaget dengan kenyataan hidup mewah di
Jerman Barat, juga kaget dengan kenyataan hidup di Jerman Timur sendiri yang
miskin. Sehingga dalam waktu yang sangat cepat imej warga kaya Jer-Tim menjadi
bahan tertawaan warga Jer-Bar. Apa yang menjadi barang mewah di Jer-Tim adalah
barang biasa bahkan lowakan di Jer-Bar. Nah, situasi ini tidak terkspos
dalam film. Adakah semacam rasa inferior ketika warga Jer-Tim bertemu dengan
warga Jer-Bar?
Masalah yang kedua adalah, istilah ‘bersatu’. Benarkah jebolnya
tembok Berlin adalah simbol persatuan warga Jerman? Atau justru itu adalah
simbol kekalahan ideologis? Kita tahu bahwa sosialisme di Jer-Tim nampak melempem
dibandingkan dengan kapitalisme di Jer-Bar. Lihat saja mimpi dan kenyamanan
yang diburu oleh warga Jer-Tim.
Kalau memang benar bersatu, maka persatuan semacam apakah
yang terjadi di Jerman? Satu ideologi mendominasi yang lain? Satu ideologi
membunuh yang lain? Atau, dari benturan dua ideologi tadi muncul sebuah
sintesa? Nah!
Dalam film yang kedua jelas terlihat bahwa pemersatu bangsa
Jerman bukan dimulai dari politik atau ekonomi, tapi melalui hal-hal diluar
narasi besar seperti, cinta, musik, atau sepak bola. Bagaimana semua warga
Jerman terbawa suasana satu semangat mendukung tim mereka berlaga di piala
dunia.
Waktu selesai nonton film pertama, kusairi bertanya, kok
yang dijadikan subyek narrator di filmnya selalu dari warga Jer-Tim ya?. Ah.
Iya juga. Kenapa begitu? Lalu kemudian kita keluar, ambil snak dan es the,
terus sholat.
Ini dulu.
Ayiko Musashi, 091109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar