Kesempurnaan Islam dan Iman
Betapa mudah dan sederhananya menjadi Islam. Menikah dinilai
sebagai pemenuhan setengah beragamanya seseorang. Sudah asyik, diganjar telah
memenuhi separo keislamannya lagi. Imam Bukhari meriwayatkan hadis lain, juga masih
terkait soal kesempurnaan berislam. Min husni islamil mar’i, tarkuhu maa laa
ya’niihi. “Termasuk hal yang dapat menyempurnakan keislaman seseorang itu
adalah kerelaannya untuk meninggalkan apa yang tak berguna.” Lagi, hadis dari Imam
Bukhari: Al-muslimu man salimal muslimuuna min lisanihi wa yadihi. “Yang
disebut orang Islam itu ya orang yang bisa mengamankan saudara-saudaranya
sesama Islam dari keburukan yang ditimbulkan oleh lisan dan tangannya.”
Satu kali nabi ditanya: “Ya Nabi, Islam yang bagaimana yang
bagus itu?” Nabi menjawab—Islam yang bagus itu adalah—“Memberi makan orang lain
dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang kau kenal atau tidak.”
Kemudian, soal kesempurnaan iman, kita bisa menilik hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang isinya menyatakan bahwa seseorang
dianggap telah menyempurnakan iman jika mampu menggenapkan tiga hal dalam
dirinya, yakni: (1) Jujur terhadap diri sendiri (al-inshofu min nafsih),
(2) menebarkan salam kedamaian pada seluruh dunia (badzlus salam lil aalam),
dan (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum (al-infaqu minal iftiqar).
Penyempurna iman yang lain ada di hadis yang lain lagi: “Belumlah
sempurna iman kalian hingga kalian mampu mencintai saudara-saudaramu selayaknya
kalian mencintai diri kalian sendiri.” (laa yu’minu ahadukum hatta yuhibba
li akhiihi maa yuhibba linafsih).
Jadi, melalui hadis-hadis ini, kita seolah diingatkan bahwa
berislam itu tidak hanya soal syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji saja;
atau juga beriman itu tidak hanya urusan percaya kepada Allah, Nabi,
Kitab-kitab suci, Hari akhir, serta Qadha’ dan Qadar saja. Tapi juga ada
ruh-ruh penyempurnanya, yang itu sifatnya terkait dalam bingkai kemanusiaan. Setiap
sesuatu memiliki dua dimensi: syari’at dan hakikat. Jika yang termasuk rukun
Islam dan rukun Iman tadi adalah syari’at, mungkin yang disampaikan oleh
hadis-hadis di atas adalah hakikatnya.
Soal yang lain
Setiap kita hadir ke dunia tanpa modal sepeserpun. Kepala,
mata, telinga, mulut, leher, dada, tangan, kaki, dan sebagainya, semuanya sudah
tersedia, tanpa perlu membeli. Misalkan tuhan itu berdagang, maka tentu semuanya
yang ada ini tak kan pernah terbeli. Terlalu mahal! Tapi tuhan amat sangat
pemurah. “Ongkos” untuk semua fasilitas tubuh, alam, dan semua kondisi yang
mendukung kehidupan ini tuhan hanya minta “retribusinya” sedikiiiiit sekali. Nabi
menyebutnya sebagai “shadaqah anggota tubuh”.
Setiap tulang manusia ada sedekah atasnya pada setiap
kali matahari terbit—Bagaimana bentuk sedekah itu, ya Nabi? Beliau menjawab,
“Gampang!”—Berlaku adil antara dua orang adalah sedekah. Membantu seseorang
menunggang kendaraannya atau mengangkatkan barangnya ke kendaraannya adalah
sedekah. Kalimat yang indah adalah sedekah. Setiap langkah menuju shalat adalah
sedekah. Menyingkirkan sesuatu yang mengganggu di jalan adalah sedekah. (HR.
Bukhari dan Muslim)[1]
Tersenyum juga sedekah. Dinilai berpahala. Bahkan, dalam
sebuah riwayat dikatakan, idkhaalus-suruur atau membuat orang lain
bahagia itu lebih utama daripada ibadah untuk diri sendiri seribu kali. Demikianlah
etika bersosial yang diajarkan Nabi. Islam itu rahmat bagi seluruh alam. Ini
prinsipnya. Berbuat baik (ishlah), membuat bahagia orang lain, atau berkomitmen
untuk selalu memproduksi kemanfaatan-kemanfaatan. Ada dua perkara yang tidak
bisa diungguli keutamaannya oleh yang lain, yakni: (1) iman kepada Allah dan
(2) memberi manfaat kepada sesama muslim.[2] Dalam
hadis yang lain lebih tegas lagi Nabi me-rating urutan terbaik manusia: “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi sesamanya.”
Khairunnas anfa’uhum linnaas.
Ayiko Musashi,
Klaten, 10 Oktober 2011
[1] Sebagaimana
dikutip dalam M. Quraish Shihab, Dia Dimana-mana Tangan Tuhan Dibalik Setiap
Fenomena, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006) hlm. 114-115
[2] Hadis yang dikutip dalam buku Imam Nawawi
al-Bantani, Nasha’ihul Ibad Nasihat-nasihat Untuk Para Hamba—terj., (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2005), hlm. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar