Isi Blog ini

terdiri dari banyak tulisan; antara tulisan 'ilmiah', artikel buletin, opini, puisi, komentar film (biasa diberikan kode "RF"), lirik lagu, beberapa kutipan, atau apapun saja yang dinilai baik untuk dibagikan sebagai pengalaman bersama..

Selamat menikmati.

Tamu

Rekanan Situs

Rekanan Situs
Klik Gambar di Atas untuk berkunjung ke Pasar Grosir Tas; Drawstring, Tote, Sling, etc. Tas kanvas, tas blacu, tas furing, dll.
Ayiko Musashi. Diberdayakan oleh Blogger.

Kunjungi Juga

Kunjungi Juga

Welcome to

Welcome to

Terjemah

Artikel Pop

Menuju Ke

Kamis, 26 April 2012

Buku.




Buku adalah barang yang selalu masuk dalam anggaran bulanan. Besarannya tidak pasti. Bisa seperempat, Bisa juga lebih dari setengah uang kiriman. Jika dipikir-pikir, buku sudah cukup membuatku gila. Rela makan sehari dengan lauk tahu-tempe hanya agar dapat membeli buku lebih banyak. Siap menderita deh pokoknya. Toh meski sebenarnya pada awal-awal aku bukan orang yang suka baca buku. Tapi buku memang cukup berguna untuk bahan diskusi.

Semuanya berjalan sebagaimana yang dibayangkan. Buku terus menumpuk penuh satu rak dalam waktu yang relatif singkat.. Setiap bulan buku-buku terus bertambah secara konsisten. Faktor terbesar yang memungkinkan hal ini adalah dulu aku masih tergolong ‘manusia purba’. Belum ada kebutuhan beli pulsa, beli baju bagus untuk tampil fashionable, parfum, sewa film, wisata kuliner, dan macem-macem. Otomatis alokasi dana hanya keluar untuk makan, bayar listrik, dan beli buku. Nah!

Karena hampir dalam banyak hal keseharianku berhubungan dengan buku maka buku pula yang sering menjadi teman dan tempat untuk menghabiskan waktu. Aku lebih sering di kamar dari pada main keluar. Membaca buku itu perbuatan mulia, kupikir. Jadi aku lebih sering mengelak kalau diajak ngobrol ngalor-ngidul sama teman-teman. Berulang sedemikian sering hingga aku merasa kecanduan buku. Dan jadilah aku kutu buku. (wah, penurunan derajat nih: dari manusia menjadi kutu?! Hehehe).

Kesepian? Ah, tidak juga. Karena ada koleksi kaset-kaset band punk yang sudah cukup untuk memberi suasana ramai dan mengajak terbang imajinasi sambil teriak-teriak umpat ini dan itu. Prinsip “do it yourself” dan keberanian untuk men-fuck-off-kan segala hal itulah yang menjadi penyeimbang kesendirian dan nuansa sepiku. Ini adalah mekanisme psikologis untuk menaklukkan kenyataan yang berulang kali tak kunjung terpahami.

Duniaku adalah dunia imajiner dari buku. Harapan, ketakutan, dan segala perasaan yang berkelebat lebih sering diilhami dan terasosiasikan dengan buku. Juga kosa kataku yang lebih bernuansa bahasa tulis daripada bahasa lisan. Aku abai dengan tema-tema keseharian yang sedang marak berkembang di kalangan anak muda seusiaku seperti otomotif, pacar, atau mode. Sekali lagi aku menjadi ‘manusia purba’ kalau sedang kumpul dengan teman-teman. Lebih sering diam menjadi pendengar setia karena tidak menguasai tema obrolan. Tapi kalau sedang di forum diskusi formal kelas bisalah aku angkat bicara tentang menurut si ini dan menurut si itu. Nah, dengan pola ini pulalah aku kemudian menjadi sangat bergantung pada keberadaan kelas untuk meneguhkan keberadaanku sendiri. Hehehe. Aneh.    

