Manusia
sebagai Homonicus-Namanicus
Hadir di dunia
yang telah bernama, dan menjadi makhluk pemberi nama. Segala sesuatu telah
dijumpainya dalam keadaan bernama dan akan dinamainya. Mulai dari dimensi ruang
seperti galaksi, tatasurya, planet, benua, negara, kota, desa, jalanan, dusun, sampai
isi ruang di rumah..
Benda-benda dinamai.
Dirinya sendiri, anggota badan, pakaian, makanan, pelajaran, buku-buku, penyakit,
aktifitas, hingga semua fenomena sejarah dan yang sehari-hari. Ide, pikiran,
perasaan, imajinasi, dan segala karya abstrak latihan spiritual, semuanya dinamai.
Sampai ke dimensi waktu juga demikian. Dipenggal-penggal, lantas dinamai: ini
subuh, ini pagi, ini siang, sore, petang, dan malam. Ini musim panas, musim
dingin, hujan, salju, dan musim gugur.
Ilmu Nama
Inilah
pengetahuan pertama dalam sejarah manusia. IPN atau Ilmu Pengetahuan Nama. Tuhan
sendiri yang berlaku sebagai dosen mengajarkan ilmu tersebut kepada nabi Adam. Wa
allama Adama al-asma’kullaha. Dengan pengetahuan inilah manusia diangkat
derajatnya, malaikat bersujud hormat, dan sekaligus berhenti mendemo Tuhan terkait
skenarionya mencipta manusia sebagai khalifah di bumi.
Para ilmuwan kemudian
bekerja memetakan belantara ilmu nama-nama. Muncul Onomastika, bidang
ilmu pengetahuan yang mempelajari asal-usul nama, seperti bagaimana asal-usul
nama Indonesia, cerita di balik nama Banyuwangi, Jombang, Klaten, Surabaya, Tulungagung,
dan sebagainya.
Ada Toponimi atau kajian ilmiah tentang nama tempat. Jadi, mempelajari
mengapa banyak nama tempat di sekitar Kerajaan Majapahit, diawali dengan awalan
“Mojo”, seperti Mojokerto, Mojoagung, Mojowangi, Mojodhuwur, Mojosongo; atau
banyaknya penggunaan awalan “Ci” untuk nama daerah di Jawa Barat: Cianjur,
Cirebon, Cisarua, atau Cibinong; atau juga seperti banyaknya penggunaan awalan atau
akhiran “karta” atau “kerto” untuk nama kota, semisal Jakarta, Yogyakarta,
Purwakarta, Mojokerto, Purwokerto, atau Kartasura.
Allah memiliki 99
nama indah, Asmaul Husna. Dengan Nama-nama itu Allah senang sekali disebut,
dipanggil, dan dipuja. Dan banyak orang Islam menyandarkan kediriannya sebagai
hamba (abd) kepada salah satu Nama Indah itu. Abdullah, Abdurrahman, Abdussalam, Abdurrahim, Abdurrauf,
dan banyak lainnya. Tradisi ini disebut Teorofik, atau kebiasaan
mencantumkan nama Tuhan di dalam nama seseorang.
Slametan
Nama
Ada yang
mengatakan bahwa menamai itu berarti membatasi. Sehingga ada beberapa hal oleh
beberapa orang dibiarkan tidak bernama, untuk menjaga keluasannya. Ada juga yang
kerasukan semangat reformasi, sehingga anaknya dinamai Gempur Soeharto,
karena saking jengkelnya kepada Si Presiden. Ada orang Arab menghormati leluhur
dengan cara menghafalkan nama-nama mereka semua. Jadi, Saya adalah Fulan bin
Ini bin Anu bin Itu bin Ono bin Iki bin Iku bin Sopo, dan seterusnya.
Ada orang-orang
yang nama daerahnya lebih dikenal daripada nama aslinya seperti Sunan Ampel,
Giri, Drajat, Bonang, Muria, Gresik, Sunan Bayat; atau cendikia seperti al-Bukhari,
al-Khawarizmi, atau al-Ghazali. Semuanya terambil dari nama tempat yang mereka
diami, bukan nama asli.
Ada juga yang nama singkatannya justru yang lebih populer,
seperti SBY atau Buya HAMKA, yang itu adalah kependekan dari Haji Abdullah
Muhammad Karim Amarullah. Ada juga nama yang nyingkat asal-asalan tapi kreatif,
seperti JURUS TANDUR-nya Slank yang kependekan dari ma(JU) te(RUS) pan(TAN)g
mun(DUR), atau juga seperti yang pernah saya jumpai, warung MIYABI, yang jebulnya
adalah kependekan dari “(MI)e a(YA)m (BI)ntoro.” Hehehe.
Dan masih banyak lagi. Setiap bayi yang lahir, belajar
mengeja dan mengenal nama-nama. Ada tanya: Bisakah kiranya manusia hidup tanpa
nama-nama?
Ayiko Musashi,
12 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar