Isi Blog ini

terdiri dari banyak tulisan; antara tulisan 'ilmiah', artikel buletin, opini, puisi, komentar film (biasa diberikan kode "RF"), lirik lagu, beberapa kutipan, atau apapun saja yang dinilai baik untuk dibagikan sebagai pengalaman bersama..

Selamat menikmati.

Tamu

Rekanan Situs

Rekanan Situs
Klik Gambar di Atas untuk berkunjung ke Pasar Grosir Tas; Drawstring, Tote, Sling, etc. Tas kanvas, tas blacu, tas furing, dll.
Ayiko Musashi. Diberdayakan oleh Blogger.

Kunjungi Juga

Kunjungi Juga

Welcome to

Welcome to

Terjemah

Artikel Pop

Menuju Ke

Kamis, 31 Mei 2012

Konsep Hadis & Sunnah


A.     Pendahuluan
Ada dua istilah yang seringkali disebut secara bergantian, sehingga timbul kesan bahwa dua istilah tersebut adalah sinonim, akan tetapi setelah diteliti, dua istilah tersebut memang serupa tapi tak sama. Hampir mirip tapi tetap dua hal yang berbeda: Sunnah dan Hadis.

Demikian halnya dengan dua istilah lain yang juga sering diucapkan dalam kesan sinonim dengan istilah “hadis”, yakni “khabar” dan “atsar”. Meskipun berbeda, tetapi keempat istilah ini disatukan dalam fungsi mereka sebagai sebuah informasi.

B.     Beberapa Diferensiasi
Untuk memulai kajian konseptual empat istilah tersebut, penulis mencoba untuk membuat klasifikasi dari definisi-definisi yang telah ada. Setidaknya, penulis mencatat tiga model diferensiasi.

  1. Diferensiasi Berdasarkan Materi
Model pertama adalah cara mendefinisikan perbedaan atau diferensiasi dengan melihat materi informasi. Yang termasuk dalam model ini termasuk pendapat para ulama yang mendefinisikan bahwa yang disebut Sunnah adalah informasi yang merujuk pada praktik (amaliyah) dan taqrir Nabi Muhammad saw. Sedangkan yang disebut Hadis hanyalah informasi yang berbentuk ucapan.[1] Dari pembedaan demikian, maka muncullah istilah ahli hadis (imam fi al-hadits), ahli sunnah (imam fi as-sunnah), dan ahli keduanya (imam fi hima). Contoh kasus: suatu kali Abu Said Abdurrahman bin Mahdi bin Hisan al-Anbari ditanya tentang Sufyan as-Sauri, al-Auza’i, dan Malik. Ia menjawab bahwa Sufyan as-Sauri adalah hali hadis, tetapi tidak dalam sunnah; al-Auza’i ahli dalam bidang sunnah, namun tidak dalam bidang hadis; sedangkan Malik ahli dalam kedua bidang tersebut.

Diferensiasi  model pertama ini juga memuat contoh pernyataan bahwa “Sebuah hadis bertentangan dengan qiyas, sunnah, dan ijma’”. Ini dipahami dalam pengertian informasi dari Nabi yang bentuknya verbal bertentangan dengan informasi dari Nabi juga yang bentuknya praktik perbuatan atau ketetapan (taqrir). Demikian pula pengertian yang dimaksudkan oleh Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qubi—dalam bukunya yang terkenal—dengan judul “Kitab as-Sunan bi Syawahid al-Hadits”. [2]

Ada juga definisi—masih dalam model diferensiasi pertama—yang menyatakan bahwa yang disebut Hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi nabi atau sesudahnya, akan tetapi ketika menyebut Hadis, yang dimaksudkan biasanya adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi sesudah beliau diangkat menjadi nabi.[3]

  1. Diferensiasi Berdasarkan Sumber
Ini adalah model pembedaan istilah yang diambil tidak dengan melihat isi atau bentuk informasi, melainkan dengan mempertimbangkan sumber atau kepada siapa sebuah informasi itu disandarkan. Dalam diferensiasi model kedua ini definisi-definisi lebih diarahkan untuk meneliti perbedaan istilah antara Hadis, Khabar, dengan Atsar.

Penduduk Khurasan dulu memulai pembedaan dengan mengatakan bahwa khabar itu semakna pengertiannya dengan hadis, dan istilah atsar merujuk pada perkataan atau keputusan dari para Shahabat. Lebih maju kemudian, Muhammad al-Zafzaf memilah, bahwa hadis itu adalah informasi yang terbatas pada Nabi Muhammad saw saja; sedangkan khabar lebih luas cakupannya dibanding hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan selain beliau—seperti kepada Shahabat; dan kemudian istilah atsar lebih cenderung berarti segala sesuatu yang disandarkan pada selain Nabi—khususnya kepada generasi Tabi’in.[4]

Namun demikian, banyak kalangan ulama yang cenderung tidak memilah sumber informasi seperti yang telah lalu, sehingga tidak ada beda antara hadis, khabar, dengan atsar. Generalisasi ini mengambil dasar dari istilah-istilah yang digunakan di dalam Ulumul Hadis yang menyatakan bahwa informasi, baik dari Nabi, Shahabat, atau Tabi’in, semuanya disebut Hadis, dengan sedikit spesifikasi, yang pertama disebut Hadis Marfu’, kemudian selanjutnya dinamakan Hadis Mauquf, dan yang terakhir disebut Hadis Maqthu’.[5]

  1. Diferensiasi Berdasarkan Kontinuitas Sejarah. Poin ini akan dijabarkan pada poin C dan poin E.


C.     Definisi Sunnah
Prof. Dr. M. M. Azami telah memaparkan definisi Sunnah dari berbagai sisi. Secara etimologi, sunnah adalah “tata cara”, seperti yang tertulis di dalam Lisan al-Arab yang mengartikan “cara atau jalan, jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan”. Dari sudut pandang Ahli Fikih, sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw.” Dari informasi syair-syair Arab didapat pengertian sunnah sebagai “aturan atau tata cara yang dianut, baik cara itu terpuji maupun tercela.” Ayat-ayat al-Qur’an juga ikut memberikan tambahan definisi sunnah. Ada empat ayat yang dikutip oleh Azami (surat 4:26, 8:38, 17:77, 48:23). Dari keempat ayat tersebut ditarik sebuah pengertian sunnah sebagai “tata cara dan kebiasaan.” Azami kemudian berlanjut menganalisa penggunaan kata sunnah di dalam hadis. Analisa tersebut memperoleh pengertian sunnah secara harfiah sebagai “tata cara” atau “tata cara dan tingkah laku hidup yang menjadi anutan.”[6] Setelah melalui tahapan tersebut, Azami menyimpulkan bahwa,

..Orang-orang Jahiliyah telah menggunakan kata sunnah dalam syair-syairnya untuk menunjuk kepada arti “tata cara”. Sedang dalam al-Qur’an, kata sunnah dipakai untuk arti “tata cara dan tradisi”, sementara Rasulullah saw juga menggunakannya untuk arti tersebut.

Kemudian kata sunnah tersebut oleh orang-orang Islam dipakai untuk arti terminologis dengan menambahi “al”—menjadi as-sunnah—di depannya, yaitu “tata cara dan syariat Rasulullah saw,” dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus, sebab pengertian yang belakang ini hanya dipakai dalam arti yang sempit.[7]



D.     Kedudukan Sunnah
Posisi dan fungsi sunnah bisa dikelompokkan menjadi empat:
  1. Sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih global di dalam al-Qur’an. [seperti yang tercantum dalam surat 16:44]
  2. Menjadi uswah hasanah atau model bagi setiap muslim. [seperti dalam surat 33:21]
  3. Sebagai sesuatu yang wajib ditaati—karena sunnah tersebut dilakukan oleh Nabi. [Lihat surat 8:80, 4:80, 4:69, 4:59-60]
  4. Sebagai suatu bentuk regulasi hukum tertentu, karena Nabi diberi wewenang untuk membuat suatu aturan. [terekam dalam surat 7:157, 59:7, 53:3-4][8]

E.     Menelisik Ontologi Sunnah untuk Menemukan Perbedaanya dari Hadis
Di dalam bukunya, Hadith and Its Literary Style, Khalid Mahmud Shaikh menjelaskan perihal kedudukan ontologis sunnah. Ia memulai dengan menjelaskan sentralitas peran nabi Muhammad. Al-Qur’an tidak diwahyukan langsung kepada penduduk Makkah, melainkan melalui Nabi. Dari beliaulah manusia mendengar firman Allah. Dengan demikian, percaya terhadap kenabian dan kerasulan nabi Muhammad syarat pertama sebelum kemudian percaya kepada al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

Ada dua jenis wahyu yang diberikan oleh Allah. Yang pertama disebut wahy al-matluww, dan jenis inilah yang kemudian mengkristal menjadi al-Qur’an. Sedang yang kedua adalah penafsiran dan pengamalan Nabi terhadap prinsip-prinsip al-Qur’an secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun masa kenabian. Pada rentang masa ini segala tindak-tanduk Nabi berada dalam pengawasan dan petunjuk Allah. Sesuatu yang di luar al-Qur’an inilah—yang berupa praktik kehidupan Nabi—yang kemudian disebut Sunnah. Bentuk ini terambil dari jenis wahyu yang ghairu matluww.[9]

Posisi keberadaan (ontologi) sunnah di atas tentu sangat berbeda jauh dengan hadis yang posisinya bukan wahyu dan perannya hanya sebagai narasi, rekaman atau reportase dari sunnah-sunnah yang pernah dilakukan nabi Muhammad. Sunnah itu sendiri adalah satu paket tindak-tanduk Nabi. Kutipan berikut ini turut memperkuat pemosisian tersebut.

“The Arabic word hadith is very similar to sunnah, but not identical. A hadith is a narration about the life of the Prophet or what he approved—as opposed to his life its selfsunnah..”[10]

Hadith implies the narration  of a saying, or of an act, or of an approval of the Prophet, irrespective of wether the matter is authenticated or sill disputed.”[11]

“...The Sunnah of the Prophet Muhammad was established during his life for all to follow and to pass on for generations.  The Sunnah is the second primary source of the doctrine of Islam, the Qur'an being the first. They go hand in hand to complete the beliefs and practices all Muslims are to follow.  However, the question arises, "what is Sunnah?"  The Sunnah is a set of practices that the Prophet taught the Muslims to follow……In the simplest of definitions a Hadith is a reported tradition.  Yet, in Islamic terms its scope is narrowed to very sensitive terminology affecting the overall scheme of Islamic doctrine.  Hadith, as defined by Understanding Islam, is a narration of the words or acts of the Prophet, as perceived and transmitted by one or more persons who heard or saw the Prophet saying or performing these acts.  These attributed perceptions to the Prophet are critical in developing the clear distinction of Sunnah from Hadith.…”[12]

Azyumardi Azra juga memberikan pengertian yang serupa dalam membedakan antara hadis dan sunnah. Dalam buku Historiografi Islam Kontemporer, ketika membahas soal perbedaan hadis dan sunnah, ia menulis:

“…literatur hadis berarti literatur yang mencakup riwayat (narasi) tentang kehidupan Nabi dan hal-hal yang disetujuinya; sementara sunnah berarti modus kehidupan Nabi..—dengan menjelaskan konsep hadis dan sunnah dari Fazlur Rahman, Azra kemudian mencapai kesimpulan [pen.]—…hadis sebagai verbal tradition, sementara sunnah sebagai practical tradition atau silent tradition.[13]

Kemudian pembedaan dari sisi pelaku atau produsennya juga dapat dilakukan; Sunnah itu ‘diproduk’ oleh Nabi agar bisa menjadi teladan atau mode bagi umatnya, sedangkan Hadis ‘diproduk’ oleh ulama-ulama tertentu untuk mendokumentasikan kejadian-kejadian pada kehidupan Nabi—sebagaimana tertulis dalam kutipan berikut.

…Sunnah was initiated by the Prophet for his Ummah to follow, while the latter, Hadith, was initiated by great men who wanted to preserve information about the events and incidents in the Prophet's life. ”[14]

Sebagai reportase atas sunnah Nabi, maka komposisi hadis bisa dibagi menjadi empat macam, yakni: berasal dari sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, sunnah taqririyah, sunnah shifatiyah.

Setelah melihat perbedaan-perbedaan antara sunnah dan hadis, perlu juga dimengerti dimensi kesamaan yang menyatukan keduanya sebagai sebuah satu kesatuan alur yang saling berhubungan. Salah satu tokoh yang berhasil melihat hubungan erat sunnah dan hadis adalah Imam asy-Syafi’i. beliau mengatakan bahwa walaupun kedua term (istilah) itu tidak sama, tetapi hadis merupakan rekaman sepenuhnya dari sunnah, dan sunnah dapat disusun kembali dari hadis.[15]

F.      Dinamika Konsep Sunnah
Jika dalam runtut penjelasan Azami, pengertian sunnah sudah dipersempit dengan ditambahkan artikel “al” sehingga menjadi tradisi ala Nabi, maka Fazlur Rahman dan beberapa sumber yang lain menyatakan bahwa konsep sunnah mengalami perkembangan sehingga melebar tidak hanya khusus mengenai informasi yang disandarkan sumbernya kepada Nabi saja. Sunnah dalam pengertian yang melebar ini tidak hanya memperbincangkan soal seperangkat perilaku atau tindakan, tapi juga mengandung arti sebuah contoh atau model perilaku yang bisa diikuti orang lain.

Pergulatan Nabi Muhammad dengan al-Qur’an melahirkan satu sunnah, sebuah model perilaku yang ideal yang kemudian oleh al-Qur’an disebut sebagai uswah hasanah. Sunnah inilah yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh generasi sesudahnya (sahabat). Polanya tidak selalu mengikuti persis seperti yang dilakukan Nabi, akan tetapi ada penyesuaian terhadap konteks zaman saat itu melalui proses penafsiran. Ketika para sahabat mempraktekkan ajaran al-Qur’an dan perilaku Nabi atas dasar konsesnsus (ijma’) atau ijtihad, praktik mereka juga bisa disebut sunnah, lebih tepatnya sunnah sahabat. Contohnya adalah soal ide kodifikasi al-Qur’an.

Semua tindakan sahabat, khususnya Khulafaurrasyidin, merupakan sunnah sahabat. Sunnah ini meliputi praktik mereka terhadap ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi yang tidak didasarkan pada sunnah sebelumnya. Sunnah ini bisa berasal dari ijtihad seseorang yang kemudian menjadi ijma’ sahabat. Maka sunnah sahabat bisa identik dengan ijitihad atau ijma’ sahabat.

Ketika generasi sesudah sahabat memahami dan menafsirkan sunnah yang dipraktikkan sahabat Nabi, mereka juga mempraktikkannya sesuai dengan pemahaman dan penafsiran mereka sendiri. Setelah dipraktikkan, penafsiran ini juga masuk ke dalam materi sunnah. Demikian seterusnya hingga kepada generasi-generasi selanjutnya.[16]

Rumusan atau konsep sunnah yang demikian inilah yang tampaknya digambarkan oleh Fazlur Rahman dalam bagan di bawah ini. Penulis mengambil dari buku Al-Hadis dengan sedikit modifikasi bagan.[17]















Konsep seperti ini tampaknya berkaitan dengan konsep sunnah yang pernah digagas oleh Imam Malik. Menurut beliau sunnah merupakan aturan hidup normatif yang ditegakkan oleh Nabi, diamalkan oleh para Sahabat kemudian diwarisi oleh para Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in dalam bentuk tradisi hingga masa Imam Malik.[18] Konsep ini bisa ditelusuri dalam kitab karangan Imam Malik, yakni Al-Muwattha’ yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan seperti “madhat as-sunnah” (sunnah yang dipraktikkan), “as-sunnah ‘indana” (sunnah kita adalah), “as-sunnah al-laati la ikhtalafa fiiha ‘indana” (sunnah kita yang tidak ada perbedaan di dalamnya adalah..), atau “as-sunnah al-laati la ikhtalafa fiihaa ‘indana” (sunnah kita yang tidak ada perbedaan adalah). Dalam ungkapan-ungkapan tersebut Imam Malik cenderung memakai istilah sunnah dalam kaitannya dengan kontes ungkapan lain yang menyertainya. Dengan kata lain, bagi Imam Malik, sunnah terkadang atau bahkan sering identik dengan ijma’ Ulama Madinah atau praktik (amaliyah) masyarakat Madinah.[19]

Singkatnya, berangkat dari kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik, tampak bahwa istilah sunnah mengandung dua pengertian: (1) sunnah dapat dipahami sebagai praktik ulama Madinah atau bahkan masyarakat Madinah pada umumnya, (2) sunnah juga dapat diartikan sebagai contoh perilaku generasi terdahulu yang berakar dari Nabi Muhammad saw dan memiliki kedudukan otoritatif dan normatif.[20]

Salah satu tokoh yang tidak sepakat dengan bangun konsep Imam Malik adalah Imam asy-Syafi’i. beliau ingin membatasi cakupan sunnah hanya kepada praktik-praktik yang dilakukan oleh Nabi saja. Sunnah hanya dapat ditetapkan oleh hadis valid, yang akhirnya merujuk kepada Nabi. Seperti yang ditulis oleh Schacht,

“Bagi asy-Syafi’i, sunnah hanya ditetapkan dengan tradisi-tradisi yang merujuk pada Nabi, tidak dengan praktik atau consensus. Sedikit berbeda dengan konsep klasik tentang sunnah dalam tulisan-tulisan  awalnya, asy-Syafi’i menerima Sunnah Nabi hanya sejauh terekspresikan dalam tradisi-tradisi yang merujuk pada Nabi. Konsep sunnah inilah yang kita dapati dalam teori klasik tentang hukum Muhammad, dan asy-Syafi’i harus dianggap sebagai peletaknya di sana…”[21]

Dari sini dapat dipahami bahwa metodologi Imam Malik sangat berbeda dengan metode asy-Syafi’i, sebab jika asy-Syafi’i menerima suatu hukum karena hadis, maka Imam Malik menerimanya karena tradisi (‘Apa yang Telah Berlaku sebagai Sunnah Sudah Mencukupi’). Hadis hanya sebagai pendukung hukum bagi Imam Malik, bukan sebagai dasar utama seperti asy-Syafi’i.[22]


G.     Hadis sebagai Sebuah Reportase

Setelah melihat perbedaan ontologis antara hadis dan sunnah serta dinamika yang terjadi dalam perumusan konsep sunnah di atas, tampaknya perlu untuk memberikan sedikit definisi mengenai apa itu hadis. Dalam bahasa Arab, makna asli hadits adalah cerita, ucapan, obrolan, perbincangan atau komunikasi. Jika digunakan sebagai ajektif, maka hadis bermakna (sesuatu) yang baru.[23] Dalam pengertian ajektif inilah Subhi Shalih menjelaskan bahwa hadis itu disebut “hadis” karena ia adalah sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari al-Qur’an yang bersifat “qadim.” Itulah mengapa sebagian besar ulama enggan untuk menggunakan nama hadis untuk Kitab Allah, seperti mengganti “Kalam Allah” dengan “Hadis Allah”.[24] Lalu, bagaimanakah proses lahirnya hadis? Marston Speight memberikan gambaran yang sederhana tapi sangat mengena, seperti yang tertera di bawah ini.

Setelah Nabi wafat, para sahabatnya mengumpulkan berbagai riwayat mengenai ucapan dan perbuatan Nabi, kemudian mereka menceritakan kembali riwayat itu pada kalangan mereka sendiri agar memori hidup keteladanan Nabi Muhammad dapat mempengaruhi kehidupan komunitas mukmin. Karena dilestarikan untuk generasi berikutnya, riwayat atau hadis ini biasanya berbentuk potongan-potongan pendek yang tidak saling berhubungan, yang masing-masing didahului oleh daftar periwayat otoritatif. Meskipun hadis pada mulanya disampaikan secara lisan, sebagian periwayat kemudian mulai menuliskannya. Penghimpun hadis berhati-hati agar tidak merusakkan teks yang diterimanya dari para ahli yang diakui dalam penyampaian hadis, dan himpunannya mencerminkan kata-kata aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif, repetitif, dan memakai ungkapan yang tegas. Literatur hadis merupakan salah satu contoh prosa Arab dari periode awal Islam.[25]


1.      Anatomi Hadis
Seperti yang terjelaskan di dalam penjelasan Marston di atas, ketika sebuah sunnah ter-convert menjadi hadis, maka ada persyaratan-persyaratan administratif yang perlu dipenuhi. Ini sekaligus juga menjadi karakter khas dari sebuah hadis. Semua hadis memiliki anatomi yang sama. Ia tersusun atas dua unsur penting, yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi). Contoh:
Sanad Hadis
 
Sanad Hadis
 
Adat Tahammul wa al-Ada’
 
حدثنا محمد بن سنان قال: حدثنا فليح قال: حدثنا أبو النضر،  عن عبيد بن حنين،  عن  بسر بن سعيد،  عن  أبي سعيد الخدري قال: خطب النبي صلى الله عليه وسلم فقال:
Matan Hadis
 
 إن الله خير عبدا بين الدنيا وبين ما عنده، فاختار ما عند الله[26]


(1) Sanad

Sanad ialah mata rantai penutur/perawi (periwayat) hadis yang menyampaikan isi atau redaksi hadis.[27] Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadis tersebut dalam bukunya (kitab hadis) hingga Rasulullah. Sanad berfungsi untuk memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadis tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadis. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami Hadis terkait dengan sanadnya ialah: (1) Keutuhan sanadnya, (2) Jumlahnya (3) Perawi akhirnya.
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadis-hadis nabawi.[28]

(2) Matan

Matan ialah redaksi hadis. Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadis ialah:
·         Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
·         Matan hadis itu sendiri dalam hubungannya dengan hadis lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).[29]

Selain dua unsur utama di atas, juga ada yang dinamakan Adat at-Tahammul wa al-Ada’ yakni bentuk yang digunakan dalam memperoleh dan memberikan informasi, seperti yang ditandai lingkaran dalam contoh hadis di atas. Ada delapan bentuk penerimaan dan penyampaian sebuah informasi yang tercatat di dalam Ulum al-Hadis, yakni.

1.      As-Sima’
2.      Al-Qira’ah
3.      Al-Ijazah
4.      Al-Munawalah
5.      Al-Mukatabah
6.      Al-I’lam
7.      Al-Washiyah
8.      Al-Wijadah [30]


2.      Klasifikasi Hadis
Dengan posisi hadis yang berperan sebagai sebuah reportase dengan anatomi dan admisitrasi-administrasi seperti yang telah dijelaskan di atas, hadis atau reportase-reportase tadi mulai diklasifikasikan dalam beberapa beberapa criteria; bisa diklasifikasikan berdasarkan bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, berdasarkan jumlah penutur (periwayat), serta berdasarkan tingkat keaslian hadis (dapat diterima atau tidaknya hadis bersangkutan). Berikut ini adalah sedikit penjabaran mengenai hal tersebut.

Berdasarkan Ujung Sanad. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu':

Berdasarkan Keutuhan Rantai Sanad. Berdasarkan klasifikasi ini hadis terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dhal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.

Berdasarkan Jumlah Penutur. Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadis dibagi menjadi Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.

Berdasarkan Tingkat Keaslian Hadis. Kategorisasi tingkat keaslian hadis adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadis tersebut. Tingkatan hadis pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni Shahih, Hasan, Dha'if dan Maudhu'

Jenis-Jenis Lain. Adapun beberapa jenis hadis lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain: Hadis Matruk, Hadis Munkar, Hadis Mu'allal, Hadis Mudhthorrib, Hadis Maqlub, Hadis Mushafi, Hadis Mudraj, Hadis Syadz, dan Hadis Mudallas.[31]



3.      Jenis-jenis Kitab Hadis
Setelah masa Tadwin al-Hadis atau kodifikasi hadis, banyak terobosan dan klasifikasi yang dilakukan oleh para Ahli Hadis. Salah satunya adalah dengan membuatkan nama klasifikasi untuk kitab-kitab hadis yang pernah ditulis berdasarkan karakternya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa daftar klasifikasi tersebut.
1.      Kitab Jami’: kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan akidah, hukum, adab, tafsir, tarikh, dan sejarah hidup. Misal, kitab Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Jami’ at-Tirmidzi, atau Jami’ ad-Darimi.
2.      Kitab Sunan, kitab hadis yang disusun berdasarkan sistematika pembahasan fikih yang bermula dari bab thaharah, salat, dan seterusnya. Misal, Sunan an-Nasa’I, Sunan at-Tirmidzi, atau Sunan Ibnu Majah.
3.      Kitab Mu’jam, kitab hadis yang disusun berdasarkan tertib (urutan) huruf ejaan, atau mengikuti susunan nama guru-guru mereka, baik nama asli maupun julukan, sesuai dengan tertib huruf ejaan. Misal, Mu’jam at-Thabrani, Mu’jam as-Suyuthi, atau Mu’jam as-Shaghir.
4.      Kitab Musnad, kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan hadis. Biasanya, dimulai dengan nama sahabat yang pertama kali masuk Islam atau disesuaikan dengan urutan abjad. Misal, Musnad Ahmad.
5.      Kitab Mustadrak, kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang tidak disebutkan oleh pengarang sebelumnya, baik secara sengaja ataupun tidak. Misal, kitab Mustadrak al-Hakim.
6.      Kitab Masyikhat, kitab yang berisi hadis-hadis yang dikumpulkan dari seorang syekh, baik syekh itu sendiri yang mengumpulkan hadis-hadis tersebut maupun orang lain. Misal, kitab Masyikhat Ibnu al-Bukhari oleh Hafiz al-Mizzi.
7.      Kitab Ajza’, kitab yang berisi hadis-hadis yang dikumpulkan berdasarkan suatu perkara atau tema tertentu. Misal kitab Juz an-Niyyah oleh Ibnu Abi ad-Dunya.
8.      Kitab Arba’inat, kitab hadis yang mengumpulkan hadis sebanyak 40 buah hadis. Seperti kitab Al-Arba’in an-Nawawiyyah.
9.      Kitab Afrad atau Ghara’ib, kitab yang memuat hadis-hadis yang hanya terdapat pada seorang syekh, tetapi tidak ada pada syekh lain.
10.  Kitab ‘Ilal, kitab yang menyebutkan adanya kecacatan pada sebuah periwayatan hadis, baik dari segi matan ataupun sanadnya. Contoh, kitab al-Ilal yang ditulis oleh Ibnu al-Jauzi.
11.  Kitab Athraf, kitab hadis yang hanya menyebutkan sebagian redaksi hadis, baik dari sisi permulaan, tengah-tengah, maupun akhirnya saja. Seperti kitab Athraf Sunan an-Nasa’i.
12.  Kitab Tarajim, kitab hadis yang hanya mengumpulkan hadis-hadis dan sanad tertentu.
13.  Kitab Ta’aliq, kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis dari kitab tertentu, tanpa menyebutkan sanadnya.
14.  Kitab Targhib wa Tarhib, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis tentang dorongan untuk mengerjakan kebaikan dan larangan melakukan kejelekan. Seperti kitab Fadhail al-Amal karya Ibnu Zanjuwaih.
15.  Kitab Musalsalat, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis dengan redaksi sanad yang sama dari awal hingga akhir.
16.  Kitab Tsulatsiyyat, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang jumlah perawinya hanya 3 orang, termasuk Rasulullah saw, seperti kitab Tsulatsiyat Bukhari.
17.  Kitab Amali, kitab hadis yang ditulis oleh seorang murid dari gurunya dengan cara sang guru mendiktekan hadis kepada si murid.
18.  Kitab Zawa’id, kitab hadis yang menghimpun sejumlah hadis sebagai tambahan dari kitab asalnya, tetapi syarat-syarat penghimpunan hadis tersebut sama dengan kitab asalnya.
19.  Kitab al-Mukhtasharat, kitab hadis yang berbentuk ringkasan dari kitab hadis lain.
20.  Kitab Takhrij, kitab hadis yang berisi ulasan terhadap kualitas hadis di dalam kitab tertentu.
21.  Kitab Syarh al-Atsar, kitab hadis yang mengumpulkan atsar-atsar sahabat.
22.  Kitab at-Tartib, kitab hadis yang disusun secara sistematis berdasarkan bab-bab tertentu.
23.  Kitab al-Maudhu’at, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis palsu.
24.  Kitab al-Ma’tsurat, kitab hadis yang berisi doa-doa ma’tsur (yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw).
25.  Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang nasikh dan mansukh.
26.  Kitab Musykil al-Hadits, kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang sukar dipahami.
27.  Kitab Ahkam, kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis yang mengandung muatan hukum.[32]


4.      Hadis dalam Tradisi Sunni dan Syi’ah

Ada perbedaan antara kelompok Sunni dan Syi’ah dalam hal kitab hadis yang dipilih sebagai yang sahih. Bagi kelompok Sunni, berikut ini adalah daftar kitab-kitab hadis yang dijadikan sebagai pegangan.

Nama Kitab
Pengarang
Isi
Sahih Bukhari
7167 hadis
Sahih Muslim
5505 hadis
Sunan Abu Dawud
5274 hadis
Sunan at-Tirmidzi
3956 hadis
Sunan an-Nasa’i
5754 hadis
Sunan Ibnu Majah
4341 hadis
Sunan ad-Daruquthni
4733 hadis
Sunan al-Baihaqi
21601 hadis
Demikian halnya dengan kitab-kitab lain seperti Sahih Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Awanah, Musnad Ahmad, Musnad ad-Darimi, Musnad Abu Hanifah, atau Mustadrak al-Hakim. Bagi kaum Syi’ah, kitab hadis yang dijadikan pegangan—di antaranya—adalah sebagai berikut:[33]
Nama Kitab
Pengarang
الكليني (392 هـ)
العاملي (1104 هـ)
الطبرسي (548 هـ)




[1] Definisi model ini pulalah yang dianut oleh Para Ushuliyin, yang dimaksud Hadis adalah Sunnah Quliyyah saja, dan istilah Sunnah itu lebih luas cakupan maknanya daripada Hadis yang di dalam konsep Sunnah para Ushuliyin memuat perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad yang bisa dijadikan dalil hukum. Lihat Ajjaj Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 27.
[2] Lihat Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 213-214.

[3] Ajjaj Khatib, Ushul al-Hadits Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 27.

[4] Lihat Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 7.

[5] Ibid, 6-7.

[6] Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 13-20.

[7] Ibid, hlm. 20.

[8] Lihat selengkapnya dalam Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 27-40.

[9] LIhat Khalid Mahmood Shaikh, Hadith and Its Literary Style, (New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 2006), hlm. 37.

[10] Anonim, “Sunnah and Hadith” dalam situs http://www.quranexplorer.com/Hadith/Default.aspx (Akses tanggal 10 Oktober 2011). Lihat juga artikel pada situs http://nicheoftruth.org/pages/sunnah.htm

[11] Amin Ahsan Islahi, Difference Between Hadith and Sunnah, dalam situs http://www.renaissance.com.pk/jafelif989.html (Akses tanggal 10 Oktober 2011).

[12] Anonim, artikel berjudul “Hadith and Sunnah - Two Different Concepts” dalam situs http://www.understanding-islam.com/articles/sources-of-islam/hadith-and-sunnah-two-different-concepts-186

[13] Lihat Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer Wacana Aktualitas dan Akor Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 2002) hlm. 20-21.

[14] Anonim, artikel berjudul “Hadith and Sunnah - Two Different Concepts” dalam situs http://www.understanding-islam.com/articles/sources-of-islam/hadith-and-sunnah-two-different-concepts-186

[15]  Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 354.

[16] Lihat Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 216-217.

[17] Lihat versi bagan asli di dalam buku Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005), hlm. 14.

[18] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 353.

[19]  Lihat Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Hadis dan Sunnah” dalam Taufik Abdullah (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1 (Akar dan Awal), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 217-220.

[20] Ibid, hlm. 219.

[21] Sebagaimana dikutip dalam Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm.357.

[22] Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam Al-Qur’an, Muwattha’, dan Praktik Madinah, (Jogjakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 359.

[23] Khalid Mahmood Shaikh, Hadith and Its Literary Style, (New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 2006), hlm. 11.

[24] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 16

[25] R. Marston Speight, “Hadis”, dalam John L. Esposito (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 127.

[26] Diambil dari kitab Shahih Bukhari, Bab الخوخة والممر في المسجد, Bab “Shalat”, Hadis no. 454, (dalam versi file ekstensi HTML)

[27] Lihat Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 15.

[28] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits (akses tanggal 05 Oktober 2011)

[29] Ibid.
[30] Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (ttp: Dar al-Ilmi al-Malayyin, 1977), hlm 88-104.
[31] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Hadits (akses tanggal 05 Oktober 2011). Lihat juga Mahmud at-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) untuk mendapatkan keterangan singkat dan praktisnya.

[32] Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab Hadis, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 25-37.

[33] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/ حديث_نبوي (akses tanggal 05 Oktober 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Text Widget