Awalnya buku yang dibeli masih begitu-begitu saja. Ya seputar pelajaran dan buku umum yang dianggap menarik. Tapi perlahan kemudian seleranya mulai mengembang saat membaca bagian akhir dari satu buku filsafat. Aku jatuh hati dengan aliran eksistensialisme. Jean Paul Sartre yang saat itu menjadi tokoh favorit. Wah! Kok cocok sekali tema filsafatnya dengan kegundahanku. Maka mulailah aku baca sumber buku ini dan itu untuk tahu lebih banyak tentang eksistensialisme.

Poin yang menandai perkembangan selera bukuku adalah frase yang berbunyi: “Para filosof eksitensialis biasanya menuangkan pemikirannya melalui novel dan teater”. Aha! Novel. Berlagak seperti seorang eksistensialis aku langsung pergi ke toko buku. Beli yang mudah dikunyah dulu. Aku pilih cerita tentang Abu Nawas. Kemudian naik tingkat medium. Aku baca semisal karya Naguib Mahfouz atau Seno Gumira Ajidarma. Lalu menaik lagi ke bacaan-bacaan yang aku sebenarnya gak paham tapi terus saja aku baca sampai hatam, seperti karya Milan Kundera, Maxim Gorky, atau Albert Camus.

Tidak mesti gradual seperti tadi. Bisa juga acak. Tapi yang bisa ditandai saat membaca buku adalah kecenderungan untuk berlaku tematik. Misal sedang suka tulisan esai Catatan Pinggir Gunawan Muhammad atau Putu Wijaya, maka dicarilah buku-buku tadi sebanyak dan sebisa mungkin didapat. Kebetulan juga aku punya jiwa kolektor. Tak bisa berhenti mengagumi tanpa memiliki. Jadi mulai dari toko buku Social Agency, Togamas, toko-toko kecil, toko lowakan, sampai pasar buku Shopping Center pun kujelajahi satu demi satu. Rak demi rak. Tanya ini-itu, atau pinjam di perpustakaan-perpustakaan jika ada. Hal yang aneh adalah ketika hasrat itu sudah terpuaskan maka sudah begitu saja. Tidak ada tindak lanjut apapun atau usaha untuk meng-up-date informasi tentangnya. Karena sudah kadung berganti dengan tema buruan buku baru yang lain. Ya begitulah.

Hal konyol yang masih teringat adalah ketika pergi ke pameran buku. Motto dan misinya adalah, cari buku apapun yang penting tebal dan harganya lima ribu atau sepuluh ribuan. Jadi, mirip dengan adigiumnya Adam Smith: dengan modal sekecil-kecilnya raih keuntungan sebesar-besarnya.Hahaha! Entahlah apa maksud tindakanku tadi. Mungkin agar rak baru cepat segera terisi. Atau karena aku merasa untung setelah transaksi menukar uang sekian ribu dengan barang yang lumayan berat (timbangannya). Sama sekali tidak ada kaitan dengan isi buku yang dibeli. Satu buku yang selalu mengingatkanku tentang periode ini adalah novel Umberto Eco yang berjudul Name of The Rose yang kubeli sepuluh ribu rupiah. Aku dulu belum kenal Umberto Eco. Yang menjadi alasan membeli adalah fisik bukunya yang gagah tebal itu dan harganya yang hanya segitu. Hehehe. Tapi belakangan aku untung, karena isi dan pengarang buku ini lumayan keren juga.

Masih soal fisik buku, aku suka ilustrasi cover dari buku-buku penerbit bentang. Selalu artistik. Maksudku, olah desainnya seringkali menampilkan lukisan-lukisan dengan warna yang menarik. Jadi, jatuh cinta itu bisa lewat pesona kecantikan luar, bisa juga lewat yang dalam. Tapi yang jelas, mencintai buku itu tidak seribet mencintai perempuan. Hahaha! Piss….

Demikianlah beberapa cerita tentang buku dan aku. Apapun itu, membaca dan membeli buku adalah hal yang masih mewah di Indonesia.



Ayiko Musashi, 20 Desember 2009 .
                                                                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Text Widget