Siapa yang tidak pernah
berhutang?! Karena umur hutang sama tuanya dengan umur manusia. Jika berbicara
jenisnya, ada banyak: ada yang istilah kerennya secured and unsecured debt,
private and public debt, syndicated and bilateral debt, atau
jenis yang menggabungkan dua atau tiga jenis sebelumnya. Tatacara dan
prasyarat-prasyaratnya macam-macam. Ada juga lembaga internasional yang khusus
ngurus soal hutang internasional (IMF). Ada juga masalah Negara-negara berkembang
yang terbelit hutang tak berkesudahan. Tidak ketinggalan pergeseran pola hutang
piutang yang aneh tapi nyata. Dulu, orang yang butuh uang datang kepada orang
yang punya uang untuk hutang. Hari ini justru orang yang ber-uang mendatangi
orang yang tidak ber-uang untuk dihutangi. Ini unik, sekaligus perlu dikaji,
“ada apa?”
Masih soal hutang. Al-Qur’an memandang
serius permasalahan hutang-piutang ini. Jika anda perhatikan, ayat yang isinya
paling panjang adalah ayat yang berbicara tentang hutang. Satu ayat ini panjangnya
mencapai satu halaman sendiri. Tidak ada ayat lain lagi yang sepanjang ini di dalam
al-Qur’an. Silahkan cek dalam surat al-Baqarah ayat 282.
Kita beralih ke lanskap dunia
hutang lebih luas lagi. Ada dua jenis hutang dalam hidup ini: (1) hutang yang
bisa dibayar, dan (2) hutang yang tidak pernah bisa dibayar, forever in debt
(selamanya berhutang). Pepatah mengatakan, “hutang uang dibayar uang,
hutang budi dibawa mati”. Pararel dengan hal itu, dalam bahasa Arab, ada dua
kata yang komposisi hurufnya sama, hanya berbeda satu harokat saja, yakni دِيْنُ (diinun) dengan دَيْنُ (dainun).
Yang pertama berarti “hutang” dan yang kedua biasa diterjemah sebagai “agama”. Dalam
salah satu teori kebahasaan Arab, teori Isytiqaq (teori bentukan kata),
jika ada dua kata atau lebih yang memiliki struktur komposisi huruf dan harokat
yang bermiripan, maka pasti ada kaitan makna yang menghubungkan satu sama
lainnya. Dan benar demikian. Baik diin maupun dain bertemu pada makna
asalnya, yakni “hutang”. Bedanya, jika dain adalah hutang yang bisa
dibayar, maka diin adalah hutang (kita atas rahmat-rahmat Allah) yang
tidak pernah bisa kita bayar untuk dilunasi.
Jadi, seseorang itu beragama,
ber-diin adalah dalam rangka bertatakrama kepada Allah yang telah
menghutanginya tangan, kaki, mata, telinga, hati, akal-budi, menghutangi hidup,
setiap hal, segalanya dan semuanya. Atas semua ini, kita akan selalu berhutang,
karena kita tak bisa membayarnya. Satu kenikmatan mata saja tak mencukupi
dihargai dengan uang. Luas biasa mahal. Di jerman, kabarnya ilmuwan mulai
mengembangakan serabut retina mata yang harga serabut-serabutnya saja mencapai milyaran
dollar. Begitu mahalnya. Padahal baru serabutnya saja, dan belum ada jaminan akan
bekerja sebagus pabrikan Allah. Jika seluruh raga-jiwa dan berlangsungnya
kehidupan setiap kita ini dikalkulasi, maka alangkah begitu banyaknya. Sedemikian
luar biasa tidak terkira ini, lalu manusia tak sanggup membayar. Itulah mengapa
status abadi manusia adalah sebagai hamba Tuhan. Sebagai Abdun, sebagai
budak.
Dalam ranah yang lebih kecil,
setiap anak juga akan selalu berhutang kepada orangtuanya. Ini juga termasuk
hutang yang tak bisa dibayar. Kita berhutang atas jasa ibu; mengandung, melahirkan
bertaruh nyawa, menyusui, membelai. Berhutang atas segala curahan kasih sayang.
Sesuatu yang semuanya berada di luar kurs harta-benda materiil.
***
Ternyata, semua manusia hadir
ke dunia, sampai bisa seperti ini hari ini, segalanya adalah modal berhutang. Dalam
kehidupan ini, hampir-hampir tidak ada yang lahir dari usaha manusia sendiri. Tubuh
bukan kita yang bikin. Lahir procot atas jasa ibu. Belajar bediri,
belajar ngomong, belajar ini dan itu juga atas jasa orang lain. Kesadaran dan
penghayatan merasa berhutang ini sepertinya yang bisa mengendalikan diri kita. Apa
bisa disombongkan atas diri ini, jika segalanya adalah hasil hutang?! Itupun
kita tidak pernah bisa melunasinya.
***
Ada hal yang menarik. Jika
hutang harta-duniawi, membayarnya adalah dengan mengembalikan kepada yang
meminjami. Tapi tidak demikian dengan hutang kehidupan, membayarnya justru kepada
generasi kehidupan selanjutnya. Jika kita berhutang hidup kepada orangtua kita,
membayarnya adalah kepada anak-cucu kita. Menyayangi dan membesarkan mereka
sebaik orangtua kita dulu menyayangi dan membesarkan kita. Hutang kehidupan itu
seperti tongkat estafet. Terus digilirkan kepada generasi selanjutnya. Inilah cara
kehidupan menyediakan jalan bagi kita untuk apen-apen mencicil hutang hidup
kepada orangtua kita.
Demikianlah yang juga
kira-kira yang dimaksudkan oleh Allah. Kita berhutang kepada-Nya. Tidak
kemudian kita menyerahkan sesuatu kepada-Nya. Allah tidak membutuhkan apa-apa
dari kita. Tapi hutang rahmat-Nya tetap harus dicicil. Caranya adalah dengan berbuat
baik kepada semua mahluk-mahluk-Nya sebaik Allah berbuat baik atas diri kita. Wa
ahsin kamaa ahsanallohu ilaika..
Wallahu a’lam.
Ayiko Musashi,
Klaten, 11 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar