Isi Blog ini

terdiri dari banyak tulisan; antara tulisan 'ilmiah', artikel buletin, opini, puisi, komentar film (biasa diberikan kode "RF"), lirik lagu, beberapa kutipan, atau apapun saja yang dinilai baik untuk dibagikan sebagai pengalaman bersama..

Selamat menikmati.

Tamu

Rekanan Situs

Rekanan Situs
Klik Gambar di Atas untuk berkunjung ke Pasar Grosir Tas; Drawstring, Tote, Sling, etc. Tas kanvas, tas blacu, tas furing, dll.
Ayiko Musashi. Diberdayakan oleh Blogger.

Kunjungi Juga

Kunjungi Juga

Welcome to

Welcome to

Terjemah

Artikel Pop

Menuju Ke

Kamis, 26 April 2012

Hegel-Marx


030310, Sabtu. Halo! Pagi ini aku menemukan batas tipis antara seorang penggerutu dengan orang yang merubah. Keduanya sama-sama mengidentifikasi masalah dalam suatu waktu di suatu tempat. Sama-sama melihat jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik itu dalam koridor ideal atau realistisnya solusi itu untuk dilaksanakan.

Hanya kemudian menjadi berbeda, karena yang pertama hanya sampai pada analisis masalah dan kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya pada tataran wacana saja. Sedangkan yang kedua bergerak lebih jauh—setelah analisis dan penemuan solusi—yakni, keberlanjutan pada aksi gerakan.

Seringkali nuansa ‘bergerak’ ini yang lebih dominan. Jadi, tidak perlu menunggu analisa, prediksi, dan tetek bengek rencana-rencana yang sangat matang sebelumnya. Cukup bergerak saja dulu yang lebih penting. Soal perencanaan, analisa lebih lanjut, dan penanganan masalahnya dilakukan sambil berjalan. Singkatnya, bergerak itu lebih penting daripada menunggu sebuah analisis matang.

Tentu saja corak sikap seperti ini memiliki konteksnya sendiri. Tidak bisa digeneralisir untuk semua keadaan dan di semua tempat. Al-hukmu yaduru ma’al illah, demikian kira-kira kaidah berpikir Ushul Fiqh-nya.

Saya ingin menekankan tentang suatu konfigurasi berpikir. Bahwa ternyata ada lho orang yang setelah menganalisa dan merancang solusi malah sibuk menggerutu dan mengomelkan tentang ketidaksempurnaan realita yang dihadapinya dengan bayang dan susunan realitas ideal di benaknya. Dengan pola demikian, praktis hasil analisa hanyalah kayu bakar untuk menyalakan api gerutu dan kesal berkobar-kobar. “Ini sih begini, coba kalau begini” “Itu tuh mestinya seperti ini”. Kalimat-kalimat seperti ini saja yang terus diproduksi. Alih-alih menyelesaikan masalah di luar diri, malah menambah beban masalah di dalam diri sendiri dengan perasaan kecewa, penolakan, dan gerutu-gerutu yang tidak perlu tadi. Nah, ini adalah tipe berpikir yang ‘intelektual-logis-rasional-tapi-hanya-ada-pada-level-wacana’.

Sedikit berbeda dengan yang barusan, model kedua ini lebih realistis-pragmatis dan tanggap bergerak. Jika dibayangkan bahwa model pertama mirip dengan gaya berpikir ala Hegel yang selalu mengawang-awang dan melulu berorientasi pada kegiatan berpikir ansich, maka yang kedua ini adalah gaya sikap ala Karl Marx. Setelah analisa cukup, gak usah kakean lambe, ageh ndang dilakoni. Maka setelah analisa, muncullah strategi—bagian yang tidak terumuskan jelas dalam model bepikir pertama. 

Dengan pola seperti ini, praktis seseorang langsung berhadap-hadapan dengan masalah. Apa yang dianggap tidak atau kurang tepat langsung ditangani, diolah, dan dimodifikasi sedemikian rupa agar sejalan dengan cita-cita dan gambar ideal di benaknya. Jikapun toh masalahnya terlampau berat dan hasilnya masih jauh dari capaian yang dituju, maka tidak menjadi masalah. Masih ada perasaan positif yang menempel di diri, karena ia tahu setidaknya ia sudah mencoba. Ia sudah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak sebegitu pagi menyerah. Ini adalah harga untuk sebuah diri.

Begitu.




Ayiko Musashi,
03 April 2010


Pagi ini aku merasa berani karena musik. I know now why God create everything so musical. Hehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Text Widget

Text Widget